Dua jam hampir lewat sejak Amar berpisah dengan Khass di menara. Kenapa bocah itu tak kunjung menyusul ke hutan? Ayam hutan telah lama dikuliti, dijejalkan bumbu-bumbu dapur persediaan para Guru, dipanggang dengan sedemikian rupa di atas bara api yang menggelora. Minyak ayam yang menetes-netes membangkitkan nafsu makan para murid perguruan yang merasa sarapan mereka belum cukup. Seandainya Amar bukanlah murid paling senior, dia bakal sungkan untuk mengambil bagian paha yang paling disukai Khass untuk disimpan. Sementara anak-anak perguruan tidak ingin menanti sang anak kepala desa untuk makan bersama, Amar menunggu cukup lama. Kasihan jika bocah yang dihukum itu harus menyantap ayamnya sendirian. Pun, untuk mencegah ayam mendingin dan minyak yang mengendap, Amar berulang kali memanaskannya di sisa api yang menyalak-nyalak kecil.
Karena itulah, Amar memutuskan untuk meninggalkan para murid yang masih membersihkan sisa-sisa pemanggangan. Ia harus melewati penjaga gerbang yang tak sekali pun mengedipkan mata saat memandang paha ayam dibungkus daun-daun lebar, agaknya protes karena tak disisakan jatah meskipun sang Guru tidak lagi menyandang status sebagai murid.
Sesuai petunjuk Guru penjaga, Amar menghampiri pondok tamu, namun langkahnya melambat saat melihat Khass keluar dari pondok dengan sentakan cepat. Amar tak bisa mendengar suara Khass, tetapi ia yakin bocah itu sedang menunjuk sesuatu dari dalam pondok, kemudian ke arah Konservatori, dan bergegas dengan langkah lebar.
Ada sesuatu.
"Khass!" Amar menghampirinya. Mereka telah mencapai jalan utama desa yang becek bekas hujan dini hari, membuatnya sedikit kesulitan untuk mengangkat sandal tipisnya yang seolah tenggelam tersedot lumpur. Kadang-kadang Amar jengkel dengan liarnya desa perguruan. Ia terlampau sering tersandung bebatuan yang mencuat sepanjang tanah mengular, terutama ketika hujan sering turun, dan berakhir terjerembap dengan wajah tercelup lumpur. Inilah salah satu penyebabnya masih sering terselip mengumpat alih-alih menyebut Tuhan.
"Hei, Khass?" seru Amar sekali lagi, kemudian pandangannya tertuju pada sosok asing yang keluar dari pondok dengan sikap ragu-ragu. Melihat dari caranya berpakaian, Amar yakin ia adalah tamu asing yang barangkali tersesat. Oh, pantas saja Khass tidak kunjung menyusulnya. Bocah itu suka sekali menemani orang asing dan mendengarkan ceritanya, tapi ... kenapa Khass terlihat tegang?
"Amar!" Khass mendekat dengan ekspresi ketakutan. "Anak asing itu kayaknya masih dirasuki iblis."
Amar, yang masih berdiri di ambang urusan Khass dan si orang asing, mengangkat alis. "Uh, apa?" suaranya agak melengking. Anak asing dirasuki iblis? Ini bukan kata-kata yang bisa dicerna begitu saja oleh orang yang baru saja datang! Meski itu perihal yang nampaknya lumrah bagi para Guru, tetapi Amar tidak lahir di situ. Ia baru tinggal di sana selama empat tahun. Mendengar ada orang asing datang membawa iblis masih terdengar mengerikan baginya.
Tidak menyadari ekspresi Amar yang ikut menegang, Khass menarik tangannya. Matanya melirik ke arah pondok tamu dengan tajam. "Temani aku membawanya ke Nona Nujum. Sekarang! Ayo!"
"Tunggu! Tunggu, Khass." Amar mencegahnya berjalan. "Kau harus menemani sang tamu, bukan aku yang menemanimu." Si bocah terhenyak, seolah sadar dengan apa yang seharusnya terjadi, dan mereka pun menunggu si anak asing menyusul dengan alis bertaut.
"Ada apa sih? Kenapa kalian terburu-buru begitu?" tanya si anak asing, memunculkan lebih banyak pertanyaan di benak Amar.
Amar nyaris mengaku jika sama bingungnya, namun itu hanya akan membuatnya terdengar dungu. Amar adalah murid perguruan tertua, yang sebentar lagi akan resmi menjadi Guru. Ia harus terlihat meyakinkan. Maka Amar pun beralih memandang si bocah. "Khass, kita akan membawanya ke Nona Nujum?"
Pertanyaan itu menyimpan makna berlebih, tetapi bocah berusia sepuluh tahun yang ketakutan tidak bisa menangkapnya. Ia justru mendorong Amar agar menemani Debri berjalan, sementara Khass memimpin mereka. Tak ingin memperpanjang masalah yang masih abu-abu, Amar pasrah dan mengisyaratkan Debri supaya mengikuti.
Amar melirik Debri sepanjang perjalanan. Anak asing ini ... dia nampak seusianya. Tinggi mereka pun hampir sama, dan penampilannya sedikit mengingatkan Amar saat datang kemari dahulu. Ah, namanya bahkan bukan Amar waktu itu .... Tetapi, sebentar, bukan itu yang seharusnya Amar perhatikan sekarang. Khass menyuruh orang ini agar dibawa ke Nona Nujum, para wanita yang mampu melihat menembus ke dalam jiwa seseorang. Atau, melihat jauh nasib seseorang. Atau, yah, apa pun itulah, pokoknya mereka juga bisa melihat apakah seseorang sedang dihipnotis atau dirasuki iblis. Khass tadi menuduh orang ini dirasuki iblis, tapi Amar—yang masih empat tahun belajar menjadi Guru—tak bisa mengendus tanda-tanda adanya pengaruh makhluk kuno penghuni dunia itu.
Perjalanan menuju Konservatori penuh rintangan dan berliku-liku bagi Debri, tetapi kekaguman pemuda itu mengalahkan rasa sakitnya. Konservatori, sebagai tempat peribadatan sekaligus bangunan terbesar di desa, terletak di atas sungai. Bangunannya berupa sisa kuil Konservatori raksasa yang dahulu telah runtuh: undakan batu sebagian telah hancur, dan tak bisa dilewati oleh dua orang berdampingan. Jika dua orang terpaksa berhadapan, maka seseorang harus kembali ke atas kuil atau ke tanah, dan karena undakan itu memiliki setidaknya lima puluhan anak tangga, maka tindakan ini membuat siapa pun yang terburu-buru akan kesal. Beberapa lubang menganga di lantai kuil ditutup oleh berlapis-lapis anyaman kulit pohon. Beberapa murid terdahulu menyelipkan sulur-sulur lumen, sehingga para Guru bisa menghindar dari terjatuh saat malam hari. Kuil itu tak memiliki penerangan yang cukup selain ratusan lilin dan lilitan lumen yang berjuntai di langit-langit.
Sementara bangunan kuil menjulang ke atas dan semakin mengerucut menjadi petak terbuka sebagai atap, tempat sembahyang terletak pada dasar bangunan yang langsung terhubung di sungai. Pilar-pilarnya berdiri kokoh menjulang, mengalahkan tinggi pondok-pondok sederhana para Guru, berlapis lumut dan permukaannya sedingin aliran air. Bagian tengah lantai kuil sengaja digali, sehingga sungai yang mengalir di bawah lantai batu bisa dijangkau dengan mudah. Di ruangan inilah para Nona Nujum selalu berada untuk menjaga kesucian.
Ketiga anak itu memasuki Konservatori dengan kaki telanjang. Khass membawa kedua pemuda menaiki lima puluhan undakan batu, berbelok ke lorong-lorong sempit yang terbuka, kemudian menuruni undakan yang lebih banyak menuju lengkungan pilar yang menjadi pintu masuk menuju ruang sembahyang. Dari sini, suara gemericik sungai menggaung di ruang berdinding. Kesenyapan tak lazim yang meliputi ruangan itu membuat Debri bergidik saat melangkah masuk.