"Kau hidup di bagian yang salah," kata Debri setelah mendengar dongeng panjang lebar Khass yang lagi-lagi menyedihkan. "Itulah mengapa kau hanya dengar cerita-cerita yang sedih. Orang-orang kota itu nggak punya tempat melampiaskan kesedihan dan ketakutan selain kepada kalian."
"Bagaimana dengan tempatmu?"
Pertama-tama, rumah-rumah di tempat Debri sangat besar, begitulah katanya. Sebagian bahkan terlalu kecil, karena orang-orang tinggal berhimpitan dalam satu lingkungan besar yang mereka sebut blok, dengan rumah-rumah dalam bangunan yang dibagi rata per penyewa bernama flat. Meskipun demikian, mereka jarang saling mengenal. Bahkan jika mereka memang saling mengetahui hobi satu sama lain, mereka takkan saling sapa dan mengobrol sejenak ketika bertemu di trotoar. Tidak. Semua memiliki tempat dan waktu khusus untuk bercengkerama atau bersendagurau, dan itu tidak di tempat umum. Tidak ada yang mau melihatmu tertawa sementara yang lain bermuka masam, menyimpan tangan di saku, dan berjalan secepat mungkin untuk mencapai tujuan.
Menyapa bolehlah. Tersenyum juga tidak apa-apa. Namun jangan berhenti, apalagi menawarkan cerutu dan sepotong cerita. Bisa saja nenek berselendang merah penjaja koran yang kau ajak mengobrol adalah mata-mata pemerintah. Parahnya, nenek-nenek itu tidak punya toleransi terhadap ramah-tamahmu. Dia sedang bekerja keras untuk mendapatkan uang di usia yang rentan, dan di situlah kamu—mengajaknya mengobrol dan menawarkan roti hangat—seolah-olah kehidupanmu sangat tenteram dan nyaman? Ketika kau pergi, nenek itu memastikan bahwa semua hal tentangmu akan disampaikan kepada seseorang, sebelum memorinya tergerus oleh kelemahan kemampuan para orang tua mengingat sesuatu. Kemudian, saat kau kembali ke rumah, istri dan anakmu tidak lagi menyambut di meja makan. Sebagai gantinya, dua orang berseragam tentara akan menunggumu di pintu, menembak kaki atau tanganmu, lalu menyeretmu ke truk yang menunggu dalam kegelapan tak jauh dari flatmu.
Konon, menurut desas-desus, kau akan bergabung dengan ribuan pria seusia di suatu tempat yang misterius, dan satu-satunya hal yang menjadi identitas tempat itu hanyalah himne pendek yang harus dinyanyikan setiap matahari terbit dan terbenam.
Kami para pejuang negeri
Pembangun bangsa
Tidak menari-nari atas duka orang
Tidak tertawa-tawa atas tangisan raja
Kami akan terus membangun
Sampai semua tertawa bahagia
Oh! Kami para pejuang negeri
Pembangun bangsa
(Seruan 'Oh!' harus diucapkan dengan lantang dan penuh semangat. Kalau terdengar loyo, kau akan diseret keluar dan digebuk sampai bisa menjerit paling keras. Kebanyakan berakhir tewas dengan lolongan "oh" yang terlalu panjang.)
Para penduduk di kota-kota besar memahaminya. Mereka tidak saling menyapa demi keselamatan bersama, hanya mata yang saling melirik dan tersenyum dalam diam ketika berpapasan dengan orang dikenal. Beberapa cukup lihai untuk menyelipkan sepucuk surat kecil di kantong mantel satu sama lain, sekedar ajakan untuk bertemu pada pukul enam sore di bistro langganan. Di situlah mereka baru diizinkan bercengkerama dan bercumbu dalam bilik masing-masing. Asap-asap mengepul, gelas-gelas didentingkan tanpa suara, dan tawa yang tak lebih berisik dari gumaman.
Semua itu tidak terjadi begitu saja. Selalu ada peristiwa, kisah, dan pengorbanan menyakitkan yang membuat semuanya kemudian rela merahasiakan kebahagiaan mereka. Begitu pula demi kepentingan perdamaian negeri agar tidak ada perang yang pecah, kemudian mengulang mitos yang mengerikan. Tidak, terima kasih.
Kami tidak memerlukan akhir dunia yang cepat.