Matahari mulai lelah, dan bintang-bintang telah mengintip samar di langit. Satu jam yang lalu, seusai memastikan bahwa semua teman seperguruannya pulang dengan selamat dan menyampaikan laporan tentang perkembangan penduduk desa, Khass pulang seraya berlarian kecil. Hari ini ia akan makan malam di rumah. Amar berbaik hati menawarkan Debri untuk bersantap bersama di Konservatori, sekaligus mengenalkan pemuda asing itu seluk-beluk singkat mengenai desa. Berita tentang ketertarikan Debri terhadap perguruan menyebar dengan cepat, bahkan sebelum Khass benar-benar mengutarakannya kepada siapa pun.
Khass tiba saat Kamitua bertandang di dapur. Beliau tidak memasak, hanya sekedar menghangatkan kentang rebus dan semur daging yang dibawakan oleh seorang Guru. Aromanya cukup hebat untuk membuat perut Khass keroncongan. Ia menghampiri dengan langkah kecil, matanya diam-diam memerhatikan janggut panjang Kamitua yang hampir menyentuh sabuk sarung.
"Jangan diam di situ saja, Khass. Ambilkan mangkuk."
Khass berjongkok dan mengambil dua mangkuk kayu. Satu yang besar untuk Kamitua, satu yang kecil untuknya. Sesuai kadar perut.
"Ambilkan bubuk cabai kering dan ketumbar juga. Demi Tuhan, semur ini hambar."
"Jahe, Kamitua?"
"Rosemary untuk kentang, Khass."
Bocah itu dengan lincah mengambil kendi-kendi yang ditata rapi. Ia tidak terlalu hapal kendi mana yang dimaksud. Terkadang ia harus membuka tutupnya sedikit, mengendus, kemudian menahan bersin sekuat tenaga, dan menaruh kendinya cepat-cepat di samping Kamitua. Ia pun berlari ke pojok lain dapur dan bersin sekuat-kuatnya.
"Kau sebaiknya banyak membantu nona-nona di dapur, Khass. Kau akan hapal semua jenis bumbu tanpa perlu membaui begitu, apalagi mengotori udara. Bermain-main terus itu tidak berguna. Besok pagi bantulah nona-nona memasak untuk para penduduk yang akan berdoa di sini."
"Baik, Kamitua," kata Khass. Ia menyeka hidung dan mengembalikan kendi-kendi yang sudah digunakan Kamitua. Sesaat kemudian, semur dituang ke mangkuk dan dibawa ke meja. Khass sudah tidak sabar untuk bersantap, tetapi Kamitua masih tenang di kursinya. Beliau memejamkan mata agak lama, lalu melirik ke Khass seolah-olah ada yang dilupakannya. Si bocah, yang ikut melirik karena Kamitua tak kunjung menyuap, tersentak dan buru-buru menangkup kedua tangan. Ia pun mulai berdoa dengan lantang.
"Kamitua, aku mau tanya," kata Khass beberapa saat setelah mereka bersantap. Kamitua tidak menyahut, tetapi itu sudah tanda baginya untuk tetap melanjutkan. "Kamitua, benarkah anak tidak akan pernah lepas dari orang tuanya, kemana pun dia pergi?"