ANTIMA

Andy Wylan
Chapter #11

Caellan Caltine

Khass terkesiap. "Jangan!" serunya sembari menghampiri. "Jangan ditembak! Dia bakal lebih marah!"

Peringatan Khass adalah keselamatan bagi siapa pun yang sedang terlibat; sang pemuda nyaris menekan pelatuk, dan seandainya satu peluru menyasar lagi pada tubuh Sulur Biru, maka makhluk itu akan membantingnya ke tanah keras-keras. Sulur hidup itu juga telah menjegal mendiang Debri, dan hampir semua orang tersesat, sekadar untuk memberi peringatan kalau-kalau mereka punya niat buruk terhadap para Guru yang mengucilkan diri jauh di dalam hutan.

Kehadiran Khass juga menarik perhatian Sulur Biru. Suaranya cukup untuk membuat sang makhluk berhenti menggoyangkan si pemuda asing, lantas mengembalikannya menjejak ke tanah saat Khass menepuk-nepuk cabang sulurnya yang menggeliat di dekat kaki. Sulur Biru menarik diri dan beristirahat di tanah, menyatukan wujudnya dengan warna cokelat kehijauan, membeku bagaikan akar-akar pohon yang membisu. Sementara itu sang pemuda asing terhuyung-huyung menghampiri Khass.

"Kau tak apa-apa, Tuan?" Khass refleks memanggilnya demikian saat menyadari betapa mewahnya penampilan sang pemuda. Ia mengenakan setelan yang dijahit khusus untuknya dengan sepatu mengilap yang tak sepantasnya ternodai lumpur kering. Segala kerapian pada penampilannya jelas-jelas menunjukkan bahwa ia bukan bagian dari kota di bawah bukit.

Namun, menurut Par, sudah tidak mengherankan lagi untuk menyaksikan beberapa orang asing datang dan pergi ke kota ini selepas penembakan masal waktu itu. Sebagian datang untuk menjemput keluarganya, sebagian lain mencari sesuatu—dan yang ini sedikit aneh, katanya. Entah apa yang dicari mereka; sesuatu untuk dijarah?

"Oh, astaga." Pemuda itu menutup mulutnya, mungkin bersiap-siap akan muntah. Khass menyesal mengapa tidak membawa minyak jahe. Mereka berdua sama-sama membutuhkannya.

"Kalau kau mau muntah, lakukan saja, Tuan," kata Khass santun. Ia berbaik hati mengambil satu langkah mundur. "Sulur Biru suka sekali melakukan hal itu untuk membuat orang asing mabuk."

Sang pemuda necis mengangkat satu tangannya yang bebas. Khass sontak mengunci mulut dan menunggu reaksi sang pemuda. Ia mengambil napas dalam-dalam, mengembuskannya, dan melakukan itu beberapa kali hingga rona mukanya berangsur-angsur membaik. Ia menyarung pistolnya kembali.

"Makhluk sialan," gumam pemuda itu. Khass memakluminya. Daripada sebuah umpatan, Khass lebih terheran-heran pada sebuah kenyataan tentang kehadiran pemuda ini.

Melihatnya membuat Khass merasa tidak sepenuhnya asing, dan ini mengejutkan. Ia ingat betapa waswas dirinya saat bertemu Debri pertama kali. Meski begitu pemuda ini, yang memiliki aroma serupa Debri yang berasal dari kota besar, membuatnya siaga. Ia memang tidak berpakaian compang-camping macam anak jalanan, tetapi pemuda berpenampilan bersih dengan kemeja dan jas yang disetrika secara hati-hati, serta tatapan mata tajam dengan kulit yang sama sekali tak bernoda membuat Khass lebih ... takut. Pemuda ini nampak penting. Atau, setidaknya, mungkin anak-anak para pejabat.

Hei, apa yang sekiranya dibutuhkan pemuda penting semacamnya di hutan?

"Apakah kau memiliki keperluan khusus di sini, Tuan?" Khass tidak tahan lagi untuk tidak bertanya. Cerita macam apa yang bakal dibawa sang pemuda necis?

"Aku sedang mencari seseorang," jawab sang pemuda, sedikit ragu-ragu karena situasi yang baru saja menimpanya. Kemudian, menyadari bahwa bocah berlilit sarung itu tidak terkejut dengan ucapannya, ia melanjutkan dengan lebih tenang. "Aku mencari keluargaku, tapi ...."

"Apakah kau membutuhkan arah?"

"Tidak. Bukan itu maksudku. Ini sedikit aneh untuk dikatakan di awal, tetapi kau terasa agak familiar."

O-ho, sempurna sekali! Khass merasa semakin bersemangat. Pemuda necis ini barangkali memang membawa sebuah kisah yang menarik untuk dituturkan. Ia familiar dengan seorang Guru, maka siapa kiranya yang sedang dicari? Atau, astaga—ini adalah imajinasi liar Khass—apakah dia abang Amar yang hilang? Tapi, ah, mereka nampak seusia. Tidak mungkin begitu. Khass pun menyerah pada imajinasi super ngawurnya.

"Apakah seseorang yang kau cari tinggal di sini?"

"Aku tidak tahu, tetapi aku yakin begitu."

Khass tidak akan terburu-buru menanyakan perihal desa. Dia harus mengikuti pedoman menuntun orang asing oleh para Guru, tidak semua orang bisa sembarang langsung diarahkan ke desa.

"Mungkin kau bisa mengeceknya di balai kota, Tuan."

"Terima kasih, tetapi aku sudah mencarinya di sana. Tidak ada nama Rayford yang tercatat sebagai pendatang," katanya, dan Khass nyaris tak bisa menangkap namanya sekali dengar. "Sehingga, kupikir ia bergabung bersama para Guru. Entahlah, kudengar ada desa perguruan di sini."

Pertanyaan terbesar Khass akhirnya terjawab. Oh, dugaannya benar! "Benar sekali, dan apakah sekiranya aku kenal dengan seseorang bernama ... siapa tadi? Di desa?"

Anggukan mantap pemuda itu segera dibalas dengan gelengan kecil. "Maaf," kata Khass. "Tidak ada yang bernama ... siapalah itu."

"Rayford. Rayford Caltine."

Lihat selengkapnya