"Doa!"
Khass megap-megap saat Kamitua menarik rambutnya. Pemuda itu mengambil napas dalam-dalam melalui mulut, kemudian tersedak saat air masuk melalui hidung. Belum sempat Khass mengeluarkan batuk, Kamitua menceburkan kepalanya ke aliran sungai lagi.
"Doa!"
Khass tidak bisa berkonsentrasi. Kepalanya panas sementara sekujur kulitnya membeku akibat suhu air sungai di penghujung musim gugur. Bibirnya biru dan hidungnya kebas, aliran sungai yang deras menampar-nampar pipinya yang cekung.
Kamitua kembali menariknya bangkit dan berseru di telinganya, "Berdoa, Khass!"
"Mhaa—maafkan aku, Ya Tuhan—" Khass tersentak. Ia menceracau bait-bait permohonan ampun, menyesali tindakannya yang sia-sia, meski rasanya Khass tidak sedang melakukan kesalahan apa pun. Mengapa Kamitua begitu marah? Khass ingat betul betapa murka sang ayah saat mendapati Khass sedang mengacak-acak isi gudang, atau saat tongkat Kamitua menyentak keranjang itu dari tangannya dengan kasar. Ujung tongkat Kamitua tanpa sengaja menyabet telapak tangan Khass, dan alih-alih membuat luka baru yang mengeluarkan darah, telapak tangan Khass mengeras serupa tulang. Ini membuat Kamitua justru makin berang dan menyeretnya ke ruang sembahyang.
Kamitua menarik Khass dari lubang sungai dan mendorongnya berbaring di lantai ruang sembahyang. Dua Guru yang sudah ada di ruangan sejak tadi berusaha keras mengabaikan Kamitua dan anaknya. Mulut mereka tanpa sadar merapal doa lebih keras. Khass mendengarnya. Itu doa pengusir iblis.
Khass terbatuk-batuk. Sekujur tubuhnya menggigil dan ujung jemarinya mati rasa. Mata Khass mengerjap menghalau perih, dan ia berusaha merasakan hidungnya kembang kempis dalam amarah. Jantungnya berpacu secepat aliran sungai, sekeras suaranya yang menggaung di ruang sembahyang.