ANTIMA

Andy Wylan
Chapter #15

Para Perundung

Ketika Khass akhirnya ditangkap, ia mengalami konflik batin. Pertama, ia dan teman-teman seperguruan diajarkan untuk tidak takut dengan semua makhluk hidup karena mereka semua sama, dan peran para Guru adalah membimbing seluruh makhluk. Guru seperti penggembala dan makhluk-makhluk hidup lainnya adalah domba. Guru menuntun mereka dan menjaga mereka sementara domba-domba itu merumput sesuka hati. Bulu-bulu mereka yang tebal ibarat hadiah yang diberikan para domba ketika Guru menuntun mereka setiap hari untuk menikmati berkah Tuhan. Sehingga, Khass tidak gentar kepada para petugas itu, tetapi kasihan dengan anak-anak sebaya yang ketakutan setengah mati di dalam truk. Khass iba dengan para petugas yang bengis karena mereka telah keluar dari jalur Tuhan. Khass lebih takut pada kenyataan bahwa ia akhirnya mengalami peristiwa yang hanya didengar dari cerita-cerita Amar dan Par. Jantungnya berdetak dalam ketegangan. Benak Khass tak pernah sepi dari bait-bait resitasi untuk memohon pertolongan dan ampunan Tuhan, terutama kepada orang-orang ini. Khass adalah calon Guru, jadi mengapa mereka menangkapnya?

Ruang kecil itu panas dan sesak, seolah tak menyediakan tempat untuk bernapas. Khass sempat mengira bocah-bocah yang matanya terpejam dengan wajah pucat itu telah tewas. Mereka pasrah dengan truk yang berguncang-guncang. Tak ada yang berani bergerak, bahkan ketika kepala mereka terantuk dinding kontainer yang keras dan bergetar secara konstan.

Khass duduk paling dekat dengan para tentara Lakar. Tentu saja. Dia adalah korban terakhir yang dijebloskan ke dalam truk, dan mungkin satu-satunya yang masih segar dibandingkan kerumunan serupa ikan-ikan yang telah capek menggelepar di bawah sengatan matahari. Khass mengawasi kedua Lakar itu menanggalkan helm, lantas meraih dua bungkus dendeng untuk dibagikan. Cara Khass menatap intens kepada Lakar di seberangnya membuat tentara itu terusik.

"Apa yang kaulihat, bocah?" tangannya meraih senapan yang terikat di sabuknya. "Turunkan pandanganmu atau kupukul kau."

Khass tidak bergeming. Ia masih mengunci pandangan pada pria yang kini menyipitkan matanya dengan kesal. Reaksinya itu menarik perhatian Lakar kedua yang duduk paling dekat dengan Khass. Matanya yang kecil menyaksikan dalam diam, seolah siap untuk menampar si pemuda seandainya Khass mulai berbicara.

Khass tidak terpengaruh oleh tatapannya. "Kau ... kau telah salah menangkap orang," katanya, dan sedikit terkejut dengan kenyataan bahwa suaranya terdengar gemetaran. Khass kemudian sadar bahwa dirinya pasti terlihat sangat kacau sekarang. Kedua matanya merah karena terus-terusan menangis. Kulit wajahnya yang lembut terpoles lumpur kering dan goresan ranting. Telinga kiri dan rahangnya bersimbah darah dengan luka sabet yang masih segar. Bibirnya gemetar, sementara jemarinya saling meremas, berusaha memanggil Par agar membantunya menumbuhkan tulang-tulang.

Biar para Lakar itu tahu jika telah salah menangkap calon Guru. Apakah mereka tidak tahu kalau Guru dilarang untuk disentuh? Namun, seiring dengan berlalunya waktu yang terasa sangat lama, tidak muncul tanda-tanda akan keberadaan Par. Ini membuat Khass akhirnya mulai panik dan mengingatkannya pada saat Kamitua melukai lehernya. Par tidak membantunya. Par menghilang, membiarkan darah merembes dari luka melintang yang berdenyut-denyut di lehernya.

"Apa kau tuli? Lihat sana!" Lakar pertama itu mengambil senapan, nyaris saja memukul kepala Khass saat Lakar kedua tiba-tiba menahannya.

"Jangan!" pria itu mendesis. Rekan kerjanya membeliak, siap untuk melontarkan umpatan lebih banyak lagi. Ia menggeleng dan mengedikkan dagu ke arah Khass. "Kau tidak lihat? Dia anak dukuh di atas sana, Karl."

"Lantas?" Lakar pertama, Karl, mendengus. "Lihatlah keparat kecil itu. Kaupikir doa-doanya bisa membuatmu mati?" Khass merasa kepalanya memanas mendengar cemoohan itu. Tentara ini tidak takut dengan Guru.

Lihat selengkapnya