Di bawah langit sekelam suasana hati Khass, truk pembawa dua puluh budak baru itu menerjang sebuah hutan yang nyaris gundul. Pohon-pohon besar dicabuti untuk membuat jalur-jalur khusus truk. Rerumputan dan lumen telah lama tergilas. Lumpur bercipratan pada pohon-pohon yang tersisa setiap roda-roda raksasa itu melaju cepat, bagaikan orangtua yang menyaksikan anaknya dibunuh di depan mata. Sayang, itu sekadar lagu lama yang hanya diketahui para Guru.
Pohon pun hidup
menangisi cucu-cucunya
cucu-cucu yang kaupetik untuk kausematkan!
Oh! Terkutuklah wahai anak manusia
Pohon pun menangis,
berharap agar telingamu ikut tercabut ...
Meski Khass tidak bisa menyaksikan dunia luar, tapi jeritan para arwah penghuni pohon di hutan gundul itu menyesaki alam pikirnya. Sayang, pemuda ini sudah memasuki ambang terendah dari kesadarannya. Kupingnya masih berdenging, pandangannya bergetar, dan ia sama sekali tidak sadar jika truk pembawanya telah bergabung dengan truk-truk lain yang beriringan keluar dari hutan.
Truk akhirnya melambat dan berhenti. Alih-alih terdengar desah napas lega, para bocah yang telah melemas dalam rengkuhan itu kini bergumam-gumam takut. Ketika pintu truk menjeblak terbuka dan udara sarat debu menyeruak masuk ke dalam kontainer, anak-anak itu meracau dan menangis dalam ketegangan.