Khass dilempar masuk ke sebuah sel. Belum sempat ia beranjak, iblis pengawal itu menutup pintu dan menguncinya dengan cepat. Khass terpana menyaksikan tubuh raksasa itu menghilang di balik sepasang pintu baja ruangan. Pintu berderit menutup, menimbulkan suara decitan memekakkan telinga yang membuat dengung di kepalanya makin mengeras. Khass pun tergolek lemas di tanah liat yang membatu.
Kamitua ... desa ... dan, Par. Ya Tuhan, kemana iblis itu?
"Hei?"
Khass terkejut saat pinggangnya disentuh oleh sesuatu. Ia terlonjak dari tempatnya, berbalik, dan—oh! Ternyata ada seorang pemuda seusianya! Khass sempat tidak menyadari karena saking kacaunya, tetapi kini ia bisa mengenali pemuda itu dengan baik. Kulit zaitunnya kusam, wajahnya berbintik-bintik dan matanya cokelat terang ... bahkan terlalu terang, nyaris pucat. Begitu aneh. Barisan giginya yang agak berantakan terlihat saat ia membuka mulut.
"Kau tidak apa-apa?" pemuda itu terlihat gelisah, meski Khass ragu apakah itu karena raut wajahnya yang pucat. Ia tidak terlihat lebih baik daripada Khass. Malah, nampaknya pemuda itu menderita suatu penyakit. Tubuhnya bungkuk dan kurus kering. Ia sama sekali tidak cocok untuk diperbudak di lapangan. Kulitnya yang pucat menandakan ia sudah lama tidak disentuh sinar matahari secara langsung.
Khass tidak tahu harus menjawab apa. Lagipula, ia mendengar ada suara dentingan pada jeruji sel di seberangnya. Khass menoleh, kemudian menyadari bahwa ada sel-sel serupa di dalam ruang melingkar itu. Setidaknya ada lima sel, saling menghadap ke sebuah lingkar kecil di tengah-tengah. Masing-masing mengunci dua atau tiga anak sebaya. Wajah-wajah itu sebagian terlelap dan sebagian lagi memandang Khass dengan penasaran. Mereka semua mengenakan pakaian yang sama; serupa piyama berwarna putih tulang dengan tali-tali di punggung mereka.
"Darimana kau berasal?" pemuda satu selnya kembali bertanya. Suaranya agak serak.
"Dari ... Desa."
"Desa apa?"
"Desa ... desa?"
Pemuda itu mengernyit. "Kau tidak tahu nama desamu?"
"Bukan. Bukan desaku. Tapi Desa."
"Ah." Ekspresi pemuda itu melunak. "Apakah kamu murid sebuah perguruan?"
"Sejak lahir." Khass mengangguk lemah, lega karena tidak perlu menjelaskan sesuatu yang bahkan tak tahu bagaimana cara menyampaikannya. Ia merasa canggung karena tak pernah sekali pun mengobrol dengan seseorang di luar desa perguruan, selain orang-orang asing yang mampir dahulu. Pemuda itu punya bau yang berbeda dengannya. Sama sekali tidak tercium lavender, melati, atau tetumbuhan wangi lainnya yang menjadi ciri khas para Guru. Pemuda itu memiliki bau serupa rerumputan serta tanah basah, dan meski itu adalah bau yang segar, tetapi telah lama pudar dan ditutupi bau keringat, obat-obatan, dan sesuatu yang sangat menyengat serupa cairan kimia, dan itu membuat hidung Khass gatal. Juga ada bau tumbuhan tertentu, tapi Khass tidak tahu apa itu, dan ia hanya pernah menciumnya sekali ketika menyelinap ke ruang pengobatan Guru tabib. Bau pemuda itu, secara keseluruhan, membuat Khass mual, melebihi kecut dan apeknya aroma Debri saat pertama kali tiba di desa.
"Aku Janthell." Ia mengulurkan tangan. "Dari Langman."
"Langman?" Khass menjabat tangannya, lantas agak terperangah dengan kekuatan genggaman Janthell yang ternyata lebih kuat daripada postur tubuhnya. "Dimana itu?"
"Kau tidak tahu Langman? Ah, benar, bocah perguruan dari lahir." Janthell tertawa pada dirinya sendiri. Khass tidak tahu apakah dia dijadikan bahan lelucon atau hanya sekadar basa-basi, sehingga ia hanya tersenyum canggung. "Langman adalah kota di Gerbang Timur. Terkenal dengan jalur Pegunungan Putih ... kukira kau tahu?"