"Selamat sore!" suaranya menggelegar menyapa para bocah. Khass tidak berkutik, selain merasakan jantungnya berdentam-dentam. Siapa mereka? Dan mengapa wajah bocah-bocah ini terlihat sendu? Tak ada yang menjawab sapaan si ilmuwan senior. Bocah paling kecil di seberang selnya—Maurice—bahkan menyembunyikan diri di balik punggung si gadis.
"Maafkan atas keterlambatanku!" ilmuwan senior itu terus mengoceh. Ia tertawa sembari menerima sodoran papan dari salah satu asistennya. Ia membolak-balik halaman. "Ada banyak sekali yang perlu diurus, kalian tahu? Karena kami—ah, ini kabar gembiranya—telah menemukan formula baru yang lebih efektif untuk menyingkirkan efek samping dari pengobatan yang lalu-lalu! Kawan-kawan kalian di sel sebelah sudah mencobanya. Mereka yang menderita ruam-ruam kini sembuh. Siapa di sini yang kemarin mengalaminya ... mari kita lihat ... ah, Melissa?"
Maurice refleks terisak di balik punggung si gadis. Semua mata pun tertuju pada satu-satunya gadis yang kini terlihat tegang. Khass merasakan Janthell meringsut mendekat ke jeruji sel. Kedua matanya melotot saat seorang penjaga membuka pintu sel Melissa dan Maurice.
"Tidak—tolong jangan." Melissa mencicit.
"Bangsat." Khass mendengar Janthell mengumpat dalam bisikan. Khass terkejut mendengar kata semacam itu diucapkan begitu dekat dengan telinganya. Apakah dia benar-benar mengucapkan kata kasar itu? Bang ... bangsat katanya? Demi Tuhan, Kamitua bakal memecut pantat siapa pun yang berani mengatakan itu di desa. Khass melotot balik kepada Janthell, tapi ia tidak digubris.
"Tidak!" Melissa menjerit saat seorang iblis menyeretnya keluar sel. Sementara para ilmuwan menyingkir dari lingkar kecil, si ilmuwan senior menerima sodoran suntikan dari salah satu rekannya. Melissa dilempar ke tengah dan dipaksa berdiri pada kedua lutut. Ia mengerang saat si iblis menahan kedua kakinya dengan diinjak. Khass menahan napas. Apa yang bakal terjadi?
Seorang ilmuwan wanita menarik tangan Melissa. Gadis itu memberontak dan pipinya langsung ditampar. Kejadiannya begitu cepat sampai-sampai Khass semula tidak menyadari itu. Namun, isakan Melissa menyadarkannya. Tangannya ditarik oleh si ilmuwan wanita dan dioleskan semacam cairan, hingga Khass mencium bau alkohol dan sari-sari tumbuhan yang pekat.
Sang ilmuwan senior berjongkok di depan Melissa. "Tenanglah, Sayang. Tenang. Ini tidak akan menyakitkan."
Khass melongo ketika Melissa meludah ke wajah ilmuwan itu sambil berseru, "Pembohong!" dan mengundang tamparan dari ilmuwan wanita yang menahannya, kali ini lebih keras. Melissa meraung saat kakinya ditekan hingga terdengar suara gemeretak. Si ilmuwan senior hanya menggeleng pelan. Ia mengelap bekas ludahan Melissa dengan jijik.
"Jangan begitu. Kau bahkan belum tahu bagaimana hasilnya."
Janthell mendesis di samping Khass. Ia membisikkan serentetan kata-kata makian yang membuat telinga Khass geli. Sebagai gantinya, Khass terus-terusan merapal nama Tuhan dan doa di dalam hati. Jangan dengarkan. Jangan dengarkan. Ya Tuhan, semoga Melissa tidak apa—
"Tidak!!" Melissa menjerit. Khass menyaksikan dengan tegang saat jarum suntik menembus kulitnya. Cairan berwarna kemerahan disuntik ke dalam nadi, dan Khass terpana melihat cairan itu nampak begitu jelas dari bawah kulit, seolah-olah nadi Melissa telah menonjol keluar dan nyaris menjebol lapisan pelindungnya. Khass mengawasi aliran merah samar yang terlihat menyebar di bawah kulit Melissa dengan jelas. Liukannya ... semakin jauh cairan itu masuk ke dalam tubuh Melissa, semakin keras teriakan gadis itu, bahkan Khass terpaksa menutup kuping karena kedengaran terlalu menyakitkan, mengalahkan dengung yang mengganggu pendengarannya sejak dari truk.
Melissa pun melemas. Suaranya menghilang. Ia ambruk segera setelah suntik itu dicabut, dan tidak ada yang mau repot-repot menahannya. Ia justru diseret kembali ke sel dan dibiarkan tergeletak pingsan. Maurice pun menghampiri Melissa dengan histeris.
"Mel!"
"Ah ... Hm, mungkin memang rasanya sedikit nyeri, tapi aku yakin ruamnya akan segera menghilang." Sang ilmuwan senior mengangguk-angguk. Nadanya terdengar begitu tenang, berkebalikan dengan situasi di sel itu. "Tadi siang aku menerima laporan bahwa penderita ruam di sel sebelah sudah kehilangan ruamnya, padahal aku baru menyuntiknya kemarin! Besok, pasti, Melissa bakal sembuh. Atau paling lambat besok lusa."
"Bajingan! Keparat! Kami tidak butuh obatmu!" Khass terkejut mendengar Janthell berteriak emosi seraya menggoyang-goyangkan jeruji besi. Si ilmuwan senior tidak kaget sama sekali. Ia melengos menatap Janthell dengan alis terangkat. Ia nampaknya baru saja akan mengatakan sesuatu, tetapi pandangannya teralih kepada Khass yang masih terperangah dengan situasi barusan.
"Oh, oh. Siapa ini? Aku belum pernah melihatnya."
"Dia anak baru, Profesor. Asisten Lorry yang mendatanya tadi pagi."
"Dan dia sakit apa?" Profesor tak sekali pun berkedip saat mendekat. Khass tanpa sadar menjauh dari jeruji sel, tapi langkahnya tertahan saat Profesor mencapai lengannya dan menarik dengan kuat. Ia ketakutan menatap kedua mata Profesor yang sangat pucat. Mengerikan. Pria ini mengerikan—
"Mabuk darat."
Alis Profesor berkedut. "Hanya mabuk darat, Sayang? Lihat rahangnya. Lukanya masih segar ... oh, ini mengerikan."