Khass tidak makan selama dua hari. Satu kali lagi ia melewatkan makan yang disodorkan para petugas, Janthell yakin pemuda itu bakal mati.
"Khass, makanlah." Janthell membawa baki bekas peralatan medis ke samping Khass yang tergolek lemas di pojok sel. Khass sama sekali tidak bergerak. Semula, pemuda itu bakal bereaksi dengan melirik dua potong roti keras dan sup kental hambar dengan kulit lemon, tetapi Khass bahkan tidak bergerak. Orang yang tak teliti bakal setuju pemuda itu sebenarnya sudah mati satu jam yang lalu.
"Hei. Kau bakal mati kalau begini." Janthell mendesah. Ia sebenarnya tak ingin mengatakan itu, tetapi kata-kata halus nampaknya tak berguna lagi. Khass sudah merasakannya. Dua hari yang lalu, ketika pemuda itu dilempar kembali ke sel setelah diberi "pengobatan" perdana oleh Profesor, Khass berubah menjadi mayat hidup. Kosong. Ia mengalami terlalu banyak syok. Dan, parahnya lagi, ia bakal sesekali berjengit di tidurnya dan menjerit-jerit memohon ampun, entah kepada siapa. Janthell hanya sempat menangkap kata-kata semacam "ampun, Kamitua!" atau "jangan suruh mereka tinggal di dalam lagi!" dan Janthell sama sekali tidak paham. Ia hanya bisa berspekulasi bahwa kalimat terakhir merujuk pada cairan-cairan yang disuntikkan kepada tubuh mereka. Cairan-cairan itu menimbulkan halusinasi parah.
"Khass." Janthell menggoyangkan bahunya, dan masih tak ada jawaban. Ia berdecak. Matanya mengedar ke sekeliling, mencoba mencari cara, kemudian ia menatap Khass lagi dan menepuk-nepuk bahunya dengan keras. "Astaga! Mereka datang!"
Khass tersentak. Ia langsung merapat pada dinding dan sekujur tubuhnya menegang. Gerakannya begitu cepat dan membuat Janthell sempat ikut kaget. Selama sesaat sel itu kembali hening, kemudian kedua mata Khass perlahan menatap Janthell dengan marah.
"Kau bohong."
"Kau harus makan, bocah." Janthell tak menggubris nada penuh penghakiman Khass. "Mereka akan semakin marah kalau kau tidak makan. Bakal lebih sakit."
"Biarkan saja. Mending aku mati."
Janthell mengernyit. Bocah itu bahkan baru disuntik sekali. Ia memutar otak lagi. "Yah, aku tahu perasaanmu ... tapi apa kau tidak merasa semakin berdosa karena sudah menyia-nyiakan makanan selama dua hari? Tuhan ... Tuhan mungkin bakal enggan menolongmu lagi ... jika kau menolak bantuan kecil-Nya ini."
Khass membuka mulut, siap mengatakan sesuatu, tetapi ia memilih untuk menutupnya kembali. Ia meraih sup dengan amat tidak berselera. Janthell menghela napas lega saat Khass mulai menelan suapan supnya. Bagi pemuda empat belas tahun yang sudah dua hari tidak makan, ditambah banyak kejadian traumatis, sup kental hambar sekalipun akan terasa seperti sup ayam hangat yang gurih. Janthell tidak paham apa yang membuat Khass sempat menahan diri untuk tidak makan.
Seusai Khass menandaskan semua makanan di baki, Janthell berdeham. Ia mendaratkan tangan di bahu Khass dan meremasnya pelan. "Dengar, aku tahu ini sangat mengejutkan bagimu, tapi ... beginilah. Di sini, atau dipecut di luar. Aku tidak tahu mana yang lebih baik. Tapi kau harus bertahan. Memilih mati bukanlah jalan keluar. Mereka takkan membiarkanmu mati. Karena semakin sakit kau terlihat, maka pengobatannya akan semakin ... kuat."
Janthell merasakan Khass bergetar di tangannya. "Aku tidak ingin menakutimu, Khass. Kau perlu menguatkan dirimu. Kau harus sehat dengan caramu sendiri. Kalau kau sehat, pengobatannya akan lebih ringan. Sungguh. Percayalah. Aku sudah di sini sejak sel ini didirikan. Aku tahu ... banyak."
Khass menatap Janthell lemas. "Membantu sekali. Terima kasih."
Janthell tersenyum tipis. "Kuatkan dirimu. Mereka takkan menyentuhmu lagi sampai satu minggu berlalu."
"Aku ...." Khass terdiam sejenak. "Aku merasa kacau."
"Ya? Kenapa?"
"Aku dididik menjadi pembimbing orang-orang seperti kalian, tetapi aku merasa gagal." Janthell tidak menyangka akan mendengar curhatan seperti itu. Ia kira Khass akan mengeluh soal pengobatan.
"Apa yang membuatmu merasa begitu?"
"Aku seharusnya menunjukkan jalan buat kalian ... mengarahkan kalian ke jalan yang baik. Tapi aku malah ... aku malah begini." Khass nampaknya nyaris menangis, kecuali alisnya yang bertaut dan matanya menyala marah. "Aku tidak tahu ada orang sejahat itu di luar sana. Mengapa dia berbuat seperti itu kepada kita? Apa salah kita?"
Janthell menatap Khass lekat-lekat. Bocah itu datang ke sel ini dengan tubuh penuh carut-marut dan lumpur kering. Ia kebingungan karena terjebak dalam situasi yang amat asing, di dunia yang selalu nampak menakutkan baginya. Sekarang, dua hari kemudian, ia sudah merasakan secuil neraka di situs perbudakan ini, dan balutan sarungnya sudah berganti menjadi piyama tali. Ekspresinya persis dengan yang pernah ditampilkan semua anak di sel ini saat mereka pertama kali diberi pengobatan. Hanya saja ketakutan bocah ini benar-benar murni—bukan ketakutan yang pernah dirasakan oleh anak-anak yang dipukul dan bertengkar dengan orangtuanya—tetapi ketakutan yang dirasakan oleh orang yang menganggap diri mereka suci dan tak seharusnya disentuh kejahatan barang disandung sekalipun.
"Bung, aku tidak tahu apakah kau bisa menerima saran dariku yang jarang ke Konservatori ini." Janthell mendesah. "Tetapi aku ingin kau mendengarku. Dengar, pasti ada alasan mengapa engkau di sini. Lupakan masalah di belakangmu sejenak dan pikirkan secara luas, jika kau paham maksudku. Kau tidak berakhir di sini tanpa suatu alasan ... karena, kau tahu, kedatangan seorang pembimbing di antara kami pasti selalu memiliki alasan yang baik."
Janthell berharap omong kosongnya bekerja. Dia pernah sekali, bahkan terlalu, berharap kepada Tuhan, tetapi hidup di sel selama bertahun-tahun telah menumpulkan keimanannya.