Seolah merupakan jawaban dari Tuhan atas doa-doanya, kedatangan Elena Laurim membawa kemudahan di hidup Khass. Ia mengetahuinya segera setelah mengorek informasi dari gadis itu. Ia berasal dari Kota Bellesiga, sebuah kota besar di Gerbang Timur. Awal pengenalan yang bagus untuk serentet latar belakang yang manis. Ia dilahirkan dari keluarga yang berada—ayahnya adalah anggota parlemen dewan provinsi dan ibunya merupakan seorang filantropis. Sebagai anak tunggal, Elena disayang sedemikian rupa dan dijaga pengetahuannya agar tidak mengenal segala bentuk ketidakadilan pemerintah terhadap kaum proletarian. Kenyataannya, penjagaan yang terlalu ketat membawa gadis yang mudah penasaran ini untuk membebaskan diri. Satu kali percobaan membebaskan diri, Elena langsung ikut terseret segerombolan pelajar yang memprotes kebijakan Raja di sebuah taman, sebelum diganggu oleh sekelompok tentara Lakar yang siap menyeret mereka ke situs-situs perbudakan.
Setidaknya Elena adalah penganut agama yang rajin ke Konservatori. Ibunya selalu memastikan bahwa Elena dijejali dengan paham agama tanpa menyisakan ruang kosong untuk mengenal kasus-kasus politik dan kemanusiaan di luarnya. Sang ibu pula yang berusaha untuk memilihkan Konservatori yang tak membawa kasus-kasus politik ke dalam kajian mingguannya. Keuntungan inilah yang membuat Khass merasa bahwa Tuhan telah membawakan seorang pembantu kepadanya.
Sekarang masalahnya cuma satu; bagaimana caranya mempertahankan agar keyakinan Elena tidak goyah, sehingga ia bisa membantu Khass dalam mencerahkan suasana sel. Semua ini dilakukannya semata-mata untuk meyakinkan diri sendiri bahwasanya di antara bubuk kopi akan ada ada setidaknya sebongkah gula batu yang terselip. Kalau itu terlalu berlebihan, Khass akan menggantinya dengan sebutir gula pasir. Tak apa jika kopinya masih terasa pahit betul, setidaknya dia tahu ada sebutir gula yang larut di dalamnya.
Minggu demi minggu, bulan demi bulan, Khass mencoba mempertahankan rasa percaya diri para penghuni sel itu. Beruntunglah mereka adalah anak-anak yang masih betah untuk bermimpi keluar sel suatu waktu. Ini membuat mereka bertahan dari suntikan-suntikan maut yang menggelapkan mata mereka. Lambat laun, semakin sedikit tangisan yang terdengar membahana di sel-sel itu. Hanya raut-raut penuh dendam dan keinginan untuk membebaskan diri yang tersurat di setiap wajah.
Hal ini menjadi perhatian si Ilmuwan Kepala, yang entah kenapa semakin membenci Khass tiap kali mereka bertatap muka. Rasa-rasanya, perasaan benci yang semula ia tujukan kepada Janthell karena tidak kunjung mati, kini tumpah seutuhnya kepada Khass. Ataukah ia sebenarnya tahu jika Khass merupakan dalang dibalik semua wajah batu itu? Apapun alasannya, dosis suntikan yang ia berikan kepada Khass menjadi semakin kuat setiap minggunya. Sementara kawan-kawan selnya kembali membangun kepercayaan diri, Khass harus menanggung akibatnya dengan menerima pengobatan yang luar biasa menyiksa. Ia menyembunyikan hal itu dari kawan-kawannya.
Seperti minggu lalu, tepat satu tahun setelah Khass menjalani pengobatan pertama, Desmond—nama Ilmuwan Kepala—menyuntikkan tiga cairan sekaligus melalui tiga tempat yang berbeda. Semakin banyak sabuk yang menahan tubuh Khass. Ia bahkan tidak diizinkan untuk menggerakkan jemari. Satu-satunya reaksi yang dapat lolos dari tubuhnya hanyalah air mata yang mengalir tanpa henti dari kedua matanya yang merah. Mulutnya disumpal sampai-sampai muncul gejolak di tenggorokan. Biasanya Khass langsung muntah segera setelah buntalan kain itu dikeluarkan. Kalau ia masih bisa bertahan sadar, Khass akan pontang-panting ke toilet dan berak. Kamar kecil itu bakal dipenuhi raungan, entah obat macam apa yang disuntikkan ke dalam dirinya. Selepas Khass keluar dari laboratorium, pemuda itu biasanya ambruk. Toiletnya penuh dengan darah cair yang menggenang. Tidak ada yang mau tahu darimana asal darah itu keluar.
Meski demikian, keinginan Khass untuk meyakinkan para kawan seisi selnya masih tidak berkurang. Rasanya ia juga tidak akan mati semudah itu. Daripada bersemangat bernapaskan harapan, ia cenderung marah.
Hari ini adalah hari ketiga di minggu ini; sehari sebelum Khass dan Elena bakal ditarik keluar untuk menjalani pengobatan di waktu yang sama. Sebenarnya, selama tiga bulan terakhir, mereka sudah menempati satu ruang pengobatan, tetapi demi alasan khusus yang tidak dijelaskan, Khass dipisah sendirian bulan lalu. Itulah saat-saat dimana Khass mengotori seisi toilet dengan darah. Desmond agaknya menyesal tidak membiarkan Elena menyaksikannya. Itu bisa jadi pelajaran baginya agar tidak ikut-ikutan membantu si Guru Muda untuk mendoktrin kawan satu selnya, atau ia akan bernasib sama.
Dan, pada hari ini, Khass menempati posisi terbawah dalam roda kehidupannya.
Penyakit Elena menyebar semakin parah, dan dari pengalaman Khass menyaksikan Melissa yang menderita ruam di sekujur tubuh, mereka yakin Elena bakal disuntikkan sel iblis serupa yang kemudian akan lahir di dalam tubuhnya dan merusak si induk.