Terkadang, saat tidur, Khass terusik dengan mimpi yang sama. Ia sedang duduk bersebelahan dengan seorang pria yang terlihat seperti Par, tetapi Khass tidak yakin jika itu memang dirinya. Par adalah iblis. Pria ini jelas-jelas seorang manusia yang bertubuh jangkung. Khass ingat betul rupanya yang buruk dan mengerikan, dan meski pria ini sama-sama pucat dan bertubuh bungkuk, ia masih lebih manusiawi. Atau, barangkali Par sengaja menjelma menjadi manusia, tetapi apa yang dilakukannya di mimpi Khass? Apakah dia memang nyata? Selama mimpi-mimpi sebelumnya, pria ini tak pernah mengatakan apa pun. Namun, kali ini, ia akhirnya bersuara.
"Lakukan saja."
Khass terlalu terkejut untuk bisa memikirkan jawaban lain, atau hal-hal yang sebenarnya ingin ia tanyakan tiap duduk dalam diam bersamanya. Suaranya benar-benar terdengar seperti Par. "Melakukan apa?"
"Kau sudah pernah melakukannya sekali. Meski berakhir pahit, tapi memang tidak semua upaya akan berakhir semanis gula. Kadang biji kopi itu lezat kalau kau tahu cara menikmatinya ...."
Khass akhirnya sadar kemana pembicaraan ini mengarah. Ekspresinya mengeruh.
"Apa yang kau takutkan?"
Kedua tangan Khass mengepal. "Kau menggiringku tetapi kau meninggalkanku saat aku benar-benar melakukannya. Pada akhirnya, aku jatuh ke lubang yang jauh lebih kelam dan menyakitkan."
"Tuhan menguji keimanan manusianya dalam keadaan terburuk tanpa bantuan, Guru Muda. Kau lahir dan mati sendirian."
"Bukan begitu caranya mencari pembelaan. Kau tidak bisa membawa nama Tuhan saat melarikan diri dari tanggung jawab."
"Apa aku punya tanggung jawab padamu?"
"Punya!" Khass mendadak merasa kesal. "Kau yang membuatku seperti ini."
Pria berkulit pucat itu menoleh, lantas untuk pertama kalinya Khass menatap kedua matanya yang hitam legam. Dia memang Par. Dalam sekejap, Khass merasakan gejolak di dalam dirinya. Dadanya terasak sesak dan pelupuk matanya memanas. Sesuatu dalam kedua mata pria itu terasa menyedotnya. Khass sama sekali tak bisa mengalihkan pandangannya.
Ia ketakutan.
Par dalam sosok manusia itu akhirnya tersenyum lebar. Geliginya yang setajam bilah-bilah pisau menguning seiring ratusan tahun yang berlalu. "Kalau begitu mari kita perbarui perjanjian kita," ujarnya sembari membetulkan posisi duduk untuk menghadap Khass seutuhnya. Sang pemuda masih tak berkutik selain merasakan inderanya menumpul. Lidahnya kelu, dan jemarinya gemetaran. Mengapa Par dalam sosok manusia justru terasa sangat menekan?
"Perjanjian apa?"
"Dahulu kita berjanji di menara desa," Par memulai, "tentang kau membantuku mencari saudara-saudaraku, maka aku pun akan memperluas pengetahuanmu akan dunia luar. Semua nyaris terlaksana: kita pernah menemui Caellan Caltine dan akan menemuinya lagi, sementara kau—di luar rencana yang telah ditetapkan—sudah mencapai dunia luar."
"Bukan ini dunia luar yang ingin kurasakan." Khass menangis. "Ini neraka. Ini bukan dunia luar."