"Janthell! Dia hidup." Elena meringsut mendekati Khass. Ia mencengkeram tangan pemuda itu, menggoyangnya pelan, diikuti oleh suara Janthell yang menyuruh Elena agar bersikap lembut. Khass nampak nyaris mati.
Khass mengerang dan mendesis, merasakan sekujur tubuhnya seolah ditusuk-tusuk jarum. Hal pertama yang disadari adalah punggung. Khass refleks terduduk, berusaha meraba-raba punggungnya dengan mata terpejam karena masih ketakutan.
"Apa yang kaulakukan?" Elena berbisik tidak paham. "Punggungmu baik-baik saja." Kata-kata itu cukup untuk mendorong Khass membuka mata. Ia memandang takut-takut, kemudian merasakan luapan kelegaan saat mendapati badannya masih utuh. Khass refleks tersenyum lebar, membuat Elena menghela napas lega. Anak-anak seisi sel pun bersorak, menyuarakan kegembiraan mereka karena mengira Khass sudah mati.
Beberapa saat kemudian, anak-anak itu saling bersandar pada jeruji masing-masing, mendiskusikan kondisi Khass barusan.
"Luar biasa," celetuk Maurice. "Aku masih ingat ... siapa ... oh, Rob, ya, namanya? Dia sudah tewas dua tahun yang lalu sih. Kondisinya juga sepertimu, Khass. Dia menggila, kemudian pingsan. Dia dibawa kemari lagi, dan tidak bangun selama beberapa hari. Ternyata dia meninggal dalam tidurnya."
Khass mengangkat alis. "Apa aku pingsan selama berhari-hari?"
"Tidak. Bahkan mungkin tidak sampai satu jam," jawab Elena. Ia sedang mengunyah sisa roti dingin. Gadis itu mengaku kelaparan setelah pengobatan yang memaksanya berkeringat berlebihan. Piyama putihnya mulai kusam akibat noda keringat.
"Khass tentu kuat. Tuhan memilihnya menjadi seorang Guru Muda, dia pasti lebih kuat daripada kita," seseorang menyahut lagi dan seisi sel mengungkapkan persetujuannya. Khass merasakan sensasi menenangkan dari pembicaraan itu. Syukurlah! Pengobatan hari ini telah usai. Masih ada satu minggu lagi sebelum neraka selanjutnya berlangsung.
Khass termenung. Ia kembali teringat dengan mimpinya tadi. Itu hanya mimpi, bukan? Rasanya sungguh nyata. Mustahil dia adalah Rayford. Ia bahkan berhalusinasi melihat para ilmuwan tewas karena koyakan tentakel dari punggungnya, juga sosok Par yang secara utuh sedang menyantap darah di ruang pengobatannya. Sungguh, pemandangan itu begitu liar dan hewani, bahkan Khass merasa pelupuk matanya berair hanya sekadar mengingatnya saja. Tidak mungkin dia akan mengizinkan Par melakukan hal semacam itu ... dan, duh! Mengingatnya saja membuat bulu kuduk Khass merinding. Ujung-ujung jemari dan kakinya menggelenyar.
Khass menggelengkan kepala, berusaha mengusir bayangan itu dari benaknya. Ia pun mengedarkan pandangan ke sekeliling sel untuk mengembalikan kesadarannya ke ruangan itu seutuhnya. Khass menyadari Janthell telah lama menatapnya. Alih-alih tersenyum, pemuda itu menatap tajam. Khass dibuat bingung olehnya.
Ada apa? Mengapa—
Pintu ruang sel berderit. Wajah-wajah penghuninya sontak menatap ke arah pintu baja itu dengan raut suram sekaligus bertanya-tanya. Jam berapa ini? Apakah akan ada anak baru? Atau, jangan-jangan Profesor Desmond datang dengan pengumuman formula barunya? Duh!