Segalanya berubah kacau dengan cepat. Khass tidak mampu menelaah dengan baik situasi di sekelilingnya. Sesak! Tubuh kurus Khass terimpit oleh desakan para pekerja yang berusaha mencapai pintu keluar, menghindari serpihan langit-langit yang menghujani lorong tiap terjadi benturan, dan itu nyaris setiap detik. Bola-bola besi dihantam di belakang mereka, saling menyusul dan seolah tak memberikan kesempatan bagi para manusia yang terperangkap di dalam bangunan untuk kabur.
Hei, siapapun kalian, masih ada manusia di dalam bangunan! Masih ada kami, para budak, bukan hanya para penindas saja!
Khass bahkan tidak perlu berlari. Saking ringan tubuhnya, ia terbawa arus begitu saja. Kakinya terseret oleh impitan para pria yang ototnya merekah akibat bekerja tanpa henti setiap hari. Bau-bau keringat dan aroma tanah basah mengaburkan indera penciumannya. Beruntung oleh tubuhnya yang tinggi, Khass masih mampu melihat kepala orang-orang yang saling berdesakan di lorong itu. Dimana Elena? Dimana Maurice dan kawan-kawannya yang lain? Oh! Serpihan-serpihan dan debu ini membuat semua rambut nampak kelabu sama rata.
"Belok kiri! Belok kiri!" sahut-sahutan para pekerja diantara hingar-bingar jeritan membuat Khass makin pusing. Nyaris pasrah dengan situasi ini dan hanya mampu berdoa akan keselamatan, tempurung kepalanya tiba-tiba berkedut.
"Jangan belok kiri," Par menyentak. "Ada bola-bola besar yang menghancurkan sisi kiri! Beloklah ke kanan, kemudian baru belok ke kiri. Tetaplah berlari dan kau akan menemukan jalan keluar."
Suara Par menggema keras di kepala, membuat Khass merasa gila. Namun, tangannya refleks untuk menggapai sosok seperti Elena. Gadis itu tidak jauh-jauh darinya. Saat Khass mampu menjambak rambut Elena yang panjang, ia menariknya keluar dari kerumunan dan buru-buru belok ke kanan.
"Khass!" Elena menjerit kesakitan. "Apa yang kau lakukan?"
"Belok sini!" Mereka berderap menyusuri lorong yang lumayan sepi. Hanya ada beberapa pekerja yang berlari jauh di depan mereka, bingung ketika menghadapi ruangan-ruangan kosong. Khass tidak tahu mengapa ia percaya saja pada Par. Namun, ia juga tidak mau seandainya iblis itu berbohong. Par bisa dengan mudah mengetahui keadaan dunia luar, tidak seperti para pekerja yang buta arah dengan peta laboratorium ini hingga dipaksa kabur. Apa pun itu, Khass yakin Par akan membawanya keluar!
"Maurice!" suara Elena tersela napasnya yang patah-patah. "Yang lain!"
"Tidak ada waktu!" Khass membentak. Ia menarik Elena berbelok ke lorong di sisi kiri mereka. Lorong itu lebih sempit, dan hanya ada sepasang pintu di ujung. Langkah mereka terhenti. Selama sesaat, kedua anak itu berusaha mengatur napas dengan kebingungan.
"Khass, jalan buntu. Ayo kembali!"
"Tidak," jawab Khass. Saat mata mereka akhirnya bertatapan, Khass menyadari bahwa Elena menangis. Matanya yang pucat menatap nanar.
"Kenapa?" gadis itu terisak. "Apa kau juga mendengarkan iblismu?"
Khass tak mampu memercayai pendengarannya, tetapi situasi di sekeliling mereka bahkan terlalu kacau untuk bisa dipahami. Khass menghela napas.
"Kenapa tidak?" Khass bergetar saat mengatakannya. Benar, mengapa tidak? Par memang menyebalkan, tetapi dia selalu berhasil menyelamatkan Khass dari berbagai situasi.