10, Bulan Pekerja. Tahun 1927.
Terakhir kali China Lau menginjakkan kaki di trotoar, ia masih mengenakan mantel bulu kelabu sepanjang lutut. Salju membenamkan sepatu bot kira-kira sepuluh sentimeter, dan China Lau benci hidungnya tersumbat karena cuaca yang membeku. Namun kini, di bawah biru lembut yang nyaris tanpa noda, China Lau melenggang puas dengan sepatu hak merah menyala. Berulang kali ia menghirup udara dalam-dalam, sedikit tak keberatan ketika asap mobil menerjang dadanya, karena itu jauh lebih baik dari apa pun yang pernah dialaminya sebelum ini.
China Lau puas. Ia bahkan tak menyangka akan keberuntungannya pagi ini. Ia mampu melangkah dengan bebas di trotoar. Langkahnya lebar, dagunya terangkat bangga, dan ia tak segan-segan untuk sesekali menyapa orang-orang yang menatapnya dengan decak kagum. Wanita ini penuh percaya diri, bukankah begitu? Tentu saja, mengapa tidak? Untuk pertama kalinya pada tahun ini, China Lau telah memastikan bahwa dirinya bisa melenggang di trotoar mana pun tanpa kecemasan membayang.
China Lau melangkah melewati sebuah kotak pos. Puluhan selebaran menyembunyikan warna merahnya yang semburat kelabu kotor. Semula kau akan berpikir bahwa selebaran itu membosankan dan mengganggu, tetapi percayalah, tiga kata bercetak tebal yang memenuhi seluruh bidang kertas itu memiliki makna yang jauh lebih besar daripada ketebalan hurufnya.
KELAHIRAN ERA BARU!
Tidak mungkin China takkan menyadari selebaran itu. Semua papan, dinding kosong, kotak pos, bahkan tiang-tiang dihias oleh selebaran serupa. Sambutan atas kelahiran era baru terasa jelas ketika kau mengangkat kepala dan mengarahkan pandangan ke ujung blok di sana, di mana sebuah bendera raksasa berdiri gagah di tengah-tengah pusat kota, menyingkirkan panji-panji bakung gunung perak berlatar biru kelam yang menjemukan. Terpampang wajah seorang pria paruh baya yang masih terlihat segar dan penuh semangat di wajahnya, siap membawa perubahan yang sangat berarti bagi negeri yang kini dipimpinnya. China menghirup napas dalam-dalam sekali lagi, kali ini sarat dengan kebanggaan. Ia telah menghadap pemilik wajah itu sekali, mendapatkan kepastian, dan inilah alasan mengapa ia mampu melenggang di mana pun tanpa merasa ketakutan.
China beranjak. Ia tak bisa berlama-lama karena harus menemui seseorang. Orang itu tidak kalah penting dengan keberadaan sang Raja, dan China tak bisa datang terlambat. Oh, tentu tidak! China sangat menghormati orang tersebut. Tanpa sadar China mempercepat langkahnya hingga lokasi pertemuan mereka nampak dalam wawasan pandang.
Tidak sukar untuk menemukan sebuah bistro berkanopi hijau muda dan krem di antara sederet bistro modern lainnya yang terpaksa memasang kepekatan biru tua. Bistro itu, kendati terlihat paling kuno, seolah-olah telah mempersiapkan perayaan era baru yang penuh warna sejak berdirinya dahulu. Bistro-bistro lainnya juga dalam tahap melepaskan warna-warna suram yang dicintai oleh penindas mereka, tidak segan-segan mengikuti jejak bistro pertama yang menduduki salah satu blok paling sibuk di Distrik Applebaker. Ketika China makin dekat, ia melihat sosok seseorang yang telah dinantinya duduk tepat di balik jendela-jendela besar. Meski sebagian besar rupa orang itu tertutup oleh koran yang dibentangkan, tetapi China yakin jika hanya pria inilah yang kehilangan jari kelingking di tangan kanannya. Maka China bergegas masuk ke dalam bistro, membiarkan bel berdentang nyaring, dan segera menghampiri meja yang hanya dihuni satu cangkir kopi hitam dan sepiring kue tiramisu.
Pria itu jelas menginginkan sesuatu. Sebab, sebelum China sempat menyapanya, perhatian sang wanita teralihkan ke berita utama yang terpampang di halaman depan koran, yang sengaja dinaikkan tinggi-tinggi agar menarik perhatian siapa pun yang meliriknya sekilas:
CIRQUE DE LUMIA ISYARATKAN BERAKHIRNYA HIATUS?
ERA BARU HIDUPKAN HARAPAN MASYARAKAT