17, Bulan Pekerja. Tahun 1927.
Jamen telah lama merindukan malam-malam yang tenang. Malam-malam yang sunyi, malam-malam yang cukup ia lewati dengan secangkir kopi sembari meresapi buku-buku usang milik mendiang ayahnya. Jamen rindu kehangatan api dan geretak kayu dalam kobaran, ketika yang ia rasakan kini justru hawa menjemukan sementara tangan dan mata tak boleh beristirahat. Ia harus memastikan bahwa para tamu memasuki ruangan dengan sambutan sempurna. Ia juga mesti mengawasi para undangan yang akan menghibur tamu-tamu sang count. Bagaimana pun juga, Jamen sudah bertekad untuk berubah. Ia sudah mencukur gundul rambutnya, mengenakan kemeja berlengan panjang untuk menyembunyikan tato di sekujur lengan, mengenakan parfum mahal yang—sayangnya, masih—ia curi dari seorang pemuda bangsawan congkak yang berpapasan dengannya dua hari lalu, dan menahan hasrat tak berkesudahan untuk mengisap ganja. Jamen sudah berubah, kan?
Jamen nyaris terlena dalam lamunan ketika seutas parfum menyentaknya. Bau itu amat menyengat, bahkan parfum curiannya jauh lebih baik! Sayang, Jamen terlalu lambat untuk menyembunyikan wajah masamnya saat bertatapan dengan seorang wanita paruh baya yang memicing kepadanya. Wanita itu tahu Jamen sedang menghakimi sesuatu tentang dirinya—entah apa itu, yang pasti seorang wanita tak suka dihakimi penampilannya di sebuah pesta—dan Jamen tak menyalahkan. Gaun hijau menyala dengan topeng kuning yang dihias bulu besar imitasi menambah kebobrokan penampilannya. Jamen merasa wanita itu bisa menjadi perusak pesta glamor ini jika ia kesampaian berdansa di tengah-tengah aula nanti. Kendati demikian, Jamen di sini untuk bekerja. Ia dengan cepat menyunggingkan senyum terbaik dan membungkuk hormat, meski ia tetap menahan napas saat mengucapkan "Selamat datang di Mansion Delikus, Nyonya yang Terhormat," dan "Sang Count sangat senang dengan kehadiran Anda."
Wanita itu melengos. Ia lebih memilih untuk segera dibukakan pintu oleh dua penjaga lain yang bersiaga di masing-masing pintu utama. Jamen menghela napas usai sang wanita memasuki mansion, tetapi perhatiannya segera teralih ketika ia mendengar kekehan menghampirinya.
Jamen menoleh. Ia sama sekali tak menyadari ada seorang pemuda yang berdiri di belakang wanita itu! Sang pemuda lebih tinggi dari Jamen. Wajahnya tersembunyi oleh fedora dan topeng nyaris penuh, yang merupakan satu-satunya putih diantara pakaiannya yang serba hitam. Ia tak mengenakan jas sebagaimana para tamu undangan lainnya, hanya berupa kemeja dengan lengan dijinjing, memperkuat penegasan bahwa pemuda yang nampak proporsional ini juga mampu menjatuhkanmu dalam sekali pukulan.
"Oh, selamat datang di Mansion Delikus, tuan. Sang Count sangat senang dengan kedatangan Anda." Bagaikan marionette, Jamen menyambutnya dengan membungkuk hormat. Namun, kali ini ia mau tak mau ikut tersenyum. Kekehan yang terdengar dari sang tamu terdengar elegan nan menular.
"Pesta yang unik, bukan?" sang tamu mengangkat tas kulitnya untuk diperiksa Jamen. "Akan selalu ada hal-hal menarik yang bisa dinikmati di pesta-pesta semacam ini, dan kau takkan pernah bosan." Ucapannya sarat nada nakal. Meski wajahnya hampir tertutup topeng seluruhnya, Jamen tahu ia sedang menyeringai. Jamen pun tak kuasa menahan senyum. Ia mengecek tas sang tamu dan menyadari bahwa ia adalah seorang pesulap yang sudah disewa oleh sang count. Nik si Pesulap dari Sudut Stentin.
"Tentu saja, tuan! Semua membawa warna tersendiri dengan berusaha tampil sebaik mungkin ... orang terkenal maupun tidak, kita pasti tergelitik untuk tahu bagaimana cara mereka membawa diri. Bukankah pesta seperti itu?" Jamen berusaha menyampaikan dengan sehalus mungkin, tetapi ia tahu bahwa sang pesulap paham akan maksud sebenarnya.
Pemuda itu kembali tertawa kecil. Caranya bersuara membuat Jamen yakin wajah pemuda ini pasti semenawan suaranya, juga pekerjaannya. "Pesta sesungguhnya adalah ajang menawarkan diri. Kau akan berusaha membuat orang kagum padamu, menarik orang-orang potensial untuk berbisnis denganmu. Maka hadirlah ke pesta dengan penampilan yang mereka sukai. Orang-orang perlu tahu itu. Menjadi seorang bangsawan bukan berarti kau akan benar seutuhnya dan menolak pendapat orang lain."
Jamen mengangkat kepala. Selama sesaat ia terdistraksi dengan tatapan sang tamu. Kedua matanya biru cemerlang dan sangat indah. Dan, pembicaraan barusan seolah memberikan ilusi bahwa pesulap ini barangkali hanyalah orang biasa seperti Jamen, hingga selama sesaat sang penyambut tamu merasa memiliki teman yang setara. Namun, ah ... kenyataan adalah kenyataan. Jamen merasakan jemari kakinya yang saling berdesakan di dalam sepatu yang sempit, atau kedutan menggelikan di sekujur tubuhnya. Situasinya tidak sama dengan sang pesulap, dan begitu pula dengan hidupnya. Jamen menutup tas sang pesulap dengan kalut.
"Sayangnya, saya hanya seorang pekerja," katanya setengah berbisik. "Bangsawan tidak mendengar pendapat dari mana saja."