"Kau gila, Caellan, sungguh."
Nik si pesulap baru saja keluar dari hutan. Ia segera melepas topeng dan topi yang membuatnya berkeringat parah. Berlarian di hutan saja sudah cukup buruk untuknya, apalagi dengan ruang napas yang hanya berupa dua lubang kecil di bawah posisi hidungnya. Saudara angkatnya, Camon, sudah menanti dengan mobil terparkir manis di luar hutan. Ia menyambut Caellan Caltine—nama sesungguhnya dari Nikolan, dan tentu yang akan kita gunakan untuk seterusnya untuk menyebutnya—dengan rangkulan.
"Aku takkan menjadi saudaramu kalau tidak gila."
Camon menepuk-nepuk bahunya dan memeriksa sekujur pakaian Caellan dengan saksama. "Kau bersih! Ceritakan padaku detilnya, bung." Ia mengisyaratkan Caellan untuk bergegas menaiki mobil. "Kita akan menemui Don sekarang. Dia amat tidak sabar untuk menemuimu. Dialah yang sesungguhnya paling mengkhawatirkanmu."
Caellan tidak menyukai gagasan itu. Ia melompat masuk ke mobil dengan enggan. "Firasatku tidak enak. Apakah kau akan ikut masuk ke ruangan?"
"Ah ... tidak deh. Aku sudah lelah menengahi pertengkaran kepala keluarga dengan tangan kanan termudanya. Hadapi saja dia sendirian, toh suasana hatinya sedang baik."
Caellan berdecak. "Baiklah. Jadi aku masuk ke pesta eksklusif itu dan tidak banyak yang kulakukan. Sebab ada anak-anakmu di sana jadi itu mempermudahku."
"Anak-anakku yang mana? Para kacung Applebaker? Bukankah mereka sudah kupecat?"
"Itulah mengapa. Mereka mengira tawaranku adalah kesempatan terakhir, maka mereka menerimanya begitu saja. Intinya, setelah aku berhasil menukar tas, beberapa tukang pukul yang asli tiba-tiba menghentikanku. Kemudian salah satu anakmu mulai menembak, dan kekacauan dimulai."
Camon tertawa saat Caellan menirukan gerakan menembak dengan malas. "Aku bahkan tidak melakukan apa-apa selain mengawasi."
"Kau tunjukkan identitasmu?"
"Tentu saja, siapa yang tidak mau melihat artis sesungguhnya?" Caellan menyeringai. Camon memutar bola matanya jengah. Dasar tukang pamer, tetapi Camon memakluminya. Caellan akhirnya diperbolehkan melakukan hal semacam ini sendirian tanpa pengawasan, dan meski banyak sekali peraturan ketat yang harus dipatuhi, dia tak pernah gagal. Sudah sewajarnya ada keinginan untuk memamerkan diri.
"Dan," tambah Caellan, ada semangat yang membuncah pada bisikannya. "Lututku rasanya gemetaran, tetapi aku tidak ketakutan. Rasanya aku bersemangat sekali, dan—yah, Camon, untunglah kau segera datang."
Rasa kesal Camon segera lenyap, berganti senyum getir. Ia cepat-cepat meraih sebuah botol anggur di jok belakang dan melemparkannya kepada si pemuda. "Kau terlalu bersemangat. Tenangkan dirimu!"
Caellan membuka pemberian Camon dengan senang hati dan meneguknya, lalu berkata, "Omong-omong, aku sudah menuntaskan anak-anakmu juga."
"Aku kira kau membiarkan mereka hidup." Camon mengangguk-angguk. "Orang-orang sialan itu pula yang membiarkan para penipu itu mengaku sebagai bagian dari kita dan mengambil uang seenaknya kemana-mana."