ANTIMA

Andy Wylan
Chapter #32

Perubahan Panggilan

10, Bulan Pekerja. Tahun 1927.

Khass memang sudah menduga bahwa keluarga Caltine pastilah bermartabat dan kaya raya, tetapi tak sekali pun terbersit di pikirannya bahwa rumah itu akan terbengkalai.

Lima hari setelah usaha kabur mereka yang penuh rintangan, Khass dan Elena akhirnya mampu tiba di sebuah perumahan elit. Berbekal bisikan Par dan iblis di tubuh Elena, mereka berhasil menghindari tentara-tentara atau petugas keamanan yang berkeliaran di sepanjang perjalanan. Coba bayangkan, setelah melewati hutan selama semalaman, mereka masih perlu mencapai pelabuhan terdekat. Setelah itu, memanfaatkan tubuh ceking dan nyaris tak berlemak, mereka menyusup ke dalam peti-peti kayu yang diseret para buruh pelabuhan. Setelah tiga hari terapung-apung di laut yang memabukkan, keduanya pun sampai di Kota Appeton yang terletak di ujung utara Gerbang Barat.

Khass sebenarnya masih merasa tubuhnya terombang-ambing, tetapi perasaan bingung akibat alamat yang berakhir pada rumah terbengkalai lebih menguasainya. Elena juga bengong dengan situasi yang menimpa mereka.

"Apa kau tidak keliru mengingat alamat?"

"Tidak. Tidak mungkin." Khass agak ketakutan. "Par bilang ini memang rumahnya. Dia bahkan menyuruhku langsung masuk ... hei, Par, kau gila? Aku membobol rumah orang?"

Elena mendengus melihat Khass sibuk bertikai dengan iblis di dalam benaknya. Gadis itu termangu sesaat dan menyisir rumah-rumah besar di depan matanya dengan gelisah. Rumah-rumah itu kosong dan mulai ditinggalkan.

"Aku ingin pulang," cetus Elena tiba-tiba. Khass kemudian sadar mengapa mereka tidak pulang ke rumah Elena saja, karena menurut kabar iblis di tubuhnya, keluarga Elena menetap di Gerbang Barat setelah kehilangan putri semata wayang. Ayah Elena, yang merupakan anggota parlemen, masih terus berusaha mencari keberadaan anaknya.

"Aku akan mencari telepon." Karena Khass sama sekali awam dengan dunia luar dan kehidupannya, maka Elena mulai mengambil alih situasi saat itu. Ia menghampiri sebuah boks telepon yang masih berfungsi, menggunakan sulur hijaunya untuk mencuri beberapa keping koin dari dalam kotak telepon, kemudian menghubungi nomor telepon kantor sang ayah. Khass menyaksikannya dengan terkesima.

"Apa aku bisa menghubungi Caellan juga dengan telepon itu?"

"Tentu saja. Kau bisa menghubungi siapa pun."

Muncul sepercik semangat di hatinya. "Kalau begitu bisakah kau hubungkan Caellan?"

"Kau tahu nomornya?"

"Nomor apa?"

"Nomor teleponnya," kata Elena, yang segera disambut gelengan. Gadis itu melotot. "Kau tidak bisa menghubungi orang jika tidak tahu nomor teleponnya, Khass." Dan, semangat Khass yang hanya bertahan beberapa detik itu pun padam. Ia hanya mampu mengawasi Elena berseru girang saat teleponnya diangkat. Karena hari masih siang, maka sekretaris ayahnya yang menjawab telepon itu. Melihat ekspresi Elena, sepertinya sang sekretaris pun ikut terkejut sekaligus senang menerima telepon dadakan ini. Sekretaris ... apakah dia orang yang membantu ayah Elena? Sekretaris itu bahkan bukan keluarga, tetapi Elena gembira bukan kepalang saat teleponnya dijawab olehnya. Bagaimana dengan ayah Elena? Muncul sebuah pertanyaan begitu saja di benak Khass: apakah ayah Elena juga seperti Kamitua?

Khass terperangah saat Elena tiba-tiba menangis. Ada apa? Apakah ayahnya marah karena Elena menghilang? Apakah—oh, tidak! Elena tersenyum, lebar sekali. Gadis itu meracau betapa ia merindukan ayahnya, dan bahwa ini benar-benar Elena yang menghubungi. Menurut telepon, ayah Elena langsung meminta alamat keberadaan mereka. Telepon segera ditutup dengan banyak sekali pesan.

Saat Elena keluar dari boks usang itu, ia tidak kuasa menahan rasa bahagia. "Ayahku baik-baik saja!" pekiknya senang. "Ayah akan datang menjemput. Seandainya diperbolehkan, mari kita menunggu di rumah kenalanmu."

Lihat selengkapnya