Malam telah lama turun. Resitasi penghujung hari diselesaikan satu jam yang lalu, dan kini para murid telah berselimut di pondok masing-masing. Hanya para Guru dan beberapa murid yang bertugas menjaga hari ini terlihat berkeliaran di sudut-sudut tertentu dengan lumen melilit tangan masing-masing. Suasana malam desa yang hening sangat kentara, bahkan terasa hingga puncak Konservatori tempat Kamitua menghabiskan sebagian hari. Keheningan yang hanya didampingi sahut-sahutan burung nokturnal kini mengentalkan kecanggungan di ruangan itu.
Tidak banyak kata-kata yang tertukar semenjak mereka berdua memasuki ruangan selepas resitasi malam. Rayford menghabiskan waktunya memandang ke sekeliling ruangan yang tidak jelas bentuknya ini. Sisi dinding yang terdapat pintu memiliki panjang kira-kira sepuluh kaki, tetapi dinding di sisi kanan dan kirinya tidak memiliki panjang yang sama. Dinding kanannya cenderung berbentuk setengah lingkaran, sementara dinding kirinya memiliki sudut miring yang berakhir pada ceruk sempit dirupakan balkon yang hanya bisa dimasuki satu orang. Rak-rak kayu memenuhi sebagian ruangan, dijejali oleh buku-buku yang dijahit dengan tali atau gulungan perkamen usang. Lumen merambat dengan liar ke segala penjuru ruangan, bagaikan rumah yang telah menyatu dengan alam seutuhnya.
Rayford menghela napas. Di sinilah ia dulu bertengkar dengan Kamitua, mendapat bekas luka yang kekal di rahang kirinya. Rayford tanpa sadar menambatkan pandangannya kepada sang tetua yang sedang menulis sesuatu di perkamen. Nampaknya ia sudah selesai karena sedang membubuhkan tanda tangan, lantas menggulung perkamen itu dan meja pun kembali bersih.
"Apa yang kau cari di perpustakaan tadi?"
"Doa untuk menekan iblis," jawab Rayford, sedikit malu ketika Kamitua mendengus.
"Iblis itu masih di dalam dirimu." Kamitua tidak bertanya. Ia tahu. "Kau tidak kembali kemari untuk tinggal, bukan?" ketika Rayford tidak kunjung menjawab, Kamitua menambahkan, "Kau tidak bisa menetap di sini lagi karena iblismu itu."
"Perbudakan itu membuatku menjadi satu dengannya."
"Iblis itu bisa saja pergi jika kau mau. Kau tidak boleh menyalahkan perbudakan itu seutuhnya."
Rayford menahan napas. Ia tidak pernah merasa ubun-ubunnya lebih panas dan wajahnya semerah saat ini. "Bagaimana bisa kau mengatakannya seperti itu? Apa kau tahu yang terjadi padaku?" Rayford bisa saja menangis, tetapi tidak bisa. Matanya perih, tetapi bukan karena kesedihan. "Aku tidak akan terlibat perbudakan itu kalau saja kau mau menjawab pertanyaanku saat itu. Kau cukup memberi aku jawaban, tidak perlu memperlakukanku seperti dahulu dan membuatku berakhir di perbudakan."
Kamitua tak merespon selain menatap Rayford tanpa kata. Pemuda itu siap melontarkan lebih banyak kekesalan, tetapi tatapan Kamitua merontokkan keberaniannya. Rayford mencengkeram lengan kursi.
"Kalau aku memberitahu jawabannya saat itu, apa yang akan kau lakukan? Kembali pada keluargamu karena kau tahu masih ada yang hidup, atau tetap berada di sini dan menjadi penerusku yang mengemban amanah mulia?"
Rayford tak bisa merespon. Dia menatap Kamitua dengan kebingungan. Ia pun memilih untuk bertanya hal lain. "Kau tahu Caellan Caltine, bukan?"
"Aku tidak tahu sampai kau sendiri yang menanyakannya kepadaku," kata Kamitua, masih dalam ketenangan yang mengintimidasi. "Dan untuk apa aku mempedulikannya? Kau dibuang sejak masih bayi, anak muda. Kau tidak dibutuhkan."