28, Bulan Pekerja. Tahun 1927.
Mansion Putih sangat terkenal, dan meski ada banyak mansion klan lain yang menyerupai, semua orang lebih mengenal Mansion Putih milik Klan Vandalone. Berdiri gagah di titik tertinggi sebuah perumahan elit, bangunan empat lantai itu dikelilingi danau buatan yang dipenuhi eceng gondok. Mansion Putih selalu ramai; pintu-pintu terbuka lebar bagi para anggota klan yang berseliweran untuk melapor dan menerima tugas baru. Vandalone memang tidak pernah tidur, terutama semenjak kematian kepala keluarga pendahulunya, Pascisse, karena penerusnya saat ini berkeinginan kuat untuk menyetir Vandalone menuju hal-hal baru. Kendati para tetua menyuarakan protes, Donatino tetap tidak goyah, dan justru mulai menjadikan Mansion Putih sebagai rumah bersama. Ia memindahkan keluarga besar mendiang ayahnya ke kota lain yang jauh dari hiruk-pikuk kekacauan Vandalone, dan mulai menyesaki aula-aula yang kosong dengan berbagai meja bundar besar dan berpeti-peti anggur.
Caellan, yang tak menyukai kesenyapan Mansion Putih saat muda, menyambut keramaian itu dengan sangat gembira, dan barangkali ini adalah satu-satunya gagasan Donatino yang didukungnya sepenuh hati. Keramaian berarti tidak ada ruang bagi trauma masa lalunya untuk membayangi. Di usianya yang kedua puluh, Caellan masih memiliki sedikit ketakutan akan ruang-ruang kosong yang gelap dan senyap, dan tak pernah ingin pergi ke gudang sendirian tanpa ditemani setidaknya seseorang.
Namun, pada penghujung Bulan Pekerja yang terik, Caellan tiba di Mansion Putih dengan langkah lesu. Para pria dewasa menyadari perubahan ekspresi anak angkat Pascisse yang biasa bersikap jumawa dan percaya diri itu, dan tak sedikit dari mereka yang mengajaknya bermain kartu, atau bahkan membujuknya untuk membantu di tugas-tugas baru. Caellan menolaknya dengan halus, memunculkan dugaan-dugaan bahwa pemuda ini barangkali masih menekuni penghujung masa labil remajanya, lantas membiarkan Caellan mampir ke kantor Donatino. Camon sedang menuangkan minuman untuk sang kepala keluarga saat Caellan mengintip ke dalam.
"Hei, dik." Donatino menyadari keberadaan Caellan. "Masuklah."
Pria itu sudah tak marah lagi padanya. Caellan lantas bertanya-tanya apakah mereka sudah lama tidak bertemu, sebab pertengkaran di Sister Loydaire saat itu terasa seperti berabad-abad lalu. Ia terlalu dipusingkan oleh tingkah Rayford dan kedatangan sang jenderal. Caellan pun menutup pintu dan menjatuhkan diri ke sofa dengan pasrah.
"Ada apa denganmu?" Camon menyeringai geli. "Mau anggur dingin?"
Tanpa menunggu jawaban sama sekali, Camon menghampiri dengan botol anggur di tangan dan meraih gelas yang tersisa di meja. Ia mengisinya penuh, sengaja untuk memunculkan seringai geli di bibir Caellan.
"Aku punya kejutan."
"Wajahmu sama sekali tidak nampak senang dengan kejutan itu."
"Justru itu," Caellan menggerutu. Maka ia pun menceritakan pertemuannya dengan Rayford di Appeton, dan awal cerita itu sudah cukup membuat kedua saudara angkatnya terkaget-kaget. Tentu saja mereka sudah tahu akan perjuangan Caellan mencari adiknya sejak dulu! Caellan datang kepada mereka saat berusia enam dan hanya kedua pria inilah yang terus menjadi kawan sejatinya. Maka berita kemunculan Rayford itu secara murni memunculkan kelegaan di hati keduanya, tetapi ketika Caellan menyatakan bahwa Rayford dirasuki oleh iblis yang membuat Caellan trauma, serta terlibat dengan salah satu perbudakan di Gerbang Utara, senyum Camon dengan cepat lenyap. Kecuali Donatino, yang mendengus, dan itu membuat kedua adiknya menatap dengan heran.
"Ironis, eh?"
"Don, tolonglah."
Donatino kembali berkomentar, "Rayford adikmu dibesarkan sebagai seorang Guru, dan di sinilah kau baru saja melakukan pembunuhan masal pertamamu minggu lalu. Kau juga sudah menuntaskan tugas untuk mengurus para gadis yang dikirim ke situs perbudakan, yang ternyata juga menjadi tempat penyiksaan adikmu. Kalau Tuhan tidak cukup mengutukmu dengan kehadiran iblis di dalam tubuhnya, aku tidak tahu lagi maknanya."
Caellan kini menatap Camon, tetapi pria muda itu hanya mampu mengulum senyum canggung. "Aku tidak bisa tidak menyetujui Don, meski aku takkan mengatakannya seperti itu kepadamu. Maksudku, barangkali, ini sudah waktumu untuk menghadapinya, Cael."