"Kenapa kau menjilatinya, sih? Menjijikkan. Sungguh ... binatang." Rayford menelan ludah melihat tingkah Par.
Malam itu, sekali lagi, mereka melancarkan aksi kepahlawanan—atau begitulah yang selama ini Par sebut-sebut. Kastil yang telah mereka awasi sejak tadi sore kini menjadi saksi lenyapnya sejumlah tentara yang disembunyikan di ruang bawah tanah. Pemilik kastil, bangsawan sayap kiri yang masih tertidur dengan lelap bersama istrinya di puncak menara, takkan tahu apa yang terjadi pada pasukan yang ia sembunyikan sejak pemberontakan lalu. Setidaknya sampai jam sarapan tiba besok pagi.
Dan ... ah, Rayford mengalaminya lagi.
Pemuda itu terduduk lesu di pojok ruangan. Pakaiannya robek di bagian punggung. Ia merasa sekujur tubuhnya lumpuh. Tulang punggungnya kembali menjulur menjadi belasan tentakel dan menewaskan tentara-tentara seperti pembantaian para ilmuwan di situs dulu. Par pun sama saja. Iblis itu sangat gembira dan kini menengadahkan kepala di bawah mayat para tentara yang tergantung di langit-langit, meneguk darah mereka yang mengucur bagaikan hujan di musim kemarau. Par membasahi kulit kepala kelabu pucatnya dengan darah seolah-olah sedang keramas. Rayford ingin muntah.
Berbeda dengan politikus sebelumnya, mayat-mayat tentara itu cukup diikat dengan perut menganga tanpa ada kaki yang menancap. Sebagian isinya menjuntai keluar. Par sesekali akan menggoyangkan ikatan sehingga para mayat akan berayun-ayun bagaikan hiasan gantung di kereta bayi. Par tertawa-tawa saat isi perut mereka menampar-nampar wajahnya.
Rayford menatap nanar seorang tentara yang menghadapnya. Ia mengenal wajah itu, tetapi lupa dengan namanya. Dia tentara yang menyeret Rayford ke dalam truk dan memukulkan popor senapan ke kepalanya, lantas menahan pemuda itu di belakang kakinya semalaman. Dulu, Rayford sempat mendoakannya. Ia sama sekali tak menduga situasi bisa berbalik begitu saja dalam waktu kurang dari dua tahun.
Siapa yang bisa menduga Rayford bakal menggorok isi perutnya belasan bulan kemudian?
"Mereka tak ada hubungannya dengan Desmond," kata Rayford lemas. Jika ia terlalu lama berdiam diri dengan situasi ini, ia akan menjadi gila. Benaknya tanpa henti menangis memohon ampun kepada Tuhan. Itu pun jika Tuhan masih mau memaafkannya.
Ini bukan salahku. Ini semua karena Par.
"Apa kau tidak tahu, Ray?" tanya Par dengan dramatis. "Mereka mencabik para wanita hingga tewas, menginjakinjak anak seusiamu, bahkan ada yang lebih buruk! Kau biarkan orang-orang ini kabur dan hidup tenang dalam persembunyian? Kau tahu apa hukumnya?"
Rayford tak menjawab. Ia seharusnya benci kepada para tentara ini, dan memang itulah yang terasa, tetapi ia lebih benci pada kenyataan Par yang menyeruput darah mereka bagaikan minyak ayam panggang yang gurih dan hangat.
"Terlebih, aku sedikit heran denganmu karena masih sempat-sempatnya mengasihani dia." Par tiba-tiba memutar ikatan itu sehingga sekali lagi tentara yang pernah menyiksa Rayford menghadapnya. "Bukankah dia pernah mengejekmu sebagai Guru Muda? Dia tidak takut lagi kepada para Guru. Dia menghina Tuhan dan ciptaan-Nya. Apa kau tidak marah?"
Rayford tertegun. Ia sama sekali tidak mengingat hingga Par menyebutkan dengan jelas detil kenangan yang menyebalkan itu. Ia sebatas mengingat sensasi menyakitkan saat tentara itu menyiksanya, namun sekarang Rayford bisa mengingat lebih banyak. Saat itu namanya masih Khass, dan mengetahui bahwa Guru tak lagi dihormati membuatnya menangis. Khass di momen seperti itu masih memohonkan ampun untuk tentara ini, tetapi sekarang Rayford sudah membunuhnya.
Lagipula namanya bukan Khass lagi. Dia Rayford—seorang Caltine—dan merupakan keturunan dinasti penjajah. Tentara itu menghina Tuhan dan para Guru. Jika Rayford tidak bisa mengampuni tentara itu sebagai seorang Guru, maka ia akan memaafkannya dengan cara lain. Pantas bagi si tentara untuk mati dengan cara seperti ini. Rasa gelisah di hatinya mulai meredup.
Tak ingin membahasnya lebih lama, Rayford mendesah. "Kenapa kau terus melakukan ini? Apa kau tidak mual?"