Kereta sirkus akhirnya mencapai kota tujuan berikutnya dalam satu jam. Pemberhentian selanjutnya tetap di sebuah stasiun kecil. Tidak terbengkalai, tetapi stasiun ini memang sengaja ditutup untuk keperluan sirkus. Kali ini lapangannya tidak seluas sebelumnya dan rerumputan dipangkas dengan rapi. Pohon-pohon cemara mengelilingi lapangan dan perumahan penduduk berjarak lebih dari dua ratus meter. Spot yang cukup bagus. Mereka hanya perlu memasang pagar lebih tinggi, itu saja. Selebaran-selebaran berita sirkus yang ditempel sejak dua bulan lalu menghias tiang-tiang lampu dan kotak-kotak surat. Beberapa anak kecil yang sedang bersepeda berhenti untuk melambaikan tangan ketika kereta melambat. Jeritan kebahagiaan mereka membangunkan para pemain yang terlelap kelelahan.
Selepas itu para staf dengan cepat saling membantu menurunkan banyak sekali peti kayu. Caellan berusaha menghindari para pemain dengan membantu di sekitar kereta bersama para staf, dan tak lama kemudian Elena berlari menghampirinya. Ia sepertinya mengatakan sesuatu seperti "jangan turunkan peti itu dulu!" tetapi ucapannya terpotong karena kakinya tersandung.
Elena jatuh terjerembab dengan suara yang cukup menyakitkan, membuat para staf sontak berkomentar "ouh!" yang miris. Beberapa gadis yang baru saja turun dari kereta pun menertawakannya. Elena, yang tak kunjung bangkit, membuat Caellan terpaksa menghampirinya karena tak ingin Elena bergelimang rasa malu lebih dari ini. Bagaimana pun juga Caellan harus mendapatkan kepercayaan Elena seutuhnya, kan? Namun, sebelum pemuda itu mencapainya, Elena bergegas duduk dan meringis menatapnya. Wajahnya merah padam.
"Ah, kecerobohanku."
"Kau tak apa-apa? Kau terjatuh cukup keras," kata Caellan. Ia menirukan ekspresi Elena yang berusaha menahan sakit. Gadis itu tak menjawab, barangkali terlalu kalut, atau mencoba mencari sumber rasa perih terbesar di kakinya. Saat tangannya mengangkat rok hingga ke lutut, terpampang luka robekan segar di lutut kanannya. Darah merembes.
Caellan melotot. Jemarinya refleks terangkat, hampir menyentuh darah yang mengilap di bawah sinar matahari, tetapi gerakannya seketika terhenti ketika Elena tertawa malu. "Tak apa-apa. Tak sesakit itu. Aku ... aku hanya tidak menyangka ternyata banyak sekali batu di bawah rumput ini."
Caellan tersentak. Ia menatap Elena sesaat tanpa kata, mengangguk pelan, dan menelan ludah.
Ia haus. Caellan cepat-cepat membuka botol minuman di genggaman dan meneguk isinya sampai tuntas.
Sementara itu Elena beranjak untuk membersihkan luka di kereta, lantas meninggalkan Caellan yang terpaku di tempat. Pemuda itu membayangkan apa jadinya jika menarik lapisan kulit terluar Elena agar lukanya melebar sehingga darah tak perlu sekadar merembes. Pikirannya nyaris memainkan imajinasi itu dengan begitu nyata dan ... oh, sensasi ini! Caellan membeku saat mimpi tadi malam kembali datang. Par yang mengejarnya. Par yang menerjangnya dengan lidah terjulur.
Par yang menjilati luka di lututnya.
Caellan sontak merasa lututnya melemas dan kesemutan. Tidak berhenti sampai di situ, kenangan-kenangan lama maupun baru menerjangnya tanpa ampun: Par yang menghisap lututnya, Mansion Delikus, dan puluhan mayat berkubang darah yang nyaris membuat Caellan kehilangan kesadaran, kalau saja pelayan keparat itu tidak muncul tiba-tiba.
Napas Caellan memburu. Ia mendadak paham mengapa Camon harus turun tangan untuk menjemputnya ke Mansion Delikus, bukan sopir biasa pada umumnya. Hal sekecil itu semula luput dari perhatian Caellan. Donatino pasti teramat waswas dengan pembunuhan masal pertamanya.
Bayangan di benak Caellan kemudian berganti menjadi peristiwa beberapa minggu lalu, tepat sebelum Rayford menghilang dari pandangan.
"Kenapa dia masih di luar sana? Dia harus ...."
"Hei." Tepukan Elliot mengejutkan Caellan, berhasil menyadarkannya dari bayangan mengerikan tak berkesudahan. Selama sesaat Caellan terperangah, ekspresinya yang tegang membuat Elliot mengernyitkan dahi.
"Ada apa?"
Caellan menggeleng cepat. Ia memutuskan untuk mengalihkan perhatiannya pada penampilan Elliot. Ia nampak formal dalam balutan pakaian serba hitam. "Ada apa dengan pakaianmu? Apa kau baru saja pergi?"
"Ya," jawab Elliot lugas. Ketegangan masih membekas di wajahnya yang muram. "Aku baru saja menghadiri pemakaman rekan kerja ayahku. Kebetulan ada di kota sebelah, jadi Da memintaku hadir."
"Mm, dan kenapa wajahmu seperti itu?"