Seruan Caellan membangunkan para penjaga yang malas-malasan, dan itu buruk. Di cuaca yang panas seperti ini, siapa yang mau bekerja di bawah terik matahari? Di dalam pos, para penjaga masih sempat berdebat siapa yang harus keluar duluan, hingga akhirnya dua yang paling dekat dengan pintu menyeret kaki keluar. Seragam mereka sudah cukup gerah untuk dikenakan di cuaca yang sangat cerah, lengkap dengan sabuk dan sepatu bot berat. Wajah mereka yang gusar pun menjadi kemerahan saat tersengat matahari. Mereka mengumpat karena tak mengenakan topi dahulu. Bagusnya, tak ada senapan yang menggantung di bahu mereka. Tentu saja, apa yang mengancam dari seorang pemuda berpakaian necis dan gadis muda yang pucat ketakutan? Tetapi, jangan khawatir, mereka yang bertahan di dalam pos sedang menyiapkan senjata.
"Maaf, Tuan, ada keperluan apa kemari?"
"Tuan walikota sepertinya menyembunyikan seorang buronan negara. Biarkan aku masuk," kata Caellan, sedikit terengah-engah.
Kedua penjaga itu saling tatap. Mereka kira mampu menertawakan hal ini, tetapi kenyataannya dahi yang mengernyit menandakan bahwa ucapan Caellan bukan sekadar omong-kosong. "Apa pun itu bukan kepentingan Anda kecuali ada surat resmi penggeledahan, Tuan. Anda membawanya?"
"Memang bukan urusanku, tapi adikku dalam bahaya," kata Caellan sembari mengusap tengkuknya. Elena, yang berada di belakang Caellan, menyaksikan tanpa cela bahwa Caellan tak sekadar menggaruk. Dia menarik sesuatu keluar dari balik kemejanya, menghentaknya dengan cepat, dan menyabetkan tongkat baton ramping ke penjaga terdekat. Gerakannya begitu tiba-tiba. Penjaga kedua yang berjarak lebih jauh butuh waktu sesaat untuk menyadari apa yang terjadi dan buru-buru merangsek maju tanpa perlindungan. Ia menghantamkan tinju, tetapi tubuhnya yang besar kalah cepat dengan Caellan yang merunduk dan menyerang bagian perutnya. Elena melongo menyaksikan adegan itu terjadi begitu cepat, bahkan para penjaga di dalam pos kelabakan mengeluarkan senapan mereka.
"Caellan, awas!" seru Elena, tetapi percuma saja. Caellan sudah menyadari lebih dahulu. Dia meraih pistol dan menembak seseorang yang baru saja melangkah keluar pos. Elena lantas sadar bahwa keberadaannya sama sekali tak berarti jika tidak melakukan sesuatu, maka Elena berusaha menumbuhkan sulur. Namun, dia terlalu ketakutan sehingga sulur itu menghantam jendela pos. Setidaknya cukup untuk membuat para penjaga di dalamnya segera berhamburan keluar dan mempersingkat waktu Caellan untuk menyerang mereka terlebih dahulu. Pemuda itu terlalu gesit.
Kekacauan itu tidak berhenti sampai di sana saja. Seorang penjaga barangkali telah memberikan peringatan ke pihak rumah karena sekarang pintu-pintu dan jendela-jendela menjeblak terbuka, dan banyak pelayan mengacungkan senapan kepada mereka.
Sial! Caellan buru-buru bersembunyi ke balik pos dan menarik Elena bersamanya. Sementara Caellan mengambil salah satu senapan para penjaga dan menembak balik, Elena pun menggunakan kesempatan itu untuk menumbuhkan sulur-sulurnya dari dekat rumah walikota. Ia berkonsentrasi keras, tetapi sahut-sahutan suara tembakan membuatnya ketakutan. Ia sibuk menutup telinga, sementara Caellan sendiri yang menyaksikan tanah tiba-tiba bergetar dan merekah di dekat rumah itu. Sulur-sulur raksasa tumbuh bagaikan batang pohon yang mencuat tajam dan meliuk-liuk marah. Sulur-sulur itu bergerak tak karuan seperti makhluk tak terkontrol, menghantam banyak jendela dan pintu hingga membuat para pelayan berhamburan masuk. Kebisingan itu mulai berkurang dan Caellan terhibur karenanya.
"Elena, ayo!" serunya, baru saja berniat membawa Elena masuk ke dalam pos untuk membawa lebih banyak senapan, ketika Par tiba-tiba berderap dari arah hutan dan melompati pagar, menjulurkan tangannya yang panjang, dan langsung merenggut Caellan ke udara.
"Caellan!" Elena menjerit.
"Kau!" Par berseru, kendati seringai muncul di bibirnya yang lebar. Dia menikmati setiap jengkal ketakutan yang terpancar dari mata Caellan saat mereka bertatapan begitu dekat, sementara tubuhnya dicengkeram erat oleh Par di ketinggian tujuh kaki dari tanah. Caellan sama sekali tak berusaha meronta. Dia tak mau panik karena sudah terlanjur ketakutan. Par semakin gemas dengan tingkahnya dan mencondongkan wajah, membuat kedua mata pemuda itu melotot dalam kengerian. Par membuka mulutnya lebar-lebar.
"Kau mau kumakan, eh? Tubuh enam tahunmu cuma bakal jadi pengganjal perut, tetapi tubuh dua puluh tahunmu akan membuatku kenyang selama berbulan-bulan!"
"Enyah!" Caellan menggeram. Alih-alih melepaskan diri, ia justru merenggut wajah Par dan menancapkan kuku-kuku yang memanjang pada lapisan kulit tipis dan pucat di wajahnya. Par tertawa, meski ada raungan kesal di antaranya.