Di pertengahan bulan November, ketika udara berubah menjadi pahit dan dingin, tabiat jiwaku menyerah pada kelelahan yang tidak lagi bisa kutahan. Aku duduk diam di bawah pohon tua dengan wajah yang kebas oleh air mata. Di hadapan pokok kayu yang diam dan abadi, mataku tertuju pada sehelai daun layu yang sedang goyah melawan takdirnya sendiri.
Daun yang dulunya adalah wadah bagi seluruh warna kesuburan—hijau klorofil yang menyerap cahaya tanpa cela—ternyata juga harus menanggalkan kejayaannya. Satu hal yang harus digaris bawahi, bahwa warna hijau itu tidak dicuri, tidak pula dihancurkan oleh bencana, melainkan ditarik kembali, diserap perlahan, sel demi sel, oleh tubuh pohon. Itu adalah metafora dari pengorbanan tertinggi. Daun secara sadar menyerahkan identitas, warna, dan fungsi terbesarnya kembali ke akar. Proses ini, aku sadari, bukanlah kematian pasif, melainkan tindakan pelepasan aktif.
Dahulu, aku sering mengira pelepasan adalah sebuah trofi kegagalan. Sebuah kekalahan absolut yang diakhiri dengan air mata dan penyesalan. Manusia sering mengira merelakan berarti meninggalkan medan perang. Namun, daun mengajariku bahwa melepas adalah pilihan yang paling efektif. Daun tidak lari dari rantingnya. Ia merenggangkan diri. Ia memutus hubungan kimiawi yang mengikatnya dan menarik energinya kembali dari permukaan yang fana. Daun memilih untuk menjadi materi yang mati demi keindahan yang akan hidup.
Pada tingkat seluler, ini adalah proses yang dingin dan logis. Pohon mengirimkan sinyal kimiawi—hormon etilen—ke dasar tangkai daun. Sel-sel di sekitar sambungan tangkai mulai mengering dan membentuk lapisan pemisah yang disebut lapisan absisi. Lapisan inilah yang akan memutus jalur air dan nutrisi, serta memastikan daun tidak lagi terikat. Betapa kejamnya logika alam yang harus mematikan koneksi agar pemutusan bisa terjadi. Dan, betapa serupanya dengan hati manusia yang harus membekukan kehangatan agar perpisahan dapat terlaksana.
Daun yang hampir gugur akan berwarna cokelat keemasan atau mungkin merah menyala. Kondisi ini bergantung oleh pigmen tersembunyi yang kini terekspos tanpa dominasi hijau yang berkuasa. Warna barunya bukanlah keindahan yang kekal. Itu adalah perayaan sesaat sebelum kehancuran total. Daun akan tetap berdiri di sana, menentang angin, tetapi tidak lagi melawan takdir. Ia hanya menunggu.
Aku memejamkan mata untuk menghitung kerugian yang tak tercatat. Berapa banyak tirani warna hijau yang kupaksakan untuk tetap melekat, padahal akarnya sudah lama memanggil untuk kembali ke asal? Berapa banyak daya hidup yang kuhamburkan demi menopang tiang-tiang ambisi yang fana hingga tenagaku habis terkuras? Dahulu, aku berjuang untuk mempertahankan segala sesuatu agar tetap hijau—mempertahankan kontrol, mempertahankan hubungan, mempertahankan janji masa depan—takut bahwa jika aku melepasnya, aku akan menjadi tidak berguna. Aku selalu ketakutan pada musim gugur yang akan datang.
Namun di balik daun yang mengering, ada tunas kecil tersembunyi yang menunggu sinyal pelepasan untuk memulai kehidupannya. Daun itu harus jatuh agar bakal tunas bisa melihat cahaya. Melepas adalah siklus yang harus dibayar lunas demi pembaharuan yang tak pernah berakhir. Ini adalah bentuk jaminan bahwa energi yang dilepaskan menjadi fondasi bagi pertumbuhan baru yang belum diketahui bentuknya, yang belum diketahui warnanya.