“Hujan! Pulang! Sebentar lagi turun hujan!” Teriakkan Ibu menggelegar dari ambang pintu rumah kayu tua. Bunyi gemuruh mengikutinya dari balik kumpulan awan yang menghitam.
Hujan tersentak, bergegas memungut beberapa buah persik matang yang terjatuh dari keranjangnya, lalu berlari menyusuri setapak tanah di antara hamparan pohon-pohon persik yang sedang mekar. Aroma manis dari kelopak merah muda memenuhi lembah itu setiap bulan Juni hingga Agustus.
Pohon persik adalah anomali indah di kaki Gunung Candradimuka. Persik yang biasanya tumbuh subur di dataran tinggi beriklim subtropis, entah bagaimana menemukan rumah yang sempurna di kawasan ini. Mungkin karena ketinggian tertentu Gunung Candradimuka dan kelembaban yang terkunci di lembahnya, atau mungkin memang hanya keberuntungan. Namun, bagi masyarakat desa, persik bukan sekadar buah. Kelopak merah muda bunganya melambangkan kecantikan yang tak lekang, bijinya melambangkan kesuburan dan kemakmuran tiada tara. Pohon-pohon persik ini adalah warisan desa, penanda bahwa mereka adalah masyarakat yang diberkati dan mencintai.
Hujan menjejakkan kaki ke teras. Di sana, Gempa, kakak laki-lakinya, sedang membersihkan oli dari tangan kasarnya. Gempa hanya memandangnya sekilas, lalu kembali fokus pada mesin genset tua yang baru saja ia hidupkan.
Gempa adalah pembawa stigma pertama. Seperti namanya, ia lahir saat tanah Gunung Candradimuka bergetar hebat. Gempa tidak hanya lahir, namun juga memorak-porandakan lahan pertanian persik dan merusak sebagian besar rumah warga. Sejak saat itu, ia dianggap sebagai pembawa kerusakan pada bumi. Seiring pertumbuhannya, Gempa menjadi pria yang keras, skeptis terhadap hal-hal mistis, dan hanya percaya pada hal-hal yang nyata. Seolah ingin membuktikan bahwa ia tidak terikat pada takdir bumi.
Kemalangan belum berakhir. Delapan tahun setelah insiden gempa bumi itu, tepatnya pada pertengahan kemarau panjang bulan Juli, Hujan lahir. Desa sudah menderita berbulan-bulan tanpa setetes air dan kebun persik nyaris layu. Namun, hari kelahirannya adalah pengecualian sang alam.
Siang hari itu, langit yang biasanya membakar tiba-tiba tertutup awan kelabu. Tepat saat Hujan keluar dari rahim Ibu, hujan deras yang merata turun disertai kehangatan yang lembut. Prediksi tetua desa tentang gagal panen hanya menjadi sebuah mitos yang terpatahkan. Entah bagaimana, hujan yang datang di tengah musim kemarau itu menyuburkan kembali tanah desa dan memulai masa pembungaan pohon persik yang sempat terlambat. Kemudian, pada tengah malam ketika hujan benar-benar berhenti, langit gelap terbuka dan bulan purnama merekah penuh memancarkan cahaya perak dingin.
Jika Gempa merusak tanah dengan guncangan, maka Hujan adalah penyeimbang yang membawa keajaiban air sekaligus misteri. Ia adalah pembawa keberuntungan abnormal dan tidak dapat diprediksi.
❁ ❁ ❁
Sejak kelahiran Hujan, harmoni seolah kembali ke kaki Gunung Candradimuka. Desa itu mengalami masa damai dan kemakmuran yang panjang. Selama enam belas tahun, tanah tidak pernah mengalami kekeringan ekstrem. Panen persih setiap tahun selalu melimpah, bahkan terkadang pohon-pohon persik bisa berbuah lebih dari sekali dalam satu musim. Bagi masyarakat, Hujan menjadi anugerah hidup yang menjaga kesuburan. Ia tumbuh tidak hanya dikelilingi kekaguman, tetapi juga kesadaran bahwa seluruh keseimbangan ini tergantung pada keberadaannya.
Namun, ketika Hujan menginjak usia enam belas, ketenangan itu perlahan retak. Musim kemarau datang lebih awal di bulan Mei dan bertahan lebih lama. Mata air pegunungan yang selama ini melimpah tiba-tiba terasa pelit. Sungai dan saluran drainase menyusut, dan tanah mulai menunjukkan urat-urat keringnya. Belum sampai pada tahap gagal panen, tetapi perbincangan penduduk desa mengenai gagal panen, kerugian, dan kutukan lama mulai menjadi wabah.
Pada suatu malam di pertengahan bulan Mei, penduduk desa mengadakan pertemuan darurat yang dipimpin oleh tetua desa. Lampu petromaks berkedip-kedip di balai desa menerangi wajah-wajah yang tegang. Mereka berembuk membahas solusi kekeringan, mulai dari mengorbankan seekor kerbau, meninggalkan sesajen di puncak gunung, hingga menyurati kepala desa yang tinggal di kota.
Di tengah kebuntuan, seorang wanita tua sekaligus bidan desa yang dahulu membantu kelahiran Gempa dan Hujan angkat bicara.
“Hujan bisa membantu kita. Seperti kelahirannya dulu.” Suaranya pelan, tetapi menembus ketegangan udara, membawa ingatan akan keajaiban enam belas tahun yang lalu.
Semua orang terpaku. Namun, bukan mimik tidak percaya yang memenuhi ruangan. Justru ekspresi itu adalah pengakuan akan kebenaran yang terlalu besar untuk diterima. Sebuah beban takdir yang tiba-tiba menemukan sandarannya. Mereka semua teringat akan hujan badai di bulan Juli yang melanggar kemarau dan memberi hidup pada persik mereka. Mereka terpaku karena menyadari selama enam belas tahun, mereka telah hidup di bawah perlindungan tak terucapkan dari seorang bocah. Dan, kini, mereka harus menagih hutang keajaiban itu. Harapan yang dingin dan mendesak mulai memenuhi setiap sudut balai desa.
Di tengah keheningan yang semakin memekat, Bapak Karta, salah seorang tetua desa, perlahan menghela napas panjang.
“Bagaimana caranya?” tanya Bapak Karta. Suaranya parau. Ia tidak bertanya apakah mungkin, tetapi ingin tahu bagaimana cara kerjanya.
Bidan Desa menunduk sambil merapatkan kain usangnya. “Ada dua hal yang saya ingat. Hujan di tengah hari dan bulan purnama yang pecah di tengah malam. Air dan cahaya. Itu bukan ramalan biasa, itu adalah rumus yang mungkin tidak kita pahami. Hujan adalah perpaduan keduanya.” Bidan Desa itu mengangkat bahu. “Saya hanya seorang bidan, Tuan Karta. Saya tidak tahu mantra. Tapi saya yakin, kita harus mengadakan sebuah ritual yang melibatkan bulan purnama. Ada kekuatan yang menahan dan juga memberi di dalam dirinya.”
Gempa, yang sedari tadi berdiri di ambang pintu menyilangkan tangan dengan tegang, kini mulai tidak bisa menahan diri. “Kekuatan apa? Itu omong kosong!” Gempa menunjuk ke puncak gunung. “Musim kemarau ini karena ulang manusia di hulu, bukan ulah anak kecil yang lahir di bawah hujan dan cahaya rembulan!”
“Kamu lagi, Gempa? Kamu selalu bilang ini ulah manusia! Kamu sendiri yang lahir dengan membaca guncangan! Mungkin kamu yang menahan keberuntungan adikmu!” Seorang petani paruh baya dari belakang segera menyambut protes Gempa dengan nada menuduh.
Ayah Gempa dan Hujan, yang duduk di barisan depan, bangkit. Wajahnya dipenuhi keputusasaan. “Tolong, saudara-saudara. Gempa tidak bermaksud buruk. Biarkan kami sebagai orang tua mencari solusi yang masuk akal.”
“Masuk akal?” sela petani lain. “Kita bicara tentang persik yang akan mati, Pak! Kita bicara tentang kelaparan! Kita sudah mencoba hal yang masuk akal selama sebulan penuh! Sekarang kita harus percaya pada keajaiban!” Suaranya semakin meninggi.
Arah mata penduduk mulai menunjuk ke arah Gempa, menuntut ia untuk diam atau pergi. Beban stigma lama kembali menghantamnya.
Ayah mengangkat tangannya. “Baik. Kami akan melakukannya,” kata Ayah, suaranya patah tetapi penuh pengorbanan. “Kami akan melakukan ritual sesuai saran Bidan Desa. Kami akan coba. Tapi beritahu kami apa yang perlu dilakukan.”
Bidan Desa mengangguk pelan, wajahnya berubah serius. “Ritual itu harus melibatkan unsur air dan cahaya. Dulu, badai guntur dan purnama menyambutnya.” Bidan Desa menunjuk ke sudut ruangan, ke arah sebuah kota kaca tua. “Di sana ada kendi perunggu warisan dan bubuk dupa dari kemenyan terbaik. Saya rasa itu cukup.”
“Kami tidak tahu mantra apa pun, Bidan,” ujar Bapak Karta. “Bagaimana dengan tarian?”
Bidan Desa menggeleng. “Mantra tidak penting, Tuan. Yang terpenting adalah niat dan pengorbanan yang disimbolkan. Kendi harus diisi air sungai dicampur dengan kelopak persik dari pohon yang paling subur. Dupa harus dinyalakan di bawah sinar bulan purnama. Hujan harus menari tarian petani yang menunjukkan pada langit bahwa kita bekerja keras. Itu saja. Sisanya… serahkan pada takdir Hujan.”
Ayah menoleh ke belakang menatap Gempa. Ia mengerti. Dalam situasi ini, logika Gempa adalah ancaman, sementara keajaiban Hujan adalah harapan. “Beri kami waktu dan jangan salahkan lagi anak-anakku.”
Keputusan telah diambil. Bidan Desa menyerahkan kendi tua dan bubuk dupa kepada Ayah. Malam itu, tanpa ada musyawarah resmi, Hujan resmi mengemban tugas tak tertulis sebagai Pawang Hujan Desa.
❁ ❁ ❁
Ibu yang sedang merapikan hasil panen sisa terdiam melihat benar-benda itu. “Jadi, mereka benar-benar memintanya?” bisik ibu.
Setelah bercerita kejadian bersitegang yang terjadi di balai desa malam itu, Ayah kembali duduk. Tangannya mengusap kendi perunggu yang dingin. Wajahnya dipenuhi keputusasaan. “Mereka tidak meminta. Mereka menagih hutang. Kita hidup dari keajaiban yang dibawa Hujan saat lahir. Sekarang, desa ingin keajaiban itu diulang.”
Ayah menoleh memandang Hujan yang berdiri di ambang pintu kamarnya.
“Hujan,” panggil Ayah pelan. “Ayah tahu ini hal bodoh. Ayah tahu. Tapi, Gempa diancam dan desa ini sedang mati. Jika Gempa adalah kutukan tanah, maka Hujan adalah harapan langit mereka. Tugas ini, Hujan, hanya untuk membeli waktu agar kita bisa menemukan cara logis untuk menyelamatkan persik kita.”
Hujan tidak mengatakan sepatah kata pun. Ia hanya melihat kendi dan dupa itu.
Gempa, yang sedang mengasah pisau lipat untuk memangkas ranting, mendengus. “Ayah sudah gila,” katanya. “Ayah tahu ini hal bodoh. Kita punya pompa air, kita punya selang, bukan kendi tua dan dupa.”
Ayah bangkit dan berjalan pelan ke pintu luar memandangi langit. “Kita punya waktu, Gempa. Bidan Desa bilang kita punya waktu sampai bulan mulai membesar. Jika tidak salah perhitungan, ritual pertama di minggu awal bulan Juni. Itu memberi kita waktu beberapa hari.”
Ayah menatap Gempa dengan tatapan memohon, lalu mengalihkan perhatian ke Hujan. “Jika cara logis kita, memperbaiki saluran air di rumah, gagal, maka kita harus mencoba cara mereka. Kalian berdua harus tetap bersama. Tidak ada yang boleh menyalahkan anak-anakku,” gumam Ayah mengulang janji yang diucapkan di balai desa.