Ia selalu tahu ketika seseorang mulai mencintainya. Bukan dari kata-kata ataupun sentuhan. Ia mampu merasakannya dari perubahan kecil yang hampir tak terlihat. Dari cara mata seseorang menunggu persetujuannya, cara suara mereka sedikit melembut ketika menyebut namanya, maupun cara mereka mulai mengorbankan hal-hal kecil tanpa diminta.
Ia menyukai fase itu. Fase ketika orang-orang masih utuh dan sepenuhnya percaya bahwa cinta adalah sesuatu yang bisa dibagi tanpa kehilangan apa pun. Namun, rasa suka itu tidak pernah bertahan lama. Begitu cinta mulai menetap, ia merasa sesak. Seolah ruang di dadanya menyempit. Seolah satu orang yang mencintainya mencoba mengurungnya dalam jumlah yang tidak cukup.
Satu cinta selalu terasa kurang. Dua terasa sempit. Ia membutuhkan lebih. Bukan karena ia kesepian. Justru sebaliknya. Ia takut jika hanya dicintai oleh segelintir orang—berarti dirinya memang tidak layak dicintai oleh semua.
Ia tersenyum dengan mudah. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia juga mengingat detail-detail kecil yang membuat orang merasa istimewa. Ia hadir dengan intensitas yang tepat. Cukup untuk membuat orang percaya bahwa merekalah pusat dunia tanpa pernah benar-benar menjadi pusat hidupnya. Namun, ketika seseorang akhirnya berkata, “Aku mencintaimu,” dengan suara yang tidak lagi ragu, sesuatu di dalam dirinya justru mengeras. Ia tidak membalas maupun menyangkal. Ia hanya menunggu. Karena cinta, baginya, bukan sebuah janji. Cinta harus dibuktikan. Dan, tidak ada bukti yang lebih jujur daripada sesuatu yang tidak bisa dikembalikan.
Ia bertemu dengannya pada sebuah sore yang tidak istimewa. Tidak ada peristiwa besar maupun kilatan nasib. Hanya percakapan yang mengalir terlalu lancar untuk disebut kebetulan. Ia mendengarkan, seperti biasanya, membiarkan lawannya berbicara tentang hal-hal kecil yang jarang diperhatikan orang lain. Cerita tentang kelelahan yang tidak pernah diakui, tentang keinginan untuk dipilih tanpa harus bersaing.
Ia tahu tanda-tandanya. Bukan dari pengakuan. Belum. Ia merasakannya dari jeda yang sedikit lebih panjang ketika mereka berpisah. Dari pesan yang diketik, dihapus, lalu dikirim ulang dengan kata yang lebih hati-hati. Dari cara tubuh itu condong ke arahnya seolah gravitasi telah berubah arah.
Ia tidak mendorong. Tidak juga menarik. Ia hanya hadir memberi ruang yang cukup bagi perasaan itu tumbuh sendiri. Ia percaya cinta yang dipancing terlalu cepat akan selalu rapuh. Ia menyukai yang tumbuh perlahan, yang percaya bahwa mereka sampai pada perasaan itu dengan kemauan sendiri.
Ketika akhirnya pengakuan itu datang, ia sudah siap.
“Aku rasa aku jatuh cinta padamu.”
Ia mengangguk kecil. Tidak tersenyum. Tidak terkejut. Seolah kalimat itu hanyalah konfirmasi dari sesuatu yang sudah ia ketahui sejak awal. Ia membiarkan keheningan bekerja dan membiarkan lawannya merasa telanjang dalam keberanian yang baru saja ia tunjukkan.
“Apakah itu cukup?”
Ia tidak menjawab. Ia hanya menatap. Dan dalam tatapan itu, cinta mulai berubah bentuk—dari perasaan menjadi keharusan.
Ia selalu menunggu momen itu. Saat cinta berhenti menjadi emosi dan mulai menjadi tuntutan. Saat seseorang tidak lagi hanya ingin dicintai, tetapi ingin membuktikan bahwa cintanya layak diakui. Ia tidak pernah meminta dengan tergesa. Pembuktian yang dipercepat selalu cacat. Ia menunggu hingga cinta itu matang, hingga orang itu sendiri yang merasa bahwa perasaan semata tidak lagi cukup.
“Jika memang kau mencintaiku,” katanya suatu malam, “apa yang akan kau berikan?”
Nada suaranya tidak berubah. Tidak ada rayuan. Tidak ada ancaman. Pertanyaan itu terdengar seperti formalitas terakhir sebelum sebuah kesepakatan.
“Apa pun,” jawab orang itu dengan cepat.