Antitesis

Agum PA
Chapter #12

Ke Mana Doa Mengalir

Aku tiba bersamaan dengan berhentinya hujan. Bukan karena hujan patuh, melainkan karena kehadiranku dicap sebagai antitesis. Awan-awan gelap yang sejak sore menggantung rendah perlahan terbelah dan mundur seperti tirai yang ditarik tanpa suara. Langit kembali hitam, bersih, dan di tengahnya purnama menggantung utuh. Terang tanpa perlu menjelaskan apa pun. Cahayanya jatuh ke halaman rumah sakit dan memantul di aspal yang masih basah. Aroma petrikor bercampur dengan bau antiseptik yang menguap keluar melalui pintu-pintu otomatis. Setiap malam, rumah sakit tidak pernah benar-benar tidur. Ia hanya berganti ritme.

Aku melangkah masuk tanpa membuka pintu. Lorong-lorong terang oleh lampu putih. Manusia berlalu-lalang dengan langkah tergesa dengan mendorong ranjang, membawa map, maupun berbicara dengan suara setengah ditelan masker. Tak satu pun menoleh. Tak satu pun merasakan kehadiranku. Aku berjalan mengikuti arah yang sudah kukenal, menembus lantai demi lantai, hingga suara-suara berubah menjadi dengung yang lebih teratur.

Ruang ICU selalu memiliki napasnya sendiri. Mesin-mesin berbunyi dalam tempo yang tidak terpengaruh oleh siang atau malam. Di ujung lorong, aku berhenti. Pintu kacanya berdiri diam, bening, memantulkan cahaya lampu dan bayangan samar purnama di balik jendela besar. Dari sana, aku mengintip ke dalam.

Seorang perempuan muda terbaring di ranjang. Tubuhnya kecil di antara selang, kabel, dan alat-alat yang mengambil alih fungsi hidupnya satu per satu. Dadanya naik turun dengan bantuan mesin. Wajahnya tenang. Terlalu tenang untuk seseorang yang sedang berada di ambang kematian.

Lalu, sesuatu terlepas. Bukan dengan hentakan. Tidak juga dengan jeritan. Jiwanya keluar seperti napas yang lupa kembali. Perlahan, ragu, seolah tidak yakin apakah ia diizinkan pergi sejauh itu. Ia melayang beberapa langkah dari tubuhnya sendiri dengan masih terikat oleh kesadaran yang perlahan terputus.

Ia mencoba mendekat. Tangan yang diulurkannya tidak menyentuh kulitnya sendiri. Jari-jarinya menembus dada yang naik-turun tanpa perlawanan. Tidak ada rasa sakit. Hanya kekosongan yang mengejutkan. Kemudian, ia mundur karena terkejut oleh ketiadaan bobot dirinya. Ia memandang tubuh itu lebih lama. Rambut panjang yang terurai di bantal. Bibir yang pucat. Wajah yang masih menyimpan sisa-sisa ekspresi hidup, namun tak lagi sepenuhnya miliknya. Mesin di samping ranjang terus berbunyi menjaga ritme yang bukan lagi ia rasakan. Untuk sesaat, ia membeku. Bukan karena takut, melainkan karena pikirannya berusaha mengejar tubuhnya dan usahanya gagal.

Ia berbalik mengamati sekitar. Tatapan kami bertemu. Ia melihatku seperti seseorang melihat bayangan yang tidak seharusnya ada, namun terlalu nyata untuk diingkari. Tidak ada teriakan. Tidak ada reaksi berlebihan. Hanya mata yang membesar dan mencoba memahami bentuk yang berdiri tenang di balik pintu kaca.

Ia melayang ke arahku dengan ragu, seperti seseorang yang belum yakin apakah lantai masih ada. Tubuhnya—atau apa pun yang kini menggantikannya—bergerak tanpa langkah. Dinding kaca ICU tidak menghalanginya. Ia menembusnya seperti melewati ingatan yang tipis dan berhenti tepat di hadapanku.

Di jarak sedekat itu, aku bisa merasakan kebingungannya berlapis-lapis. Ia menatapku lama, seolah berharap aku akan menjelaskan sesuatu tanpa perlu ditanya.

“Apakah aku telah mati?”

Pertanyaan itu keluar tanpa getar. Bukan karena berani, melainkan karena tubuhnya sudah tidak lagi mampu bereaksi.

“Aku tidak suka menyebutnya kematian,” jawabku. Nadaku datar, dingin, seperti fakta yang tidak memerlukan empati. “Bersyukurlah. Sekarang kau bebas.”

Ia menatapku. Bukan dengan takut, melainkan bingung. Bebas adalah kata yang aneh bagi seseorang yang baru saja kehilangan tubuhnya.

Tanpa menunggu persetujuan, aku melayang menjauh. Tidak cepat dan tidak tergesa. Aku tahu ia akan mengikutiku. Mereka yang baru terpisah dari hidup selalu melakukannya.

“Ke mana kita pergi?” tanyanya.

“Tugasku hanya mengantarmu ke taman firdaus,” jawabku. “Tempat semua yang mati menunggu untuk dilahirkan kembali.”

Ia berhenti melayang. Wajahnya menegang oleh sesuatu yang menyerupai harapan.

“Jadi,” katanya hati-hati, “aku tidak mati?”

“Kematian tetaplah kematian,” kataku. “Untuk saat ini, kau kehilangan tubuh fisikmu dan jiwamu kembali ke dalam genggamanku. Seluruh memorimu akan disimpan dan diurai. Entah kau akan mengingatnya atau tidak dan entah kau memilih terlahir kembali atau menetap dalam keabadian, itu bukan urusanku.”

Ia menatap tangannya sendiri. Menembusnya. Tidak ada darah. Tidak ada denyut. Hanya keberadaan yang ringan dan rapuh.

Kami melanjutkan perjalanan menyusuri lorong. Ruang-ruang terbuka memperlihatkan tubuh-tubuh yang sedang dipertahankan. Mesin berdengung. Angka-angka naik turun. Kehidupan di sini bukan sesuatu yang mengalir, melainkan sesuatu yang ditahan.

“Mereka berjuang keras,” katanya pelan.

“Mereka menghindar,” koreksiku. “Manusia selalu membayangkan kematian sebagai akhir. Karena hidup mengajari mereka untuk melekat pada tubuh, nama, dan peran. Mereka menyebut kematian jahat karena kematian mengambil semua itu tanpa negosiasi.”

Ia terdiam sejenak, lalu bertanya dengan suara yang nyaris tidak terdengar, seolah takut pertanyaannya sendiri akan mengubah sesuatu.

“Jika semua itu diambil,” katanya, “lalu apa yang tersisa dari seseorang?”

Aku tidak segera menjawab.

“Apakah aku masih aku,” lanjutnya, “jika tubuhku tertinggal di sana? Jika namaku tidak lagi dipanggil? Jika tidak ada peran yang harus kujalani?”

“Kalian menyebutnya kenangan. Yang tersisa hanyalah puing-puing kenangan. Namun, tidak semuanya akan mengingat.”

Ia menoleh padaku, bukan untuk mencari penghiburan, melainkan kepastian yang mungkin tidak ada. Lalu, ia memperhatikan wajah-wajah yang tegang, tangan-tangan yang menggenggam ranjang, napas yang ditarik seolah bisa disimpan untuk nanti.

Lihat selengkapnya