Kebanyakan anak perempuan dekat dengan ayahnya. Ayah adalah cinta pertama untuk anak perempuan. Dari ayahlah seorang anak perempuan tahu kualitas pria sejati yang diidamkannya.
Setidaknya, itulah yang dirasakan Chelsea. Ia sangat dekat dengan Anton. Tak heran ia sangat terpukul setelah Anton pisah rumah dengan Alina. Chelsea tidak terima Anton dan Alina akan bercerai.
“Ayah sama Bunda jangan cerai ya...?” Chelsea memohon di Sabtu sore yang cerah itu.
“Insya Allah tidak, Sayang. Ayah dan Bunda sedang berusaha,” jawab Anton menenteramkan. Lembut mengelus kepala Chelsea.
Hari ini istimewa. Akhirnya, Anton diizinkan mengajak Chelsea menginap di villanya. Itu pun melalui bujukan dan lobi pada Pierre, Monna, dan Karin. Alina ikut membantu membujuk mereka bertiga.
“Chelsea selalu doain Ayah dan Bunda,” ungkap Chelsea.
“Iya. Terima kasih, Sayang.” Kini Anton mengecup kening Chelsea.
Angin berbisik, membelai tepi baju mereka. Halaman villa disinari berkas-berkas merah keemasan di kaki langit sebelah barat menjelang sunset. Terlihat Anton tengah berkutat dengan gadget-nya. Ternyata sedang melakukan proses transaksi online.
“Sayang, libur Lebaran nanti kita ke Bali ya? Ayah sudah booking tiket pesawat dan hotel.”
Ucapan Anton membuat Chelsea tersentak kaget. Ia menatap ayahnya tak percaya.
“Liburan ke Bali, Ayah? Jadi, Lebaran nanti kita di Bali?” tanyanya antusias.
Anton mengangguk. Sekali lagi mendaratkan belaian hangat di rambut putri tunggalnya.
“Horeee! Chelsea mau, Ayah! Thanks, Ayah!” seru Chelsea girang. Senyuman merekah, membuat lesung pipinya yang menawan terlihat jelas.
“Sama-sama, Sayang.”
Tiap tahun, Anton rutin mengajak keluarga kecilnya berlibur. Liburan akhir semester lalu, Anton membawa istri dan putrinya liburan ke Singapura. Sedangkan liburan kenaikan kelas mereka pergi ke Lombok. Libur Lebaran tahun lalu mereka habiskan di Malang, kota cantik beriklim sejuk sekaligus kota kelahiran Anton. Chelsea beruntung memiliki ayah yang kaya dan penyayang.
“Perginya sama Bunda juga, kan?” Chelsea kembali bertanya, penuh harap.
Sejenak Anton terdiam. Lalu menjawab. “Ayah harap begitu.”
Kumandang azan Maghrib mengalihkan perhatian mereka. Ayah dan anak itu berhenti bicara. Khusyuk mendengarkan seruan untuk menunaikan shalat. Sejurus kemudian, keduanya beranjak ke dalam villa. Bersiap menjalankan shalat Maghrib.
**
Hari Rabu di minggu berikutnya, Anton punya agenda penting. Kunjungan kerja ke kantor cabang perusahaannya di Jakarta. Pagi-pagi sekali ia sudah berangkat dari Bandung. Sebab ia tahu kondisi kemacetan di ibu kota.
Urusan pekerjaan ternyata memakan waktu lama. Pukul dua siang, barulah semuanya selesai. Bahkan waktu makan siang pun terlewat demi urusan pekerjaan.
Selesai dengan urusan kantor, Anton tak langsung kembali ke Bandung. Ia ingin mengunjungi satu tempat. Apa lagi kalau bukan Mall Ambassador? Sudah lama ia tak mencicipi bubur kacang hijau sagu mutiara.
Tiba di sana, Anton segera mendapat apa yang diinginkannya. Seporsi bubur kacang hijau sagu mutiara yang lezat dan creamy. Baginya, makanan ini sudah cukup mengenyangkan. Tidak seperti kebanyakan orang Indonesia yang belum kenyang jika belum makan nasi. Mungkin pengaruh darah campuran dari mendiang ayahnya, Anton berbeda dengan teman-temannya yang berdarah murni Indonesia.
Tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada meja di dekat pintu. Rasanya ia familiar dengan tiga orang yang menempati meja itu. Ia menyipitkan mata, mencoba mengenali mereka.
Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Jantung Anton terasa berhenti berdetak. Mereka tak lain Pierre, Alina, dan Chelsea. Chelsea duduk di tengah Pierre dan Alina. Memakan es krim vanilla dan cup cake favoritnya. Pierre sesekali menyuapinya. Sesekali pula ia merangkul Alina. Seolah sedang menunjukkan kemesraan di depan publik.
Tanpa sadar Anton mengepalkan tangannya. Cemburu berpadu dengan amarah. Hatinya memberontak tidak rela. Alina bukan istri Pierre. Wanita berdarah Sunda-Belanda itu masih menjadi istrinya yang sah. Mereka hanya pisah rumah, belum resmi bercerai.
Lantas, untuk apa Pierre ke Jakarta? Terlibat urusan bisniskah seperti dirinya? Mengapa harus mengajak Alina dan Chelsea? Ataukah ini dilandasi unsur kesengajaan?
Diamatinya wajah Alina dan Chelsea. Anton memiliki hati yang peka. Ia bisa melihat keterpaksaan di wajah istri dan putrinya. Hatinya bersorak penuh kemenangan. Chelsea dan Alina tidak mengikuti ajakan Pierre karena kemauan mereka sendiri.
Ponselnya berdering. Whatsapp dari Pierre. Apa lagi ini? Pikirnya gemas. Ketika dibuka, isinya beberapa foto. Satu foto menampilkan Chelsea dan Pierre sedang saling rangkul. Ada caption di bawahnya.
“Me and my daughter. She’s very beautiful. I love her.”
Seakan ada yang menekan tombol dalam tubuhnya untuk membuat aliran darahnya bertambah cepat. Anton menahan napas. Melihat foto berikutnya. Kali ini foto Pierre, Alina, dan Chelsea. Sekali lagi dengan pose mesra.
“Aku bersama calon istri dan putriku. Kami sangat bahagia menyambut datangnya pernikahan.”
Ini sudah kelewatan. Chelsea bukan putri Pierre. Ia putri Anton. Beraninya Pierre menyebut Alina calon istri, sementara wanita cantik itu jelas-jelas istri Anton.
Sejurus kemudian Anton membuka Instagram Pierre. Benar dugaannya. Pria oriental itu pastilah memposting foto-foto itu di Instagramnya. Mengundang banyak komentar dari followersnya.
Cepat-cepat Anton menutup aplikasi Whatsapp dan Instagram. Tak tahan lagi melihat semua ini. Meski ia tahu ini semua bukan kemauan Alina dan Chelsea, tetap saja ia disergap rasa marah, sedih, cemburu, dan kecewa.
Kuingin marah
Dan lampiaskan
Tapi ku hanyalah
Sendiri di sini
Ingin kutunjukkan
Pada siapa saja yang ada
Bahwa hatiku kecewa (Bunga Citra Lestari-Kecewa).
**
Meninggalkan setengah porsi bubur kacang hijau sagu mutiaranya, Anton memutuskan segera kembali ke Bandung. Selera makannya hilang begitu saja. Ia bahkan lupa minum obat. Tindakan yang cukup berbahaya, namun pria tampan itu tak peduli.