Jika Anton bisa menjadi Ayah yang baik, mengapa Alina tidak bisa menjadi Bunda yang baik? Ilmu Psikologi yang didapatnya semasa kuliah membantunya dalam mengasuh dan mendidik Chelsea. Ia bahkan bisa mengajari putri tunggalnya itu sendiri. Ingin rasanya Alina selalu berada di rumah untuk mengajari Chelsea setiap hari. Sayangnya, masih banyak klien membutuhkan pelayanan konseling dan psikoterapi darinya. Terlebih Alina juga seorang hypnotherapyst. Makin banyak klien yang memerlukan dirinya. Alhasil, Chelsea lebih sering dibantu guru pendamping dalam program homeschooling yang dijalaninya.
Akan tetapi, pagi ini istimewa. Alina bisa mengambil hari libur. Praktis ia bisa menemani Chelsea bermain dan belajar.
“Bunda, kita ke taman yuk.” ajak Chelsea setelah menyelesaikan jawaban soal Bahasa Indonesianya.
“Boleh, Sayang. Chelsea bosan di ruang belajar ya?”
“Iya, Bunda. Chelsea mau sekali-sekali cari suasana baru.”
Alasan yang cukup logis. Alina meraih lembut tangan Chelsea. Menggandengnya turun ke lantai bawah.
Di taman belakang yang difungsikan sebagai taman bunga oleh Alina, mereka duduk bersisian. Alina kembali mengajari Chelsea. Chelsea anak yang cerdas. Ia cepat memahami pelajaran. Kemampuan hafalannya pun baik. Apa lagi kecerdasan linguistiknya.
Dalam hati, Alina mengagumi kecerdasan Chelsea. Ia bangga sekali pada putrinya. Bukan hanya cantik, anak itu juga cerdas. Allah Maha Adil. Anton dan Alina diberikan seorang putri yang cerdas dan rupawan. Orang takkan tahu bila Chelsea anak angkat. Sebab ia mirip dengan Ayah-Bundanya, seolah mewarisi gen mereka.
“Sampai di sini dulu ya, Sayang. Sekarang Chelsea boleh main. Chelsea mau main apa?” kata Alina menutup sesi pelajarannya hari ini.
Sesaat Chelsea tak menjawab. Pandangannya terfokus pada mawar dan lily putih kesayangan Alina. Sama seperti Bundanya, Chelsea menyukai bunga. Ia terkadang membantu Bundanya merawat bunga.
“Chelsea kangen Ayah,” gumamnya.
“Oh...Bunda juga kangen, Sayang. Tapi Ayah masih seminggu lagi di Frankfurt.”
Tepat saat itu, ponsel Alina berdering. Nama seseorang yang dipikirkannya muncul di layar. Panjang umur, bisik hatinya girang.
“Sayang, ini telepon dari Ayah!”
Dua detik kemudian, Alina mendengar suara barithon itu menyapanya lembut. Ia rindu suara itu. Rindu pula pada pemiliknya. Sejak dulu, Alina menyukai suara Anton.
“Anton, kamu baik-baik saja kan? Jangan lupa minum obat. Jangan lupa...”
“Iya, Sayang. Aku baik-baik saja. Aku tidak akan lupa.” jawab Anton menenangkan.
“Alhamdulillah. Sayang, kita pindah ke Skype ya? Atau FaceTime?”
Anton menurut. Tak lama, mereka beralih ke Skype. Baik Alina maupun Chelsea tak bisa menahan diri untuk berseru senang. Bagaimana tidak, mereka bisa melihat seraut wajah tampan yang sangat mereka rindukan.
“I miss you, Ayah!” teriak Chelsea ekspresif.
“Miss you too, Dear. Chelsea belajar apa sama Bunda?”
Langsung saja Alina dan Chelsea bergantian menceritakan pelajaran mereka. Ketiga anggota keluarga kecil itu sangat bahagia. Kemajuan teknologi memperlancar komunikasi mereka. Terbukti, penyakit Celiac itu tidak menghalangi kebahagiaan mereka.
Puas melepas rindu, Alina mengakhiri Skype-nya dengan Anton. Saat itulah Chelsea meminta sesuatu.
“Bunda, ceritain pertama kalinya Bunda ketemu sama Ayah.”
Walau tak menyangka, Alina pun menceritakannya dengan senang hati.
**
Meninggalnya Ayah dan vonis dokter tentang penyakit Celiac bukanlah ujian yang ringan. Perlu waktu lama bagi Anton untuk menata hati dan jiwanya. Paling tidak, sebulan ia menonaktifkan dirinya dari semua aktivitas di kampus. Ia perlu waktu untuk mengembalikan lagi kekuatannya.
Telepon di kamarnya berbunyi. Tepat setelah ia menyudahi shalat Shubuhnya. Siapa yang menelepon sepagi ini?
“Hei Bro, hari ini kamu penugasan di Korps Protokoler Mahasiswa ya?” Tanpa sapaan, tanpa basa-basi, Septian memberikan perintah.
“Hari ini? Jangan bercanda kamu. Masa penugasan tanpa ada persiapan apa pun? Penugasan acara apa?” tanya Anton kaget.
“Wisuda gelombang satu,” sahut Septian.