Detak jarum jam begitu lambat. Malam merambat mendekati pagi hari. Di keheningan malam itu, Alina masih terjaga. Bergelut dengan dua pilihan.
Lekat ditatapnya wajah pendamping hidupnya. Saat sedang tidur pun, Anton tetap tampan. Meski tersisa gurat keletihan di wajahnya. Selebihnya, ia adalah sosok pria yang rupawan dalam keadaan apa pun.
Digerakkan syaraf sadarnya, Alina mengulurkan tangan. Membenahi selimut Anton. Membelai lembut rambutnya. Mencium keningnya. Mungkin karena terlalu lelah, Anton tak terbangun mendapat sentuhan Alina.
“Aku mencintaimu...sangat mencintaimu.” bisik Alina.
“Lebih baik aku menjadi orang biasa tapi tidak kesepian dan dicintai oleh orang yang kucintai. Jadi orang biasa itu jauh lebih baik. Tak perlu lagi aku menjadi psikolog, hypnotherapyst, atau profesi apa pun yang membuat namaku terkenal. Asalkan aku bisa terus bersamamu. Terus mencintai dan dicintai olehmu.”
Alina tersedu. Membenamkan wajah di balik bantalnya. Terjebak dalam pilihan sulit. Bodohkah bila ia rela melepas kariernya demi cinta? Akan tetapi, ia ingin berada di sisi Anton. Merawatnya, mendampinginya, dan membantunya sampai ia sembuh. Entah kapan Anton akan sembuh. Mungkin saja ia takkan bisa sembuh lagi. Alina siap dengan risiko terburuk. Jika Anton tidak ditakdirkan untuk sembuh, ia hanya ingin mendampingi Anton melewati sisa hidupnya. Ia ingin memastikan Anton tidak merasakan sakit sendirian. Itu saja.
Kotak ingatan Alina terbuka. Kenangan semasa awal kariernya sebagai psikolog dan hypnotherapyst muncul. Begitu pula kenangannya saat ia masih menjadi mahasiswi Psikologi yang populer karena kecantikan, prestasi, dan keaktifannya.
**
Satu hal yang bodoh
Bila ku memikirkanmu
Bila ku mencintaimu
Alangkah bodohnya aku
Satu hal yang bodoh
Bila ku merindukanmu
Dan bila kembali padamu
Betapa naifnya aku (Rossa-Satu Hal yang Bodoh).
**
“Aku tidak akan menikah.” kata Anton tegas.
Keheningan yang berlalu setelahnya teramat menyakitkan. Dua hati terluka di saat bersamaan. Hati Anton terluka lantaran keputusannya sendiri. Hati Alina terluka akibat menerima keputusan yang lebih mirip vonis itu.
“Kondisiku tidak mengizinkanku untuk menikah, Alina.” lanjut Anton lagi, lebih lembut.
“Tak masalah bagiku.” Alina berusaha meyakinkan Anton.
Ruang tamu berbentuk oval dengan hiasan lampu kristal Swarrowski dan pigura-pigura foto itu dilingkupi nuansa kesedihan. Anton bergeser satu langkah. Membuka pintu lebar-lebar.
“Lebih baik kamu pergi, Alina. Jangan datang ke sini lagi. Jangan pedulikan aku.”
Sepasang mata bening Alina siap menghamburkan air mata. Anton tega mengusirnya? Tidak, ini bukan sepenuhnya keinginan Anton. Pria berdarah campuran itu sesungguhnya tak bermaksud menyakiti Alina. Mengenal dan memahami Anton luar-dalam membuat Alina mengerti situasinya.
Ketika Alina masih saja berdiri diam di tempatnya, Anton mencengkeram tangan gadis keturunan Sunda-Belanda itu. Menatapnya tajam, lalu berujar.
“Kamu harus melanjutkan hidupmu tanpaku, Alina. Pilihlah pria lain yang jauh lebih sehat dan sempurna dariku. Bukan pria mandul dan masokis sepertiku.”
Alina dapat melihat luka dalam tatapan mata Anton. Mata adalah cerminan hati dan jiwa. Nyata sekali, hati Anton begitu terluka. Sama seperti hatinya sendiri. Keteduhan dan kelembutan sepasang mata itu tertutupi oleh luka.
“Aku bisa menerimamu apa adanya, Anton. Kondisimu bukan masalah untukku...sungguh.” ucap Alina.
“Tidak. Sekarang bisa saja kamu bilang begitu, tapi nanti? Kita tak pernah tahu. Sekarang, pergilah. Aku tidak ingin melihatmu lagi, Alina Maya.”
Itu sebuah kebohongan. Perlahan Alina melangkah ke pintu. Membiarkan air matanya jatuh seiring derap langkahnya. Ketika pintu mengayun menutup, samar didengarnya suara kaca pecah. Ya Allah, apakah Anton melukai dirinya lagi? Sungguh, Alina tak tega meninggalkannya sendirian di rumah sebesar itu. Bagaimana bila Anton muntah darah lagi seperti kemarin? Atau mencoba memotong jarinya sendiri dengan pisau seperti minggu lalu?