Anton dan Alina

princess bermata biru
Chapter #24

Bolehkah Lumpur Bersanding dengan Mutiara?

Dua pasang mata beradu. Kemarahan terpancar begitu kuat. Masing-masing pemiliknya berusaha saling menyudutkan dan membenci. Teramat besar kebencian yang terpendam hingga hati mereka tertutup untuk melihat kelebihan dalam diri satu sama lain.

Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Tujuh detik. Si wanita berdarah India mengangkat tangan, lalu...

Plak!

Pierre terperangah. Mengelus pipinya yang terasa sakit. Baru kali ini ia ditampar seorang wanita. Sungguh, baru kali pertama.

“Jangan sakiti Anton lagi!” Muti setengah berteriak. Mengambil ancang-ancang. Siap memberikan tamparan kedua.

Di luar kemauannya, Pierre mundur satu langkah. Pria keturunan Sunda-Tionghoa itu gentar sekaligus kagum melihat sikap Muti.

“Aku takkan membiarkan orang yang kusayangi disakiti!”

Dengan kata-kata itu, Muti berbalik. Melangkah pergi. Meninggalkan wangi Escada The Moon Sparkel. Ia merasa sudah cukup memberi pelajaran pada Pierre.

**   

Keduanya tertawa lepas. Rasanya, kenangan itu sudah lama sekali berlalu.

“Maafkan aku ya?” kata Muti lembut.

“Tidak apa-apa. Kamu sangat berani, Muti. Juga sangat cantik dan penyayang.” puji Pierre tulus.

Rona merah merayapi kedua pipi Muti. Menyembunyikan kecanggungannya, ia menunduk. Pura-pura berkonsentrasi dengan Lasagna di depannya.

“Bagaimana bisnismu?” Pierre mengalihkan pembicaraan.

Merasa terselamatkan, Muti menceritakan bisnis butiknya dengan antusias. Pierre sabar mendengarkan. Terus memperhatikan ekspresi wajah dan senyuman Muti selama bercerita. Cantik sekali, pikir Pierre kagum. Muti lebih dari sekedar cantik. Ia sukses dan pintar. Kecantikan fisik berimbang dengan kecantikan hati. Apa lagi yang kurang? Mengapa Pierre berkeras menutup hati?

**   

Baik Pierre maupun Muti tahu persis alasan Anton sering mempertemukan mereka. Anton tengah melakukan aksi sosialnya. Menunjukkan betapa ia peduli pada Muti dan Pierre.

Sering bertemu Pierre membuat perasaan Muti tak menentu. Sehari saja ia tak bertemu atau mendengar kabar dari Pierre, tetiba saja ia diserang virus rindu. Virus kerinduan itu berpadu dengan gengsi. Alhasil, ia segan mengontak Pierre lebih dulu. Selalu saja ia menyimpan tanya. Apakah Pierre baik-baik saja? Masihkah ia terpukul dengan kenyataan pahit bahwa ia tidak bisa meneruskan keturunan?

Di sisi lain, Pierre mulai tenggelam dalam perasaannya sendiri. Muti berhasil mendobrak pintu hatinya yang selama ini tertutup rapat. Perhatiannya, ketulusannya, dan pesonanya sempurna meluluhkan Pierre. Apakah sosok Alina telah terganti dengan Muti? Sering kali timbul niat di hati Pierre untuk menjadikan Muti sebagai Nyonya Pierre. Namun ia merasa terlalu egois jika melakukannya. Pierre tahu pasti, dia tak bisa membahagiakan Muti.

“Soal anak? Jangan khawatir, Pierre.” Anton membesarkan hatinya.

“Aku yakin Muti bisa menerimamu apa adanya. Kalian bisa adopsi anak. Seperti aku dan Alina.”

Pierre menghela napas berat. Menyesap vanilla latte-nya. Siang itu, Starbucks tak terlalu ramai. Membuat Pierre lebih nyaman mencurahkan isi hatinya.

“Okey, anggap saja Muti bisa menerimaku. Bagaimana dengan keluarganya? Mereka pasti tidak setuju.” kata Pierre gelisah.

“Nanti kubantu bicara dengan Om Aryan dan Tante Nikita.” janji Anton.

Sesaat hening. Wajah Pierre begitu sedih dan terluka.

“Kasihan Muti. Aku tak sanggup mengecewakannya. Apa lagi dia anak tunggal. Dia tidak akan punya keturunan jika menikah denganku.”

“Aku mengerti perasaanmu, Pierre. Itu juga yang kualami saat akan melamar Alina. Cobalah berpikir luas. Lihat kasusmu dari berbagai sudut pandang. Kamu dan Muti jelas-jelas saling mencintai. Masalah anak bisa diatasi. Keluarga bisa kita dekati pelan-pelan. Apa lagi yang kamu khawatirkan?”

Anton terus memotivasinya. Meyakinkan segalanya akan baik-baik saja. Memantapkan hati Pierre.

Dua menit kemudian, ia tahu apa yang harus dilakukan.

Lihat selengkapnya