Anton dan Alina

princess bermata biru
Chapter #25

Ini Hidupmu, Ini Pilihanmu

Tampil romantis di depan publik bukan hal baru lagi bagi Rupert Anton dan Alina Maya. Profesi yang pernah atau sedang mereka tekuni saat ini membuat popularitas tak pernah jauh dari mereka. Anton mantan Psikolog. Kini ia menjadi penyiar radio dan pebisnis. Ketiga profesi itu melambungkan namanya. Selama kuliah, Alina aktif menjadi peragawati dan penyanyi. Kini ia menggantikan Anton sebagai Psikolog. Tak hanya itu, Alina juga seorang hypnotherapyst. Semua pekerjaan itu membuatnya terkenal.

Orang-orang tak heran dengan pernikahan mereka. Semuanya sepakat jika Anton dan Alina pasangan yang serasi.

“Alina cantik, pantaslah punya pendamping hidup setampan Anton.”

“Orang terkenal ya nikahnya sama orang terkenal lagi.”

Semacam itulah komentar yang menyoroti pernikahan mereka.

Baik di rumah, di kantor, bahkan di bandara seperti pagi ini, mereka tak ragu menunjukkan kemesraan. Bukan bermaksud pencitraan, semua tindakan mereka datang dari hati. Murni atas nama cinta.

Terlebih mereka tak lagi berdua. Kini mereka memiliki seorang putri. Siti Afifah Chelsea Sabarina menjadi pelengkap kebahagiaan.

“Hati-hati ya, Sayang.” Alina berpesan. Memeluk Anton penuh kehangatan.

Anton balas memeluk Alina. Lengannya ia lingkarkan di pinggang wanita berdarah Sunda-Belanda itu. “Kamu juga jaga diri di sini ya? Aku dan Chelsea akan baik-baik saja.”

“Kenapa Bunda nggak ikut ke Malang aja?” tanya Chelsea tiba-tiba.

“Masih ada beberapa urusan di sini, Sayang.” jawab Alina sabar.

“Nggak apa-apa, kan? Sisi positifnya, Chelsea bisa pergi berdua sama Ayah. Bisa sekalian liburan di sana.”

Alina tahu, Chelsea sangat dekat dengan Anton. Kepergian mereka ke Malang pagi ini bisa menjadi vakansi yang menyenangkan. Anton membawa Chelsea ke kota kelahirannya, selain untuk urusan pekerjaan dan urusan keluarga, juga punya tujuan lain: rekreasi.

Tiba waktunya untuk check in. Sebelum masuk ke check in room, sekali lagi Anton memeluk Alina erat. Mencium pipi dan keningnya. Meninggalkan wangi Calvin Klein yang sangat khas. Sedikit pula tercium campuran wangi susu dan Earl Grey. Earl Grey adalah minuman favorit Anton.

“See you later, Dear.” bisik Anton. Alina memejamkan mata sesaat, merasakan hembusan nafas Anton begitu hangat menyapu lehernya.

“I will miss you.” Alina mendesah manja.

“Hanya lima hari, Sayang. Tidak akan lama.” janji Anton.

“Lima hari bagaikan lima tahun untuk seseorang yang sedang jatuh dan mencinta.”

Anton tertawa kecil. Mengacak gemas rambut panjang wanitanya. Alina tak pernah protes. Biarlah rambutnya berantakan asalkan Anton terus di sisinya. Terus bertahan hidup dan melawan penyakitnya.

“Chelsea Sayang, ingat pesan Bunda ya?” Alina beralih memeluk Chelsea. Mengecup puncak kepalanya.

“Iya, Bunda.”

“Memang Bunda bilang apa sama Chelsea?” timpal Anton penasaran.

“Rahasia,”

Pria berdarah campuran itu hanya tersenyum penuh pengertian. Meraih tangan Chelsea, menggandengnya ke check in room.

**     

Hingga pesawat yang ditumpangi suami dan putrinya take off, Alina masih berada di pelataran Bandara Husein Sastranegara. Belum apa-apa, hatinya telah berselimut rindu. Masih lima hari sebelum ia bertemu kembali dengan dua orang paling berharga dalam hidupnya.

Dering handphone menyadarkannya dari gelora kerinduan. Ada e-mail masuk. Mata bening Alina bergulir cepat membaca e-mail itu. Semenit. Tiga menit. Lima menit. Tubuh Alina limbung. Ia akan jatuh andai saja...

“Alina, kamu baik-baik saja?”

Sebuah suara mezosopran bernada khawatir menyelamatkannya. Disusul sepasang tangan halus menahan tubuhnya. Sontak ia berpaling, tertatap olehnya sosok Andini.

“Andini?” gumam Alina.

“Iya, ini aku.”

“Kamu tak apa-apa, Alina?”

Dari belakang, muncullah pria berpostur tinggi dan berwajah Indo bersama seorang gadis kecil berparas cantik. Pria itu tak lain Albert Fast Cavanaugh, dan gadis kecil di sampingnya adalah Rossie. Merekalah suami dan putri tunggal Andini.

“Oh my God...kalian di sini juga?” tanya Alina tak percaya.

“Kami baru saja mengantar Bunda Chantika, Bundanya Albert.” jelas Andini.

Bila ada alat pengukur kesamaan hidup, Alina dan Andini akan menjadi dua objek yang sangat menarik. Mulai dari hal yang simple soal nama mereka yang berawal huruf sama: A. Mereka pun memiliki kisah cinta yang sama. Dinikahi pria mandul, mencintai tanpa syaarat, mengadopsi anak perempuan yang sangat cantik, dan susah payah mempertahankan cinta mereka dari ancaman perceraian paksa. Sungguh, kisah mereka nyaris sama.

“Halo, Auntie Alina.” sapa Rossie dengan wajah innocent-nya.

“Hai Rossie,” balas Alina. Memeluk kanak-kanak itu. Mengelus rambutnya yang lurus dan panjang. Mirip rambut Chelsea.

Lihat selengkapnya