Anton dan Alina

princess bermata biru
Chapter #26

Memories: Bidadari Itu Terluka

Selain Bandung, Malang adalah kota kedua yang paling dicintainya. Malang adalah kota kelahirannya. Benar kata orang. Malang merupakan kota penghasil pria tampan dan wanita cantik. Ayahnya Chelsea menjadi salah satu buktinya.

Dua hari di kota apel itu ia habiskan untuk urusan pekerjaan dan keluarga. Hari pertama ia melakukan kunjungan kerja ke kantor cabang perusahaannya. Mengecek progres, laporan keuangan, dan saham. Rapat dengan anak buahnya yang diserahi tugas memimpin kantor cabang. Bertemu relasi bisnis.

Selesai dengan urusan kantor, dilanjutkan dengan ziarah ke makam beberapa anggota keluarganya yang telah meninggal di Pemakaman Kutobedah. Ia pun mengunjungi rumah lama tempat sepupu-sepupunya tinggal.

“Anton...senang melihatmu kembali. Tidakkah kamu berpikir untuk menetap di Malang bersama Alina dan Chelsea?” sambut mereka hangat.

Ya, berulang kali Anton ditawari untuk tinggal lagi di Malang. Namun ia menolaknya dengan halus. Meski mencintai kota cantik yang dikelilingi Gunung Semeru, Gunung Arjuno, Gunung Kawi Panderman, dan Gunung Kelud itu, Anton belum bisa kembali tinggal di sini. Ia punya alasan kuat untuk bertahan menetap di Bandung: Radio Carissa. Anton masih mencintai pekerjaannya sebagai penyiar.

“Kamu kan bisa pindah ke salah satu stasiun radio di sini,” bantah sepupunya.

“Tidak semudah itu. Lagi pula, aku juga punya satu program spesial yang kubawakan di Carissa.”

“Oh...maksudmu program galau bin baper itu? Shall, kan?”

“Iya.”

Penilaian sepupunya benar. Sharing About Love and Life (Shall), yang dibawakan Anton bisa membuat para pendengar terserang virus galau dan baper berjamaah. Terlebih program itu mengudara pukul sepuluh sampai dua belas malam. Waktu dimana orang-orang berada di puncak kesedihan, kesepian, dan kegalauan mereka.

“Tuh kan, nyebut namanya aja jadi baper. Udah baper, ditambah lagi laper. Ke Bakso Malang President yuk.”

Anton tertawa mendengarnya. Toh ia menerima juga ajakan sang sepupu.

Hari kedua Anton lewati bersama Chelsea. Mereka mengunjungi Jatim Park I dan II, Batu Night Spectacular, dan Cafe Coklat Klasik. Chelsea senang sekali pergi ke tempat-tempat itu bersama ayahnya.

Anton tak kalah senangnya. Ia bisa mengemudi lagi di ruas-ruas jalan raya Kota Malang yang dirindukannya. Menyetir mobil berplat N miliknya seperti dulu. Beruntung ia menginvestasikan satu buah mobil dan satu buah rumah pribadi di sini.

Chelsea tak henti memujinya dalam perjalanan. Bagaimana tidak, Anton hafal rute-rute di Kota Malang dengan baik. Ia tak memakai GPS saat menyetir. Ingatannya kuat sekali.

“Apa Ayah pernah tersesat?” tanya Chelsea polos.

“Alhamdulillah tidak pernah, Sayang. Ayah masih ingat semua rute di sini.” jawab Anton. Tersenyum menatapi ekspresi kagum di wajah putrinya.

“Wow...Ayah hebat.” desah Chelsea.

“Allah Maha Adil, Sayang.”

Anton memang memiliki kekurangan fisik. Penyakit Celiac dengan segala komplikasinya membuatnya mandul. Ditambah lagi, ia pernah kemoterapi dalam waktu lama. Efek obat kemoterapi sangat keras. Di balik kekurangannya, ia memiliki banyak kelebihan. Salah satu kelebihannya, ia mempunyai ingatan yang kuat dan IQ di atas rata-rata. Ditambah lagi wajahnya yang sangat tampan, suara bagus, dan hati baik.

**     

Lelah bepergian selama dua hari berturut-turut, Anton dan Chelsea beristirahat sejenak di rumah mewah mereka. Letaknya di kawasan elite Permata Jingga. Praktis, mereka tak perlu repot-repot booking hotel tiap kali pergi ke Malang.

“Sebentar lagi bulan Ramadhan ya, Ayah?” kata Chelsea membuka pembicaraan. Mengangkat cangkir kristal berisi susu, lalu meminumnya pelan-pelan.

Anton menyesap Earl Grey favoritnya pula. “Iya, Chelsea.”

“Chelsea boleh ikut puasa tahun ini?”

“Boleh. Asalkan Chelsea kuat dan jangan memaksakan diri.”

“Harusnya Chelsea yang bilang gitu sama Ayah.” Si gadis kecil berlesung pipi tertawa.

Anton mengelus rambut Chelsea. “Ayah kuat, Sayang. Insya Allah Ayah bisa.”

Hening sesaat. Chelsea menatap ayahnya dalam-dalam. Di matanya, Anton adalah sosok yang sempurna. Ia bisa menjadi ayah, guru, pembimbing, penasihat spiritual, sahabat, bahkan cinta pertama. Rupert Anton adalah cinta pertama Siti Afifah Chelsea Sabarina. Kelak jika ia sudah dewasa, ia ingin menikah dengan pria sebaik dan setampan Anton.

Bel pintu berdering. Kerutan kecil muncul di kening Chelsea. Siapa yang bertamu malam-malam begini? Mengganggu waktu quality time-nya dengan sang ayah. Sementara Anton tetap tersenyum, terlihat sangat tenang.

“Chelsea aja yang bukain pintu,” tukasnya, lalu berlari kecil ke ruang depan.

Pintu kaca terbuka. Chelsea terbelalak menatap tamunya. Refleks ia berteriak.

“Ayaaaah! Ada om-om jelek muka boros ayahnya David!”

Mendengar itu, sang tamu yang tak lain adalah Emilianus, memerah wajahnya. Bukan karena salah tingkah, tapi lantaran malu dan marah. Tersinggung hatinya diejek sedemikian rupa oleh anak perempuan secantik Chelsea. Bila kebanyakan orang terlihat menawan ketika wajahnya merona, hal ini tidak berlaku bagi Emilianus. Sebab ia berkulit gelap. Dapat dibayangkan bagaimana warna wajah dan kulitnya.

Anton terburu-buru mendekat. Tersenyum ramah pada Emilianus. Mempersilakannya masuk. Mantan Frater Kongregasi SMM itu melangkah masuk dengan wajah datar.

“Anakmu manis sekali ya?” komentarnya sarkastik.

“Maafkan putriku. Dia tidak bermaksud jahat. Dia hanya takut dan kesal padamu.” ujar Anton. Ia berpaling menatap Chelsea. Berkata lembut.

“Chelsea, ingat kata Ayah? Kalau salah, harus apa?”

“Minta maaf,” sahut Chelsea.

“Okey. Sekarang, minta maaf sama Om Emilianus.”

Diiringi senyum malu bercampur jengkel, Chelsea mengulurkan tangan. Meminta maaf. Emilianus membalas uluran tangannya.

Budaya meminta maaf telah lama diajarkan Anton pada Chelsea. Sebenarnya, Chelsea anak yang manis dan anggun. Hanya saja, ia tak suka pada orang-orang yang mengganggu waktu kebersamaannya dengan Anton atau Alina. Chelsea pun sangat pencemburu. Buktinya, ia cemburu pada David, anak kandung Emilianus, yang berpotensi merebut kasih sayang Anton dan Alina.

**     

“Kamu lembut sekali pada Chelsea. Begitukah cara mendidik anak yang baik?” selidik Emilianus.

“Emilianus, kamu perlu banyak belajar ilmu parenting. Selama anak bisa diberi tahu dengan cara yang lembut, buat apa menggunakan cara yang keras?” balas Anton retoris.

Fortuner putih itu melaju menyusuri ruas Jalan Terusan Rajabasa. Melewati STFT (Sekolah Tinggi Filsafat Teologi) Widyasasana. Emilianus terpaku memandangi almamaternya.

“Itu kampusmu, kan?”

Pertanyaan Anton kembali menyadarkannya. Menurutnya, Anton selalu bisa mengetahui apa yang ada di pikirannya. Seberapa tajamkah intuisi Anton?

“Iya.”

“Lalu, dimana Seminari Montfort?”

“Di Joyogrand.”

“Wow, Joyogrand? Aku baru ke sana tadi sore. Aku ajak Chelsea ke Coklat Klasik.”

“Aku jarang ke sana kecuali bila ada yang mentraktir atau mengajakku.”

Kunjungan Anton tak hanya seputar urusan pekerjaan atau keluarga. Ia ingin memberikan sesuatu pada Emilianus. Tepatnya memberi solusi untuk persoalan biaya hidup keluarga kecilnya. Emilianus pun bisa menginjakkan kaki lagi di Malang karena permintaan Anton.

“Sebelumnya, kamu pernah belajar ilmu bisnis?” Anton menanyai Emilianus setiba di kantor cabang perusahaannya.

“Sedikit pun belum pernah.” Emilianus menjawab dingin.

“Okey, tidak apa-apa. Kamu bisa mulai dari awal.” Anton tersenyum sabar.

Plan A dan plan B telah dipersiapkan Anton. Plan A, ia memberikan modal bisnis pada Emilianus dan memberinya kesempatan untuk memulai bisnisnya sendiri. Plan B, Anton mengajak Emilianus bergabung di perusahaannya. Kali ini Anton punya perencanaan yang lebih matang untuk membantu teman anehnya ini.

“Kamu tidak takut bisnismu hancur bila mengajak orang yang tidak berbakat sepertiku?” ucap Emilianus ragu setelah Anton memperkenalkan profil perusahaannya.

“Tidak. Asalkan kamu disiplin dan mau kerja keras, kamu pasti bisa.” kata Anton yakin.

Lihat selengkapnya