Abdul Rachman Saleh Airport, 7 p.m
Tak terbayangkan sebelumnya jika Chelsea bersedia berjalan bersama Emilianus. Bukankah ia selalu merasa kesal dan takut pada sahabat ayahnya itu?
Namun, pemandangan yang terlihat malam ini cukup mengejutkan. Chelsea melangkah di tengah-tengah, di antara Anton dan Emilianus. Anton menggandeng tangan kirinya, Emilianus menggandeng tangan kanannya. Trik apa yang digunakan Emilianus untuk memperbaiki hubungannya dengan Chelsea?
Melunaknya hati Chelsea semata bukan karena usaha Emilianus sendiri. Anton punya peran lebih banyak untuk meluluhkan hati putri cantiknya. Dengan lembut, ia memberi pengertian pada Chelsea. Memintanya untuk bersikap baik dan manis pada Emilianus. Ia pun membujuk Emilianus agar memahami Chelsea.
Pada akhirnya, dua orang itu berdamai. Emilianus mulai menyayangi dan memahami Chelsea. Begitu pun sebaliknya. Lihat saja kebersamaan mereka di bandara malam ini.
“Don’t lose your way...with each passing day.” Chelsea bernyanyi mengikuti alunan lagu dalam video yang ditunjukkan Emilianus dari tab-nya. Semalam Anton membelikan tab, laptop, dan iPhone untuk Emilianus.
“You’ve come so far, don’t throw it away.” Emilianus membalas nyanyian Chelsea.
Chelsea berpaling menatap Emilianus. “Liriknya benar kan, Om Emilianus?”
“Benar kok.”
Si gadis berlesung pipi tersenyum senang. Anton dan Emilianus ikut tersenyum menatapi ekspresi wajahnya.
“Dia lucu sekali. Cantik dan menggemaskan. Kamu beruntung memilikinya.” bisik Emilianus pada Anton.
“Iya, Emilianus. Aku beruntung memilikinya. Setelah Alina, dialah augerah terindah di hidupku,” balas Anton.
“Aku tak tahu apakah aku beruntung memiliki David. David kecilku sangat nakal,” kata Emilianus datar.
“Kamu beruntung mempunyai David. Dia anak baik. Percayalah, Emilianus.”
Seperti biasa, kata-kata Anton terdengar lembut dan menyejukkan bagi siapa saja. Emilianus yang dingin dan keras hati itu pun merasa tenang.
“Kamu baik sekali. Selalu berpikir positif dan menganggap semua orang baik.”
Proses check in selesai. Mereka melangkah ke boarding room. Emilianus melontarkan satu pertanyaan.
“Apa kamu senang punya anak perempuan?”
“Senang sekali. Islam sangat memuliakan anak perempuan. Rasulullah juga punya seorang putri, Fatimah Az Zahra. Beliau sangat menyayanginya. Seorang ayah yang menjaga, merawat, dan membahagiakan anak perempuannya akan mendapat pahala yang besar dan pintu-pintu surga terbuka untuknya. Begitu keyakinan dalam agama kami.”
Mendengar itu, Emilianus terenyak. Pantas saja Tesa jatuh cinta padanya, pikir Emilianus kagum. Anton adalah perpaduan nice guy, prince charming, dan perfect daddy. Emilianus perlu banyak belajar darinya.
Sejauh yang ia perhatikan, Anton tak pernah memukul, menampar, atau membentak Chelsea. Ia membesarkan dan mendidik Chelsea dengan kelembutan serta kasih sayang. Dididik dengan cara yang lembut dan sering dimanjakan tak membuat Chelsea menjadi anak nakal. Justru ia menjadi anak baik dan anggun. Kepribadian Chelsea tumbuh sesuai harapan Ayahnya.
**
“Jadi ... kamu pernah ditembak gay?” Emilianus tertawa geli. Bergerak gesit di bangkunya, memandang Anton tak percaya.
Kali ini, justru Anton yang tak percaya. Emilianus tertawa? Baru kali ini ia melihat mantan Frater Montfortan itu tertawa. Hanya karena dirinya bercerita pernah ditembak gay, reaksinya tak terduga.
“Iya, pernah. Aku juga heran kenapa ada gay yang menyukaiku.”
“Jelaslah! Kamu tampan! Penampilanmu modis! Sifatmu lembut dan simpatik! Kamu cocok jadi target empuk para gay!”
Beberapa menit pesawat take off, Anton dikagetkan dengan tawa pertama Emilianus. Namun ia senang juga. Setelah menjalani hidup penuh pergulatan dan kepahitan, akhirnya Emilianus menemukan alasan untuk berekspresi.
“Begitu ya? Aku cocok jadi gay?” kata Anton ringan.
“Sangat cocok. Bagaimana kalau kamu memang pernah melakukan hal-hal seperti itu? Apa Alina akan berhenti mencintaimu?”
Emilianus memasang ekspresi wajah serius saat mengatakan hal itu.
“Tidak. Apa pun keadaanku, Alina tetap mencintaiku. Aku sudah membuktikannya.”
“Oh ya? Mengapa kamu seyakin itu?” tantang Emilianus.
Sebagai jawaban, Anton kembali menceritakan potongan kenangannya.
**
Muhammad Naufal Judawisastra, tipikal dokter muda yang simpatik. Banyak suster dan pasien wanita yang menaruh hati padanya. Di samping karena sifat baik dan kecerdasannya, ia dikenal karena kisah perjuangannya yang fenomenal. Kedua orang tua Naufal-Tuan Ridwan Judawisastra dan Nyonya Lola Purnama Judawisastra-menginginkan anak mereka meneruskan bisnis keluarga. Mereka melarang Naufal menjadi dokter. Akan tetapi, Naufal berkeras meneruskan cita-citanya. Bahkan ia membiayai kuliahnya sendiri dengan bekerja paruh waktu dan mencari beasiswa. Sebab keluarganya tidak mau membiayai kuliah Kedokterannya. Allah menjawab doa dan keteguhan prinsip Naufal. Mantan model, aktor, dan penyiar radio itu berhasil menjadi dokter.
Pria tampan lebih senang berteman dengan pria lain yang juga tampan. Hal ini ada benarnya. Naufal yang rupawan itu berteman dengan Arif Anton yang tampan. Mereka berteman akrab sejak Naufal masih menjadi penyiar di Radio Carissa. Hubungan pertemanan itu masih berlanjut sampai Naufal menyelesaikan pendidikan spesialisnya. Percaya atau tidak, Naufal kini menjadi salah satu dokter yang mengobati Anton.
“Bukan Celiac yang mematikan, tapi komplikasi dari Celiac.” jelas Naufal pelan. Menatap lembaran copy scenen di depannya. Tak percaya dengan hasil pemeriksaan itu.
“Aku tahu. Sejauh ini aku telah mengalami Anemia, Osteoporosis, dan Infertilitas. Apa lagi sekarang?” tanya Anton.
Naufal tak tega, sungguh tak tega. Bagaimana ia harus menyampaikan vonis terpahit ini? Betapa bencinya ia pada kata vonis. Seolah ia hakim jahat yang menjadi kepanjangan tangan Allah. Naufal sempurna mematahkan harapan dan membobol kelenjar air mata pasiennya setelah mengucapkan vonis. Andai boleh memilih, ia takkan membuat pasiennya sedih.
“Dari hasil pemeriksaan ....”
Kata-katanya menggantung di udara. Batin Naufal dirasuki perasaan waswas. Ia takut membayangkan ekspresi wajah Anton setelah mendengar vonisnya.
“Kanker darah stadium tiga. Jenis ALL. Kelelahanmu akhir-akhir ini, penurunan berat tubuh, perdarahan, memar,dan batuk yang kamu alami belakangan ini bukan karena Celiac. Tapi itu gejala-gejala Leukemia.”
“Berarti, rasa sakit di perut dan tulang-tulangku juga gejala Leukemia?” tanya Anton lirih. Naufal menangkap getar kesedihan dan kecemasan dalam suaranya.
“Iya. Sejak awal, aku sudah curiga. Apa yang kutakutkan terjadi setelah hasil pemeriksaan ini keluar.”
Langit runtuh menimpanya. Dari sekian komplikasi, tak terbayang olehnya separah ini.
“Apa aku perlu kemoterapi?” Anton melanjutkan pertanyaannya setelah terdiam sejenak.
“Kamu harus melakukannya,” jawab Naufal tegas.
“Bila kemoterapiku gagal ... dan bila tindakan medis lainnya juga gagal...berapa lama aku bisa bertahan?”
Naufal terpaku. Rasa bersalah berkecamuk di hatinya. Mengapa pasien sering menanyakan umur? Sepenting apa angka-angka itu bagi mereka? Apa mereka ingin mengkalkulasi sisa umur yang diprediksikan dengan kesempatan mereka berbuat baik? Tidakkah jumlah umur yang tersisa dapat menurunkan semangat hidup mereka?
“Katakan saja, Naufal. Aku sudah siap mental dengan risiko terburuk,” bujuk Anton.
“Jika semua prosedur pengobatan tidak berhasil, paling lama ... satu setengah tahun.”
**
Terbawa kesedihan mendalam, Anton melabuhkan hati dan perasaannya di makam Tuan Adolf. Ia melangkah masuk ke pemakaman dengan menggenggam bunga dan mushaf Al-Qur’an. Ditaburkannya bunga itu pelan-pelan, diresapinya tiap helai bunga yang jatuh tepat ke atas pusara. Sebentar lagi ia akan menghuni tempat ini. Mungkin ia akan dimakamkan di samping makam Ayahnya.
Anton berlutut di depan pusara. Membacakan Surah Yasin. Memohon ketenangan dan kelapangan kubur untuk Tuan Adolf. Pria tampan berdarah Jawa, Jerman, dan Skotlandia itu teramat khusyuk dalam doanya.
“Ayah, bagaimana rasanya dijemput kematian? Sakitkah? Seperti apa wajah Malaikat Izrail?” Anton bergumam perlahan. Suaranya tercekat kesedihan dan kepiluan.
“Sebentar lagi aku akan menyusul Ayah. Tapi aku belum siap meninggalkan orang-orang yang kucintai di sini. Aku tak ingin meninggalkan Bunda dan Alina.”
Desiran angin membelai ujung rambut dan tepi pakaiannya. Anton belum beranjak. Ingin berlama-lama di samping nisan Tuan Adolf. Ia harus membiasakan diri berada di sini. Merasakan kesunyian di antara jasad-jasad orang yang sudah meninggal. Tak lama lagi, ia akan bergabung dengan puluhan jasad di tempat pemakaman ini.
“Aku sakit kanker, Ayah.” Anton melanjutkan curahan hatinya.
Sepotong kalimat itu terucap. Menorehkan luka yang teramat perih di hati. Vonis Naufal menghancurkan dirinya luar-dalam.
“Aku tak akan menceritakan penyakitku pada siapa pun. Sudah cukup aku membuat mereka sedih. Aku ingin membahagiakan mereka di saat terakhir.”
Ya Allah, Anton selalu memikirkan orang lain meski sedang sakit parah. Ia tak pernah memikirkan dirinya sendiri.