Anton dan Alina

princess bermata biru
Chapter #28

Memories: Sang Pemilik Hati Tak Pernah Tidur

Bisakah kisah seindah Snow White dan Prince Charming menjadi nyata? Tentu saja bisa. Lihat saja apa yang terjadi.

Kecupan hangat Alina di kening Anton seolah menjadi stimulus. Kata-kata sugestif yang dibisikkannya menembus relung jiwa Anton. Memasuki alam bawah sadarnya. Menyentuh kesadarannya dengan halus.

Air mata Alina meleleh. Satu tetesnya terjatuh tepat ke tangan kanan Anton yang digenggamnya. Pada saat bersamaan, kristal-kristal bening mengalir dari pelupuk mata Anton. Alina terperangah melihatnya.

“Anton, kamu mendengarku?” desisnya tak percaya. Mempererat genggamannya di tangan Anton.

Tak ada respon. Hanya air matanya yang terus mengalir. Alina pernah membaca sebuah kasus pasien yang mengalami koma. Sang pasien berhasil bangun dari komanya setelah mendengar kata cinta dari kekasihnya. Kekuatan cinta didukung campur tangan Allah sungguh luar biasa. Akankah kata cinta berhasil membangunkan Anton dari tidur panjangnya?

“Bangunlah, Anton. Bangunlah...” Alina memohon, setengah terisak.

Di belakangnya, Nyonya Anggun ikut menangis. Amat berharap mukjizat-Nya hadir menghampiri putra tunggalnya.

“Benarkah seorang pengidap Limfoma stadium tiga sudah tak punya harapan lagi? Bertahanlah, Anton. Kamu pasti kuat. Jangan tinggalkan aku. Jangan tinggalkan Bunda Anggun dan anak-anak asuhmu di asrama sekolah luar biasa itu.”

Tak hentinya Alina bicara pada Anton. Memberinya dorongan dan motivasi untuk bangun. Timbul sebersit ketakutan di hati kecilnya. Koma merupakan tidur panjang yang mengancam nyawa. Akankah nyawa Anton terancam bila ia terus terjatuh ke dalam keadaan koma yang tak berujung? Alina tak bisa membayangkan bagaimana rasanya hidup tanpa Anton.

Meski tak bisa merespons kata-kata Alina, kedua mata Anton terus mengalirkan air mata. Entah ia bersedih mendengar permintaan Alina atau ia merasakan kesakitan luar biasa di alam bawah sadar. Banyak kemungkinan bisa terjadi.

**    

Hingga pagi berikutnya, Anton belum juga sadar. Tetap terbaring tak bergerak seperti mayat hidup. Tekanan darahnya justru semakin menurun. Kondisi kesehatannya terus melemah.

Secercah harapan di hati Nyonya Anggun dan Alina belum padam. Mereka meyakini, kuasa Allah jauh lebih besar dibanding kuasa tim medis terhebat sekali pun. Kedua wanita cantik berbeda generasi itu tak pernah jauh dari sisi tempat tidur Anton. Merawatnya, mendampinginya, menjaganya sepanjang waktu. Letih di tubuh mereka tak lagi terasa. Semuanya demi Anton.

“Permisi...”

Diiringi derit pintu, seorang perawat melangkah masuk. Wajah perawat itu cukup cantik. Rambut panjangnya diikat dengan seutas karet gelang. Terdorong niat di dasar hatinya, Alina mengawasi perawat cantik itu lekat. Ia punya firasat buruk pada si perawat. Ilmu firasat Alina sudah cukup kuat.

“Ibu Anggun, Mbak Alina, saya minta izin untuk memandikan Mas Anton,” ucap perawat itu sopan.

Nyonya Anggun menjawab tegas. “Tidak usah, Zia. Biar saya saja yang melakukannya.”

Nampaknya, Nyonya Anggun tidak menyukai Suster cantik itu. Sama seperti Alina. Lalu, siapa tadi namanya? Zia? Mengapa Suster itu tidak mengenakan badge identitasnya?

“Saya analis kesehatan. Saya tahu prosedur memandikan pasien koma.” kata Nyonya Anggun lagi.

“Baiklah. Kalau Ibu perlu bantuan, saya ada di nurse room.”

Selepas kepergian Suster Zia, Nyonya Anggun beranjak mengambil peralatan yang diperlukannya. Alina ikut membantunya.

“Siapa dia, Bunda?” tanya gadis cantik berdarah Sunda-Belanda itu ingin tahu.

“Dia wanita yang pernah menyakiti Anton. Stanizia Lia Pratiwi. Takkan pernah Bunda izinkan Zia menyentuh anak Bunda.” Nyonya Anggun menyahut dingin.

Wanita yang pernah menyakiti Anton? Adakah wanita yang pernah menggores hati Anton dengan luka selain Tesa? Alina bertanya-tanya dalam hati.

Sebagai praktisi kesehatan, Nyonya Anggun tahu betul prosedur merawat pasien. Termasuk langkah-langkah memandikan pasien koma. Semua pengetahuan itu tak hanya bermanfaat di dunia kerja, melainkan untuk merawat putranya yang sedang sakit keras.

“Saya harus belajar banyak dari Bunda,” ujar Alina seraya mengikuti langkah pertama yang dilakukan Nyonya Anggun.

“Iya, Sayang. Terapkan ini saat kamu jadi istrinya Anton nanti. Saat dia sakit, kamu harus bisa merawatnya.”

Sepasang mata biru kobalt Alina meredup. Masih adakah harapannya menjadi pendamping hidup Anton? Dapatkah ia menemani Anton di sisa hidupnya sebagai seorang istri?

Kran wastafel dinyalakan. Nyonya Anggun mencuci tangannya. Di sela-sela kegiatannya membasuh tangan dengan air dan sabun, wanita cantik berusia setengah abad itu menjelaskan.

“Kamu tahu, Alina? Tujuan seorang petugas kesehatan memandikan pasiennya yang sedang koma untuk mencegah infeksi dan membuat pasien lebih nyaman.”

“Saya paham, Bunda.”

Selesai mencuci tangan, Nyonya Anggun meletakkan peralatan yang diperlukannya dalam jangkauan. Baki beralas, sabun, beberapa buah handuk, washlap, handscoon, dan baskom plastik berisi air hangat. Ergonomis, pikir Alina. Memandangi peralatan dan cara kerja Nyonya Anggun.

“Jangan sampai penyakit Anton bertambah parah karena infeksi. Kita harus menjaganya dari risiko itu.” Nyonya Anggun menerangkan. Alina bergerak ke sisinya. Mencuci tangan, lalu memakai handscoon. Siap membantu ibu dari pria yang dicintainya.

“Letakkan handuk ini di bawah kepalanya, Sayang.” instruksi Nyonya Anggun seraya menyerahkan selembar handuk bersih.

Alina menurut. Diletakkannya handuk itu di bawah kepala Anton. Saat itulah ia menyadari sesuatu. Dalam keadaan koma, Anton terlihat sangat rapuh. Seolah jaraknya hanya beberapa inci dengan malaikat maut. Ya Allah, benarkah langkah Izrail semakin dekat untuk melepaskan nyawa Anton dari raga? Sungguh, Alina belum siap kehilangan Anton.

Dengan lembut, Nyonya Anggun mencuci wajah putranya. Membersihkannya sehati-hati mungkin dengan washlap. Lirih ia berbisik.

“Kamu tetap tampan dalam keadaan apa pun, Sayang.”

Lihat selengkapnya