Anton dan Alina

princess bermata biru
Chapter #30

Lupakah Kamu?

Terindah, terindah

Masa bersamamu

Meski hanya sekejap oh juwita

Kurasa kurasa

Kau istimewa

Buatku merasa

Tak cukup sanggup lagi aku berkata

Sungguh kaulah seorang

Bidadari yang kan selalu kukenang (Calvin Jeremy-Terindah).

**    

Chelsea adalah bidadari kecilnya. Memanjakan sang bidadari kecil, itulah yang sedang dilakukan Anton siang ini. Sejenak rehat dari rutinitas pekerjaan di kantor, mengajak Chelsea jalan-jalan, lalu membelikannya boneka yang ia sukai. Tak tanggung-tanggung, boneka Teddy Bear raksasa berwarna pink itu dibandrol dengan harga empat ratus ribu. Nominal yang kecil bagi ayah gadis kecil itu.

“Terima kasih, Ayah. Chelsea suka boneka ini.” ujar Chelsea, tersenyum cerah. Menampakkan lesung pipinya. Menggemaskan. Cute.

“Sama-sama, Sayang.”

Banyak orang tua lain mungkin bertanya-tanya, apakah tindakan Anton membelikan Chelsea barang-barang mahal berlebihan? Anton punya rasionalisasi atas tindakannya. Pertama, Chelsea adalah putri satu-satunya. Putri yang sangat ia harapkan meski bukan darah dagingnya. Kedua, Anton tak ingin menyia-nyiakan sedetik pun waktu yang dimilikinya untuk menyenangkan Chelsea. Umur manusia siapa yang tahu? Terlebih dengan kondisinya yang jauh dari kata sehat. Penyakit Celiac dengan beberapa komplikasinya membuat Anton tak yakin ia bisa hidup lebih lama. Umurnya mungkin tinggal sedikit lagi. Selama masih ada waktu, ia akan melakukan apa saja demi kebahagiaan putri cantiknya. Ketiga, Anton memang mampu membelikan semua barang mahal itu. Apa salahnya ia memanjakan Chelsea jika ia memang mampu? Toh bukan sebuah dosa ketika seorang ayah membelikan sesuatu untuk anaknya.

“Koleksi boneka Chelsea tambah lagi,” kata Chelsea seraya menatapi boneka berukuran ekstra besar barunya.

“Iya, Sayang. Coba Chelsea tunjukkan sama Bunda. Bunda pasti suka.” Anton menimpali. Tak puas-puas memandangi wajah imut anak perempuannya. Bukankah Anton selama ini ingin memiliki anak perempuan? Allah menjawab keinginannya.

“Bunda dimana, Ayah?”

“Di food court, Sayang.”

Menggandeng tangan Chelsea, Anton mengajaknya ke food court. Menaiki eskalator, sesekali berpapasan dengan para pengunjung pusat perbelanjaan lainnya. Entah mereka sekedar window shopping atau berniat membeli sesuatu.

“Hei...anak Bunda keliatannya senang ya? Ooooh...itukah bonekanya? Cantik sekali, Sayang.” sambut Alina. Menunjuk Teddy Bear dalam pelukan Chelsea.

“Chelsea sendiri yang pilih,” jelas Anton. Alina mengangguk, tersenyum kecil.

Waktu makan siang telah tiba. Mereka memesan ice matcha, Earl Grey,  dan melted salami chicken. Terlihat Chelsea sangat menikmati kebersamaannya dengan Anton dan Alina. Ia bisa bermanja-manja tanpa intervensi siapa pun. Entah sengaja atau tidak, Chelsea kesulitan memotong fillet ayamnya. Anton dan Alina rupanya tak bisa melihat putri mereka kesulitan melakukan sesuatu. Mereka pun membantu Chelsea. Mengajarinya menggunakan pisau dan garpu dengan benar. Sekali-dua kali menyuapinya.

“Bagaimana perasaanmu, Alina?” tanya Anton di sela membantu Chelsea.

Wanita keturunan Sunda-Belanda itu paham arah pertanyaan Anton. Minggu ini adalah minggu pertama liburnya sejak resmi mengundurkan diri sebagai psikolog. Ia mesti menganalisis perasaannya sendiri. Dan mempertimbangkan ulang pilihannya.

“Aku merasa bahagia, Anton.” jawab Alina.

“Are you sure?”

“Yes.”

“Kini aku semakin mantap pada pilihanku.”

Sepasang mata teduh milik pria tampan itu melebar tak percaya. Telah yakinkah Alina dengan pilihannya? Diulurkannya tangan. Lembut digenggamnya tangan Alina.

“Sebaiknya kamu pikirkan baik-baik, Sayang. Aku tak ingin kamu salah langkah. Pikirkan lagi...ya?” bujuk Anton lembut.

Alina bergumam mengiyakan. Ada baiknya saran Anton dituruti. Karier dan cinta sama-sama penting. Pada akhirnya, Alina tetap harus memilih. Untuk menentukan pilihannya, perlu pertimbangan matang.

Tepat ketika mereka selesai makan, ponsel Anton berdering. Dalam hati Anton menyesali kealpaannya mematikan ponsel. Seharusnya ia menonaktifkan benda canggih itu saat tengah quality time bersama keluarga kecilnya. Terpaksa ia menjawab telepon itu. Ternyata dari Chika.

“An, ada anak kecil datang ke kantor. Dia mencarimu.” kata Chika di seberang sana.

“Anak kecil? Siapa, Chika?”

“David. Dia terus menangis sejak tadi, An. Kasihan sekali.”

David? Sekejap saja Anton langsung paham. Sesuatu yang buruk telah terjadi. Seorang anak membutuhkan pertolongannya.

“Okey, Chika. Aku ke kantor sekarang ya? Bye.”

Sejurus kemudian Anton menggamit lengan Alina. Sebentar menjauhi Chelsea. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Alina pun mengerti. Anton cukup adil. Ia akan membantu David tanpa menyakiti perasaan Chelsea. Biar bagaimana pun, Chelsea masih merasa cemburu dan tidak aman tiap kali nama David disebut-sebut. Di mata Chelsea, David berpotensi merebut kasih sayang Ayah-Bundanya.

“Kamu bisa ajak dia ke rumah Muti atau Andini.” Anton mengakhiri dengan sebuah solusi.

Alina menggelengkan kepalanya. “Tidak untuk Muti. Dia dan Pierre sedang pergi ke Bali. Mengambil anak yang akan mereka adopsi.”

“Oh iya, benar. So, alternatif satu-satunya adalah Andini. Setelahnya, kamu bisa bantu aku, kan?”

“Of course.”

Usai berdiskusi singkat, keduanya kembali ke meja. Anton menjelaskan sesuatu pada Chelsea. Mengecup keningnya, lalu bergegas pergi. Sejenak Chelsea menatap sedih kepergian ayahnya. Pelan menyentuh keningnya. Beberapa detik lalu, Anton menyentuh kening mulus itu dengan bibirnya. Chelsea masih bisa merasakan wangi susu, Earl Grey, dan Calvin Klein. Wangi Anton yang sangat khas. Satu detail yang selalu melekat dalam ingatannya.

**     

Kemilau purnama tak mampu menerpa

Derita di wajah kecil tak berdaya

Tersirat harap, di batas waktu

Lihat selengkapnya