Anton dan Alina

princess bermata biru
Chapter #31

Memories: Memanggil Kenangan

“Hei Bule...kita main yuk.”

“Iya, Hari Minggu gini enaknya main di taman.”

Di masa kecilnya, Alina mendapat panggilan khas dari teman-temannya. Ia terbiasa dipanggil seperti itu. Kenyataannya, Alina memang berdarah campuran. Darah Sunda mengalir di tubuhnya, diwarisi dari Mummy. Sedangkan darah Belanda menurun dari Daddy. Belum lagi warna mata birunya yang sangat berbeda dari teman-temannya. Membuat mereka punya alasan kuat untuk memanggilnya begitu.

Alina suka segala sesuatu yang tak biasa. Ia senang tampil beda. Ia bahkan mensyukuri bagian dari tubuhnya yang berbeda dari anak-anak perempuan Indonesia seusianya. Perbedaan itu membuat Alina mudah dikenali dan sulit dilupakan. Lebih baik tampil beda dari pada meniru gaya orang lain. Begitu prinsip Alina.

“Ayo kita ke taman...”

Suara-suara itu terdengar dari halaman depan. Alina tak menghiraukannya. Gadis kecil delapan tahun itu berbaring saja di ranjang empuknya. Merapatkan selimut, menahan rasa dingin yang menjalari sekujur tubuhnya.

“Alina? Tumben masih tidur. Ada teman-temanmu di depan.”

Mummy membuka pintu kamar. Tersenyum hangat. Mendekati putri bungsunya, lalu mengecup dahinya.

“Alina pengen istirahat, Mummy.”

“Kamu sakit, Sayang?”

Alina menggelengkan kepalanya. Tak senang dikira sakit. Ia anak yang kuat. Tak mudah sakit.

“Mau ikut ke supermarket? Ada beberapa barang yang harus Mummy beli.”

“Alina di rumah aja.”

“Okey. Alina mau dibeliin apa? Coklat? Es krim? Permen?”

“Nggak usah.”

Firasat Mummy mulai tak enak. Sebagai seorang ibu, ia tahu ada yang aneh dengan putri cantiknya. Tidak biasanya Alina menolak ajakan keluar rumah. Bukankah Alina anak yang aktif dan cepat bosan bila hanya di rumah saja?

“Ya sudah. Mummy pergi dulu ya?”

Sekali lagi diciumnya kening Alina. Langkah kakinya teredam karpet tebal saat ia meninggalkan kamar.

Ditinggalkan sendirian justru membuat Alina sedih. Sepertinya kondisi fisiknya menurun. Mau tak mau Alina mengakui hal itu.

“Mummy...cepat pulang. Alina nggak mau sendirian.” lirihnya.

Hanya Mummy anggota keluarga yang paling dekat dengannya. Selain pada Mummy, pada siapa lagi Alina harus mengeluh dan mengadu? Daddy tak bisa diharapkan. Satu-satunya lelaki di rumah itu terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Workaholic, itulah julukan yang melekat kuat dalam diri Daddy. Tenggelam dalam urusan pekerjaan membuat Daddy jarang mengimami shalat dalam keluarganya sendiri. Monna dan Karin? Alina tak pernah dekat dengan kedua kakaknya. Lagi pula, perbedaan umur mereka terlalu jauh. Monna dan Karin pun sibuk dengan dunianya sendiri. Seakan lupa kalau mereka punya adik.

Satu jam kemudian, terdengar deru mobil memasuki halaman. Itu pasti Mummy, pikirnya senang. Gadis kecil berpiyama pink itu beranjak bangkit dari ranjang. Siap menyambut Mummy-nya dengan senyuman cerah dan pelukan. Itulah yang rutin dilakukannya tiap kali Mummy pulang ke rumah.

Sepasang kaki mungil itu bergerak lincah. Tiga menit kemudian, Alina tiba di ruang tamu. Pintu terbuka. Sosok Mummy-nya muncul di ambang pintu. Detik berikutnya, Alina merasakan hidung dan ujung bibirnya basah. Apa ini? Ada cairan hangat mengalir turun dari lubang hidungnya. Cairan berwarna merah itu...

“Astaghfirulah!” Mummy berseru tertahan. Panik melihat hidung putrinya berdarah.

Menjatuhkan tas-tas belanjanya di lantai, wanita berambut pendek sebahu itu menggendong Alina. Mengabaikan protes lemah yang terlontar dari bibir si kecil. Berteriak memanggil Daddy. Beruntung saat itu Daddy ada di rumah. Cepat-cepat mereka membawa Alina ke rumah sakit.

**    

“Anak Ibu dan Bapak hanya mimisan biasa. Tidak perlu khawatir,” kata sang dokter Pediatri menenangkan.

“Benar Alina tidak apa-apa, Dokter?” tanya Mummy memastikan.

“Benar, Bu. Hanya saja, Alina perlu hati-hati. Jaga kesehatan dan jangan terlalu lelah.”

Lihat selengkapnya