Menjenguk orang sakit dan memberikan semangat bukanlah hal baru untuk Alina. Ia terbiasa melakukannya sejak bertahun-tahun lalu. Kini setelah ia mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai Psikolog dan Hypnotherapyst, kegiatan itu tetap dilakukannya.
Siang ini, ia menjenguk mantan kliennya. Mantan kliennya itu seorang wanita berumur 35 tahun yang sempat menderita depresi setelah kehilangan keluarganya dalam kecelakaan pesawat. Si wanita dirawat di Rumah Sakit Boromius karena terserang Pneumonia. Terdorong rasa empati yang dalam, Alina datang menjenguknya. Membawakannya parsel berisi buah-buahan segar. Merekomendasikan dokter terbaik untuk menyembuhkan penyakitnya. Bahkan membantu biaya perawatan rumah sakit. Berhenti sebagai praktisi kesehatan tak membuat jiwa sosial Alina mati. Sebaliknya, ia semakin intens membantu orang lain.
Kunjungannya telah selesai. Semua biaya rumah sakit lunas. Wanita cantik berdarah Sunda-Belanda itu melangkah menyusuri koridor. Waktunya menemui belahan jiwanya. Barangkali mengajaknya makan siang bersama di restoran favorit bisa jadi pilihan.
“Hei...kamu Alina Maya, kan?”
Suara alto seorang wanita memanggilnya dari belakang. Refleks Alina menghentikan langkah. Membalikkan tubuh, ia berhadapan dengan seorang perawat. Cantik, itulah kesan pertama Alina saat melihat wajah dan penampilan si perawat. Rambutnya panjang dan wajahnya cukup cantik. Badge yang terpasang di dadanya bertuliskan Stanizia Ria Pratiwi.
“Iya betul. Kenapa, Suster Stanizia?” balas Alina sopan.
Sang Suster tersenyum kecil. “Panggil Stanizia aja. Boleh minta foto? Dari dulu saya ngefans sama kamu. Apa lagi waktu kamu fashion show dengan baju-baju karya desainer Malik Moestaram itu.”
Kali ini Alina ikut tersenyum. Meski sudah lama vacum dari dunia model, ia masih sering bertemu fans yang meminta foto. Ia menepati permintaan Stanizia.
Mula-mula mereka berfoto bersama. Lalu Alina berfoto sendiri. Itu sesuai permintaan Stanizia. Kedua foto itu tersimpan di ponsel sang perawat cantik.
“Oh ya, kenapa kamu nggak jadi model lagi?” tanya Stanizia ramah.
“Saya ingin fokus dengan keluarga. Sekarang saya sudah menikah dan punya anak. Sudah waktunya saya memberi cinta dan waktu hanya untuk keluarga.” Alina menjawab disertai seulas senyuman manis. Wajah Anton dan Chelsea terbayang di pelupuk mata. Merekalah dua permata hidupnya.
“Ya, sudahlah. Itu pilihanmu. Kabarnya, kamu menikah dengan pengusaha dan penyiar radio, kan? Pernikahanmu sangat tertutup dari jangkauan publik. Kamu sengaja menyembunyikannya ya?” tebak Stanizia.
“Iya, saya menikah dengan pengusaha. Tapi sekarang dia bukan penyiar radio lagi. Dia sudah jadi presenter TV. Menyembunyikan? Tidak juga. Saya dan Anton hanya ingin hidup tenang.”
Tanpa sengaja Alina menyebut nama pendamping hidupnya. Laki-laki istimewa yang telah ia pilih. Dari Antonlah Alina belajar tulusnya mencintai. Mendengar nama itu, roman muka Stanizia berubah. Ekspresinya berubah tegang.
“Tadi...siapa nama suamimu?” Stanizia terbata, menunduk menghindari pandangan Alina.
“Anton. Lengkapnya Rupert Anton.” sahut Alina ringan.
“Ya Tuhan...!”
“Kenapa? Ada yang salah dengan suamiku?”
Sesaat Stanizia terdiam. Semula tegang, wajahnya berubah muram. Ditatapnya Alina lekat-lekat.
“Saya sudah banyak mendengar pemberitaan tentang Mas Anton di media,” Stanizia memulai, terlihat ragu.
Alina termenung. Mas Anton? Sejak kapan ada perempuan yang memanggil suaminya dengan sebutan itu?
“So what?”
Stanizia menarik nafas dalam-dalam sebelum meneruskan. “Sampaikan permintaan maafku padanya.”
Kebingungan Alina makin bertambah. Stanizia buru-buru minta diri. Langkahnya begitu cepat seolah ia dikejar Death Eaters utusan Lord Voldemort dalam serial Harry Potter. Alina mengejarnya. Tak mudah mengingat ia memakai highheels setinggi sembilan senti.
“Katakan pada saya,” perintah Alina tegas.
“Apa yang telah kamu lakukan pada Anton?”