Bukannya Anton ingin menutup hati, bukannya Anton ingin mendustai belahan jiwanya. Ia hanya menjaga perasaan Alina. Jangan sampai Alina sakit hati hanya karena potongan masa lalunya.
“Tapi kamu harus menunjukkannya, Anton.” bujuk Alina sekali lagi. Mengelus lembut tangan kiri pria pendamping hidupnya.
“Sudah tidak penting lagi, Alina. Apa gunanya kamu tahu?” bantah Anton halus.
“Aku perlu tahu. Aku istrimu, belahan jiwamu. Kesedihanmu kesedihanku juga. Lukamu lukaku juga. Bahagiamu bahagiaku juga. Tak boleh lagi ada rahasia di antara kita.”
Entah Anton harus sepakat atau tidak. Betulkah dalam sebuah pernikahan tidak boleh ada rahasia? Sepertiga malam itu teramat hening. Hawa dingin menyerbu tajam, sedingin hatinya. Hatinya mendingin lantaran kenangan yang dibuka paksa oleh Alina.
Wanita berdarah Sunda-Belanda itu berkeras mencari tahu lembaran kisahnya dengan Tesa. Sulit bagi Anton untuk menolak.
“Baiklah, jika kamu memaksa.”
Setelah berkata begitu, Anton membuka laci meja. Mengeluarkan kotak kecil berlapis beludru. Alina menatapi kotak itu penasaran. Anton membuka tutupnya, memperlihatkan sebuah buku mungil bersampul keemasan.
“Di buku ini aku menyimpan semua kenanganku dengan Stanizia,” jelasnya lugas.
“Terima kasih, Sayang. Aku lihat ya?”
Ia tahu, banyak wanita yang menaruh hati pada Anton. Pastilah tertinggal berlarik kenangan di antara sejumlah wanita yang pernah berharap lebih pada suaminya. Bukan hanya Tesa, tetapi juga Stanizia. Alina mengambil buku mungil itu. Membukanya halaman demi halaman. Menelusuri lembar-lembar kenangan.
**
When man was lost and could not seeYou shone the light to set us free
You broke the chains of slavery
Everyone is equal before the Almighty
We say salam to Al-Amin (the trustworthy one)
You guided us to the perfect deen (way of life)
Let’s say
Allah Allah ya Allah
Muhammad ya Rasulullah
Allah Allah ya Allah
Muhammad ya Habib Allah
Allah Allah ya Allah
Muhammad ya Rasulullah
Allah Allah ya Allah
Muhammad ya Habib Allah
Your noble face always had a smile
You walked with grace gentle as a child
You taught us to be a mercy to mankind
To spread God’s peace throughout all the lands
We say salam to Al-Amin
You guided us to perfect deen
Let’s say...(Irfan Makki-Al Amin).
Langkah pertama memasuki OSIS Room, ia disambut alunan lagu pujian kepada Nabi Muhammad. Senyuman merekah di wajah tampannya. Langsung saja ia bernyanyi mengikuti lantunan suara indah Irfan Makki.
“You guided us to the perfect deen. Let’s say...”
Suaranya bagus, empuk, dan merdu. Sejak kecil, pemuda tampan itu senang menyanyi dan hafal banyak lagu. Lebih-lebih ia mantan penyiar cilik di Bercahaya FM. Tentu pengetahuan musiknya sangat baik.
“Aduh, siapa yang setel lagu nasyid? Subhanallah ya...shaleh sekali. Kamu, An?”
Suara sopran diikuti derap langkah sepatu menyedot habis perhatiannya. Refleks Anton berbalik ke pintu. Chika baru saja tiba. Membawa setumpuk tinggi kertas.
“Bukan. Sini kubantu,”
Tanpa diminta, Anton membantu Chika membawa kertas-kertasnya. Sekilas membaca, ia langsung tahu jika itu surat undangan.
“Thanks. That’s very kind of you, An.”
Chika tersenyum manis. Sejurus kemudian, ia menghempaskan tubuh di kursi. Melepas penat di ruangan favoritnya ini. Anton duduk di sampingnya.
“Itu surat undangan buat perpisahan, kan?” tanyanya.
“Iya, An. Bagus kan?”
Meski sudah kelas 12, bukan berarti semangat berorganisasi hilang. Itulah yang ditunjukkan Anton, Chika, dan teman-teman mereka sesama pengurus OSIS. Masa jabatan mereka telah habis. Adik-adik kelas yang menggantikan. Namun, mereka masih mengurus sebuah event bersama: perpisahan. Event yang didesain mewah dan elegan itu sudah direncanakan selama berbulan-bulan.
“Wah, kalian suka lagu ini juga ya?”
Ketiga kalinya, pintu terbuka. Nico masuk bersama teman-teman mereka yang lain. Chika mengangkat wajah, menatapnya tanpa kedip.
“Oooh...jadi kamu yang pasang lagu itu? Nico mendadak alim nih?” komentarnya.
“Kok mendadak sih? Aku udah alim dari sananya. Sebelum lahir juga udah jadi anak alim.” sanggah Nico tak rela.
“Yee...alim apaan? Tadi pagi yang kabur dari shalat Dhuha siapa?”
Perkataan Chika disambut tawa mereka. Nico merengut. Siap melempari Chika dengan pensil dan sepatu.
“Nggak apa-apa kabur pas shalat Dhuha. Asal jangan kabur dari kepanitiaan perpisahan,” timpal Arina dan Ibnu nyaris bersamaan.
“Nggak maulah! Tenang aja.”
“Assalamualaikum. Mati aku hari ini! Mati!”
Datanglah orang terakhir: Muti. Gadis berdarah India itu terlihat shock dan letih. Wajahnya kusut. Anton bergegas menghampirinya.
“Dari mana saja kamu, Muti?” Sambil melontarkan pertanyaan, ia menuntun sepupu cantiknya itu duduk di kursi.
“Survei ke Hotel Jayakarta. Mana mobilku ditabrak lagi!” sahut Muti histeris.