Anton dan Alina

princess bermata biru
Chapter #38

Selamat Jalan, Stevani

Mereka keluarga yang unik. Baik Anton, Alina, maupun Chelsea sama-sama pecinta kuliner. Mereka mudah bosan dengan varian makanan yang itu-itu saja, dan selalu ingin mencoba jenis makanan terbaru. Western food adalah menu favorit mereka. Namun, bukan berarti mereka bertiga tidak menyukai makanan Indonesia. Menjadi keluarga berpunya dengan banyak uang membuat Anton, Alina, dan Chelsea bisa memuaskan keinginan eksplorasi kuliner mereka. Setidaknya mereka punya budget untuk makan di luar dan membeli bahan-bahan makanan mahal berkualitas tinggi untuk eksperimen memasak di rumah. Apa pun jenis makanannya, asalkan halal dan bukan makanan yang menjijikkan, pasti mereka coba. Makan terbatas dan seadanya bukanlah gaya hidup mereka.

Seperti hari ini. Mereka sahur dengan fettucine fra diavolo. Bumbu dan rempah yang dipakai untuk membuat saus fra diavolo sebenarnya tidak jauh berbeda dengan bolognaise. Hanya saja, bolognaise menggunakan daging cincang sebagai bahan dasarnya. Sedangkan fra diavolo menggunakan bahan dasar tomat, cabai, dan beberapa rempah khas lainnya seperti rosemarry, origano, thyme, sage, dan basil.

“Sausnya enak ya, Sayang. Katanya, saus ini juga bisa untuk seafood ya?” komentar Anton.

Setelah menelan suapan fettucine-nya, Alina menjawab. “Iya. Tadi aku pakai Italian mixed herbs juga.”

“Pantas saja. Aroma harumnya sangat khas. Bukannya Italian mixed herbs di pantry kita sudah habis minggu lalu?”

“Kemarin aku beli lagi. Agak sulit menemukannya, Anton. Aku harus keliling beberapa supermarket besar untuk mendapatkannya. Langsung saja kubeli tiga botol untuk persediaan. Aku takut kesulitan membelinya lagi kalau aku kehabisan nanti.”

“Ya, lebih baik begitu. However, kita sering memakai Italian mixed herbs saat membuat pizza, sup, dan olahan daging lainnya.”

Di seberang meja, Chelsea tersenyum saja memperhatikan pembicaraan Ayah-Bundanya. Ia senang sekali bisa menjalani Ramadhan dengan Anton dan Alina. Semula, ia takut Ramadhan tahun ini tak bisa lagi berkumpul bersama keluarga kecilnya mengingat kuatnya badai permasalahan yang melanda. Allah Maha Penyayang. Ia tak membiarkan Anton, Alina, dan Chelsea terpisah dalam waktu lama.

“Kamu lebih suka bakmi goreng Jawa atau pasta?” Tetiba saja, Alina melempar pertanyaan. Diam-diam ingin mengetes pria pendamping hidupnya itu.

“Aku suka dua-duanya.” jawab Anton.

“Tidak, kamu harus pilih satu.” Alina berkeras. Tak mau kalah. Ia tak mau mendengar jawaban normatif semacam itu.

“Alina Sayang, kamu tahu kan aku lahir dan pernah tinggal beberapa tahun di Malang? Ada darah Jawa yang kuwarisi dari keluarga Bundaku. Tapi aku juga punya darah Jerman dan Skotlandia dari keluarga Ayah. Itu membuatku mencintai segala sesuatu yang berasal dari Jawa dan Eropa. Termasuk kulinernya. So, aku sama-sama menyukai pasta dan bakmi goreng Jawa. Jika kamu bertanya apa aku lebih suka ramen atau bakmi goreng Jawa, barulah aku akan jawab kalau bakmi goreng Jawa lebih kusukai.” jelas Anton diplomatis. Membuat Alina tak berkutik.

Melihat raut wajah pasrah Alina, Anton dan Chelsea tertawa. Rupanya Anton belum puas. Ia pun ikut melontarkan pertanyaan.

“Sekarang aku tanya. Jika di depanmu ada surabi dan pancake, manakah yang lebih dulu kamu makan?”

Alina kaget mendengarnya. Sejenak berpikir-pikir, ia menjawab.

“Surabi.”

“Kenapa?”

“Aku ini orang Sunda. Harus mencintai kuliner Sunda juga.”

“Tapi kamu kan punya darah Belanda juga.”

“Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Aku memang mewarisi darah Belanda dari Daddy. Tapi, seluruh hidupku kuhabiskan di tanah Sunda. Aku ke Belanda hanya untuk berlibur. Tradisi dan kuliner Sunda sudah melekat kuat dalam diriku.”

Belum sempat Anton menanggapi, Chelsea mengalihkan perhatiannya. Terlihat gadis kecil berlesung pipi itu menyisihkan porsi makanannya.

“Kenapa makanannya nggak habis, Sayang?” tanya Anton pada putrinya.

“Chelsea mau kasih makanan ini buat Stevani sama Justina.” sahut Chelsea dengan wajah innocent-nya.

“Oh, ambil saja porsi yang baru. Pastanya masih ada beberapa porsi lagi kok. Bunda ambilkan ya?” tawar Alina. Bangkit dari kursinya, lalu mengambilkan dua porsi fettucine. Menempatkannya dalam dua lunchbox.

**    

Meski homeschooling, bukan berarti Chelsea tak punya teman. Ia mendapatkan banyak teman dari kegiatan les piano, les modeling, dan tempat belajar tahfidzh Qur’an yang diikutinya. Ia seperti Anton dan Alina yang pandai bergaul serta disukai teman-temannya. Chelsea tergolong mudah bersosialisasi.

Akan tetapi, ada dua orang temannya yang tidak berasal dari semua kegiatan itu. Mereka tak lain Stevani dan Justina. Keduanya anak dari petugas cleaning service di gedung tempat Chelsea les piano. Tidak seperti para peserta les lainnya yang sombong dan lebih suka berbaur dengan sesama temannya yang kaya, Chelsea mau berteman dengan dua anak itu.

Stevani dan Justina memiliki kondisi yang kurang beruntung. Keduanya terlahir dari keluarga miskin. Ibu mereka adalah single parent. Stevani lumpuh sejak lahir. Sedangkan Justina tidak mempunyai tangan kiri. Kekurangan fisik itu makin menguatkan alasan para peserta les piano untuk menjauhi mereka. Stevani dan Justina bersekolah di Sekolah Luar Biasa dengan bantuan dana dari Romo Paroki dan sebuah yayasan sosial.

Turun dari mobil, Chelsea berlari mencari dua sahabatnya. Gadis cantik nan periang ini seakan punya stok energi yang tak ada habisnya untuk bergerak kesana-kemari dan berbuat kebaikan. Bahkan orang dewasa pun kalah lincah darinya di saat bulan puasa seperti saat ini.

“Halo...tebak aku bawa apa buat kalian?” sapa Chelsea.

“Apa itu?” Justina penasaran, mengintip isi kantong kertas di tangan Chelsea.

“Ini pasta buat kalian!” Chelsea berseru senang. Menyerahkan kantong kertas bawaannya pada Stevani dan Justina.

“Wah, makasih banyak. Kayaknya enak.” ucap Stevani dan Justina bersamaan.

“Sama-sama.”

Setiap kali les piano, Chelsea datang setengah jam lebih awal. Agar bisa bermain dengan dua sahabatnya ini.

Chelsea pun mengajak Stevani dan Justina jalan-jalan di taman. Tanpa ragu, Chelsea mendorong kursi roda Stevani. Ia sudah terbiasa melakukannya. Meski kursi roda itu berat, Chelsea tak pernah keberatan untuk mendorongnya. Membantu Stevani berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Justina melangkah di sisi mereka, seberkas senyuman menghiasi wajah kurusnya.

Dari kejauhan, Anton mengawasi semua yang dilakukan putrinya. Sesuatu yang lembut menyentuh hatinya. Chelsea benar-benar mirip Anton. Pria tampan itu seakan melihat kembali potret masa kecilnya dalam diri Chelsea. Waktu kecil, ia juga punya dua sahabat yatim dan miskin. Namanya Steven dan Yosef. Steven tidak bisa berjalan. Sama seperti Chelsea, Anton selalu ada untuk mendorong kursi roda Steven. Mengajaknya jalan-jalan dan bermain. Menolongnya dalam banyak hal. Perbedaan status sosial dan keyakinan tidak membuat Anton mengambil jarak dengan Steven serta Yosef.

“Ya Allah, aku bersyukur memiliki Chelsea. Terima kasih Kau telah mempercayakanku untuk merawat dan membesarkannya. Aku memang terkena penyakit yang membuatku tidak bisa memiliki keturunan. Tapi kehadiran Chelsea adalah ganti yang begitu besar nilainya. Dia adalah putriku yang sebenar-benarnya, darah dagingku, buah hatiku, dan bagian dari jiwaku.” Anton bergumam lirih, hatinya diliputi rasa haru dan bahagia.

Anton ikhlas dengan vonis mandul itu. Sebagai balasan atas keikhlasannya, Allah memberikan ganti berupa seorang putri yang sangat cantik, berhati lembut, dan penyayang. Chelsea sangat mirip Anton, baik dari segi fisik maupun sifatnya.

Sementara itu, Chelsea dan kedua sahabatnya tiba di taman. Chelsea sedang mendengarkan cerita Stevani.

“Kemarin Ibu dimarahi bosnya. Pekerjaan Ibu salah, gitu katanya. Ibu langsung nangis dan marah-marah waktu sampai di rumah. Tapi nggak lama kok, soalnya aku ajak Ibu ke gereja. Di sana kami berdoa bersama, ketemu Romo juga.”

“Syukurlah. Nanti ibu kamu ajak makan pasta juga ya?” Chelsea menyarankan.

“Iya. Ibu pasti suka. Puji Tuhan, kami bisa makan daging tiga kali setahun. Biasanya kan cuma dua kali, pas Natal dan Paskah.”

Keluguan Stevani sukses menyentuh hati Chelsea. Digenggamnya tangan sahabatnya itu. Dalam hati, Chelsea terus menggumamkan syukur. Di saat dia dan Ayah-Bundanya bisa makan enak tiap hari, ada lebih banyak orang yang tidak bisa setiap waktu merasakanan makanan selezat yang mereka rasakan. Sungguh, berteman dengan Stevani dan Justina membuat Chelsea lebih banyak bersyukur.

“Chelsea, kamu main piano lagi buat kita. Mau nggak?” pinta Justina.

“Mau kok. Ke ruang piano yuk. Aku mau nyanyiin lagu buat kalian.”

Sekali lagi, Chelsea mendorong kursi roda Stevani. Memasuki ruang belajar piano yang masih sepi.

**    

Jalan lurus

Sepuluh yang mesti ditempuh

Lihat selengkapnya