Anak lelaki berbaju motif kotak-kotak dengan rambut berantakan itu menyentuhkan tang kecil yang dibawanya ke permukaan halus sebuah mobil. Mobil bagus yang baru saja digoresnya.
Senyum sinis bermain di bibir anak itu. Merusak mobil orang kaya, satu hal yang disukainya. Ia merasakan sepercik kepuasan. Biarlah orang-orang kaya itu ikut merasakan sedikit penderitaannya.
Kaca mobil terbuka. Sekilas dilihatnya pria berwajah tampan duduk di balik kemudi. Wanita cantik berambut panjang dan bermata biru duduk di sampingnya. Di pangkuan wanita itu, seorang anak perempuan cantik seumurannya duduk dengan anggunnya.
Keluarga bahagia, pikir anak lelaki itu. Dikatupkannya bibir rapat-rapat, mencoba menahan ledakan emosi yang akan tumpah. Hatinya sakit tiap kali melihat potret keluarga bahagia di sekelilingnya.
Hidup serasa tak adil. Orang-orang kaya berbbelanja dan berjalan-jalan di mall bergaya Eropa ini. Makan enak di restoran berlabel terkenal. Membeli baju, tas, dan sepatu dan barang mewah lainnya dengan harga selangit. Menumpuk kekayaan, investasi, dan kemewahan. Yang kaya semakin kaya, yang miskin kian miskin. Ironis sekali.
Sementara dirinya? Setiap hari berada di PVJ. Bukan untuk berbelanja, melainkan untuk bertahan hidup. Sampah-sampah plastik, makanan sisa, botol, dan bungkus makanan yang ditinggalkan orang kaya itu menjadi sumber rezekinya. Penyambung hidupnya dari hari ke hari.
**
“Ayah, mobil kita tergores!”
Seruan Chelsea menyedot habis atensinya. Sejurus kemudian Anton mengalihkan pandang. Detik berikutnya tertatap olehnya sesosok anak laki-laki seusia Chelsea dengan sebuah tang tergenggam di tangan. Alina mengikuti arah pandang Anton.
“Anton, mungkinkah anak itu pelakunya?” desis Alina.
“Aku belum bisa memastikannya, Alina. Boleh aku turun sebentar?”
Alina mengangguk. Waswas memperhatikan Anton. Mustahil Anton memarahi anak itu. Kalau pun ia pelakunya, Anton takkan marah. Hatinya terlalu lembut dan baik, Alina sangat mengenal Anton luar-dalam.
“Halo, Adik Kecil.” sapa Anton. Mengingat dirinya cukup tinggi, ia berlutut untuk menyamakan tinggi tubuhnya dengan anak itu.
Si anak lelaki pemegang tang ternganga. Tak menyangka pria tampan yang tadi diperhatikannya turun dari mobil dan mendekatinya.
“Ngapain Om Ganteng deketin saya?”
Ingin rasanya Anton tertawa. Kesan pertama memang penting. Sekali pandang saja, ia langsung dinilai tampan oleh anak itu. Kenyataannya, Anton memang tampan. Bukan hanya wajah, melainkan hatinya pula. Anton memiliki setiap aspek yang didambakan para pria: tampan, sukses, pintar, berbakat, dan berkepribadian menarik.
“Om nggak marah mobilnya saya rusak?”
Di luar dugaan, si anak lelaki mengakui ulahnya sendiri. Anton terkesan. Jarang sekali ada anak sekecil itu yang berani mengakui kesalahan. Kelihatannya anak itu pemberani dan nekat.
“Nggak kok. Om sama sekali nggak marah. Oh ya, kita belum kenalin. Siapa namamu, Adik Kecil?” tanya Anton seraya tersenyum simpatik.
“Umar. Om Ganteng namanya siapa?” Umar balik bertanya. Menerima uluran tangan Anton dan menyalaminya.
“Anton,”
“An...” Umar kesulitan mengucapkan nama Anton.
“Anton...” ulang pria tampan berdarah Jawa-Jerman-Skotlandia itu lagi. Tersenyum sabar.
“Om An lucu banget cara bicaranya. Apa lagi kalo ngucapin huruf C, J, L, sama R. Lucu...kayak temannya Bapak yang orang bule. Om An pintar Bahasa Inggris ya?” ceplos Umar tanpa ragu.
Rupanya Umar tak jauh berbeda dengan Chika. Suka bicara blak-blakan. Anton sama sekali tak keberatan. Ia justru senang berkenalan dengan anak aktif seperti Umar. Soal menggores mobil, bukanlah masalah. Mungkin Umar hanya iseng atau tidak sengaja. Anton berpikiran positif. Anak sekecil itu tak mungkin punya niat jahat.
“Sekarang Umar mau kemana?” tanya Anton.
“Mau pulang. Sudah malam.” jawab Umar singkat.
“Om An antar ya?” Anton menawarkan, melirik gerakan gesit Umar memungut kantong plastik besar berisi barang-barang bekas.
“Nggak usah. Ntar Tante Cantik sama anaknya yang di mobil itu marah. Umar juga yang disalahin,” tolaknya skeptis.
“Mereka nggak akan marah. Mereka baik kok, percaya sama Om An.”
Akhirnya Umar berhasil diyakinkan. Dimintanya Anton menunggu sebentar, sementara Anton kembali ke mobilnya.
Anton tahu apa yang harus dilakukan. Ia ingin menolong Umar, namun ia pun harus menjaga perasaan Chelsea. Chelsea sangat pencemburu. Masih tak rela bila perhatian ayahnya terbagi dengan anak lain. Kehadiran anak lain di sekitar ayahnya sering ia anggap sebagai ancaman.
“My Dear Alina, can you help me?” Anton memegang tangan wanita cantik keturunan Sunda-Belanda itu. “What can I do for you dear?”
“Tolong telepon supir kantor. Suruh dia bawa mobilku yang satunya ke sini. Kamu pulang duluan sama Chelsea ya? Aku bantu anak kecil itu dulu.”
“Okey. Hati-hati ya, Sayang. Jaga dirimu. If you need me, just call.”
“Thanks a lot, Alina.”
Anton mengecup pipi Alina. Tak lupa memeluk dan mencium Chelsea. Setelah itu ia kembali menemui Umar.
Dipandanginya laju Honda Mobilio itu. Dengan terpaksa ia membiarkan istrinya menyetir. Anton berdoa agar Alina selamat menempuh perjalanan sampai ke rumah.