Mudah bagi pria berkulit putih sepertinya untuk memilih warna pakaian. Pakaian berwarna terang akan membuat kulitnya terlihat makin cemerlang. Sedangkan pakaian hitam memberikan kesan elegan.
Suami Alina dan ayah Chelsea itu sangat memperhatikan penampilan. Namun, pagi ini Anton memutuskan memakai pakaian hitam bukan karena ingin tampil elegan. Melainkan karena ia akan menghadiri acara pemakaman.
Sekali lagi Anton menatapi refleksi dirinya di cermin. Masih ada satu yang kurang. Ia melepas jam tangan mewahnya. Ini jam tangan yang baru dibelinya bulan lalu. Meski kolektor jam tangan mewah, Anton takkan sesombong itu dengan memakai jam tangan ke acara pemakaman. Anton berusaha tampil sederhana dan apa adanya. Sesederhana apa pun penampilannya, Anton tetap terlihat tampan. Nasib baik menjadi pria tampan: cocok memakai pakaian apa pun. Wajahnya tetap teduh memesona. Postur tubuhnya yang ramping dan tergolong ideal itu terlihat seempurna dalam pakaian apa pun yang dikenakannya.
Jam tangan mewah itu diletakkannya dengan hati-hati di lemari khusus tempat penyimpanan koleksinya. Selesai meletakkan jam tangan, Anton dikagetkan oleh bercak merah yang menodai pakaiannya. Bercak merah itu...darah.
Ternyata bibirnya berdarah. Tubuh ramping pria itu serasa lumpuh seketika. Hatinya kembali berkecamuk oleh firasat buruk. Setahun terakhir, ia jarang sekali mengalami perdarahan di bagian tubuh mana pun. Frekuensi perdarahan paling sering adalah sewaktu ia terkena Leukemia.
Pintu kamar terbuka. Anton tersadar, buru-buru membalikkan tubuh menghadap lemari koleksi jam dan mengusap darahnya sampai bersih. Jangan sampai Alina tahu.
“Hei Dear...what are you doing?” sapa Alina hangat. Melangkah masuk ke dalam kamar. Sosoknya nampak cantik mengenakan baju rumah berwarna Burgundy. Model pakaiannya sederhana saja, sebab ini pakaian sehari-hari. Sentuhan warnalah yang mengambil peran.
“Alina, I’m so sorry...” Anton tergeragap, menatap canggung istrinya.
“Aku sibuk memastikan jam tanganku tersimpan aman. Jadinya tidak melihatmu saat kamu datang.”
“No problem...kamu protektif sekali pada koleksimu ya?”
Sejurus kemudian, Alina menyerahkan karangan bunga yang dibawanya. Anton menerimanya. Ini karangan bunga yang dipesannya dari toko bunga langganannya. Akan ia berikan ke rumah duka.
“Anton, kamu yakin mau pergi sendiri? Kelihatannya kamu tidak cukup sehat.” Alina memastikan untuk kesekian kalinya.
“Totally wrong. Aku baik-baik saja. Aku kuat menyetir, dan aku bisa pergi sendiri.” tolak Anton yakin.
Alina mendesah pasrah. Menyerah pada sikap keras kepala suaminya. Ia bergerak ke sisi Anton. Memegang halus tangan kanannya.
“Kalau ada apa-apa, telepon aku ya?”
“Iya, Sayang.”
Entah sekedar perasaannya atau tidak, Alina meyakini satu hal. Anton yang kuat, tegar, dan kharismatik itu terlihat lebih rapuh. Seolah tubuhnya menyimpan rasa sakit. Dienyahkannya pikiran itu. Ini hanya perasaannya. Anton akan baik-baik saja.
“Sayang, aku pergi dulu ya. Jaga dirimu dan Chelsea. Love you.” Anton berujar, mencium dahi Alina.
“Love you too.”
Anton melangkah pergi. Meninggalkan wangi Calvin Klein yang menempel kuat di pakaian Alina. Wanginya Anton yang selalu ia sukai.
**
Rumah mewah bergaya Mediterania itu berselimut duka. Isak tangis terdengar di sela lantunan Surah Yasin. Tergesa-gesa Anton turun dari mobilnya. Melangkah memasuki rumah. Meletakkan karangan bunga di tumpukan karangan bunga lainnya.
Banyak sekali pelayat berdatangan. Sebagai pengusaha terkenal, Indra mempunyai banyak teman dan relasi bisnis. Di antara para pelayat, Anton melihat teman-temannya. Aga dan Chika menyusul di belakang Anton. Nico, sahabat lamanya semasa bersekolah di Al Irsyad Islamic School itu, tiba tak lama kemudian. Ia kini menjadi pengusaha yang menjalin kerjasama dengan Indra. Tiga menit berikutnya, datanglah kakak-beradik Judawisastra: Naufal Judawisastra dan Pierre Judawisastra. Pierre datang bersama Muti. Pelayat yang tiba paling akhir adalah pria dengan kisah hidup yang sama persis dengannya: Albert Fast Cavanaugh. Pria berdarah Sunda-Inggris itu datang bersama istrinya, Andini. Andini sendiri merupakan guru pendamping program homeschooling yang dijalani Chelsea.
Baik Antony Evans maupun Albert Fast Cavanaugh sama-sama sukses di bidang bisnis. Keluarga Indra pun berhubungan baik dengan mereka. Langsung saja kedua pria setinggi 173 itu disambut dengan rangkulan hangat oleh Evan Jonathan, ayah Indra.
**
Rasa kehilangan menembus relung hati. Pandangannya jatuh pada jenazah Indra. Hati pengusaha muda keturunan Jawa-Jerman-Skotlandia berdenyut sakit. Secepat ini Indra pergi. Di dekatnya, Reginia, wanita yang baru dinikahi Indra dua tahun lalu, terisak.
“Terima kasih kamu mau datang, Anton. Kamu membawa pengaruh positif dalam hidup Indra. Suamiku menjadi mualaf karenamu...” Reginia berterima kasih dengan suara lirih.
“Bukan aku, Reginia. Tapi Allah yang mengislamkannya.” koreksi Anton lembut.
Jenazah siap dimandikan. Anton bertanya pada Reginia.
“Bolehkah aku ikut memandikan jenazahnya?”
“Tentu saja.”
Ini pengalaman ketiganya memandikan jenazah. Sebelumnya ia pernah memandikan jenazah Tuan Adolf dan Nyonya Anggun. Dengan lembut, Anton membasuh jenazah Indra. Menuruti sunnah dengan mendahulukan anggota tubuh sebelah kanan.
Usai dimandikan dan dikafani, jenazah dibawa ke Masjid Al Irsyad Kota Baru Parahyangan untuk dishalatkan. Anton berdiri di saf terdepan. Persis di samping kanan Imam. Menjalankan prosesi shalat jenazah dengan khusyuk. Mendoakan Indra setulus hati.
Begitu dekatnya kita dengan kematian. Maut bisa datang kapan saja. Orang yang cerdas adalah orang yang mengingat mati.
Shalat jenazah selesai. Saatnya jenazah dimakamkan. Puluhan mobil mengiringi mobil ambulans yang membawa jenazah ke tempat peristirahatan terakhir.