“Kita mau kemana, Ayah?” tanya Chelsea disertai wajah innocent-nya.
“Ke makam Grandpa dan Grandma, Sayang.” jawab Anton lembut.
Chelsea tersenyum. Menampakkan lesung pipinya yang menggemaskan. Anton membelai kedua pipi putrinya. Lalu menciumnya. Seperti biasa, Chelsea merasakan wangi Anton yang sangat khas: Calvin Klein dan Earl Grey. Bukankah wangi khas dalam diri seseorang membuatnya lebih mudah diingat dan dikenali?
Alina terburu-buru menutup pintu pagar. Masuk ke dalam mobil, lalu tersenyum meminta maaf.
“Sorry...handphoneku ketinggalan. Kamu tahu ketemunya dimana, Anton?” Alina mulai bicara.
“Dimana?”
“Di pinggir bathtub. Untung saja tidak jatuh.”
Entah Anton harus tertawa atau bersimpati. Maka ia hanya mengingatkan Alina untuk berhati-hati. Sebenarnya, Alina pun menganggap lucu kecerobohannya sendiri. Mereka sering bercanda soal itu. Berbeda dengan Anton yang perfeksionis dan memiliki ingatan kuat, Alina kerap kali melupakan hal-hal kecil.
Honda Mobilio itu melaju meninggalkan kompleks perumahan. Melintasi ruas jalan raya yang tidak terlalu padat.
“Mudah-mudahan tidak macet ya?” gumam Alina penuh harap. Mengaktifkan GPS di ponselnya.
“Insya Allah tidak, Sayang. Saat arus mudik begini, kepadatan justru terjadi dari arah sebaliknya.” kata Anton menenteramkan.
“Nah...itu yang perlu kita siasati saat kembali ke Bandung nanti. Tol Cikampek pasti macet parah.”
Sekilas Anton melirik layar handphone Alina. Alisnya terangkat. Buat apa Alina mengaktifkan GPS? Anton tidak membutuhkannya. Pria ber-IQ tinggi dengan pemahaman arah yang sangat baik seperti dirinya tak pernah tersesat. Anton hafal rute perjalanan yang akan ditempuhnya.
“Aku buka GPS untuk mengecek estimasi waktu. Lagi pula, adanya kemacetan atau kecelakaan bisa terpantau. Jadi kita bisa mengantisipasinya.” Menyadari arti pandangan Anton, Alina menjelaskan alasannya.
“Kamu benar juga. Ingatan dan pemahaman arah tak cukup untuk menyempurnakan perjalanan kita.”
Anton menaikkan kecepatan mobilnya sewaktu memasuki Tol Pasteur. Dua-tiga jam perjalanan akan dilaluinya di jalan lurus bebas hambatan itu.
Alina terbiasa bepergian jarak jauh dengan Anton. Baik itu naik pesawat maupun naik mobil pribadi. Sehingga ia tahu pasti gaya menyetir pria yang telah menjadi pendamping hidupnya selama sembilan tahun itu. Tak butuh waktu lama bagi Anton untuk belajar menyetir. Ia sudah bisa membawa mobil sejak kelas 12 di Al Irsyad IslamicSchool. Gaya menyetirnya cenderung santai dan menikmati. Ia menganggap mobil seperti rumah kedua sekaligus alat transportasi yang sangat nyaman. Tak heran Anton menambahkan kulkas kecil dan beberapa barang pribadi di dalam mobilnya. Jika traffic light menyala hijau dan kendaraan lain di depannya belum jalan, ia takkan membunyikan klakson. Anton cenderung sabar dan tidak pernah emosi. Handphone tak pernah dipegangnya setiap kali mengemudi. Semata demi keselamatan dirinya dan orang-orang yang satu mobil dengannya.
Di ruas Tol Cipularang km97, kecepatan mobil sedikit dikurangi. Kali ini Anton lebih hati-hati. Km97 rawan kecelakaan. Sudah banyak kecelakaan maut terjadi di sini.
“Mau kugantikan menyetirnya, Sayang?” tawar Alina saat mereka melewati km96.
“Aku tidak akan membiarkanmu menyetir, Alina. Aku takut kamu kelelahan.” tolak Anton halus.
“Tapi...kalau kamu yang kelelahan?”
“Aku kuat, Alina.”
Diserang penyakit Celiac, pernah mengalami gagal ginjal, dan untuk kedua kalinya divonis kanker tak membuat Anton kehilangan semangat hidupnya. Ia kuat dan yakin akan tetap kuat. Vonis Leukemia yang baru diterimanya beberapa waktu lalu justru makin menguatkan Anton untuk melawan penyakitnya. Sayangnya, hingga kini Alina dan Chelsea belum tahu vonis itu.
Perjalanan berlangsung lancar. Mereka hanya berhenti di Rest Area 3 km88 untuk shalat Ashar. Anton tetap tidak mau digantikan. Ia benar-benar keras kepala. Alina mau tak mau waswas juga. Kekuatan setiap orang pasti ada batasnya. Terlebih Anton mempunyai kondisi kesehatan yang istimewa. Alina tak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada belahan jiwanya itu.
**
Siapa bilang tempat pemakaman itu menyeramkan? Tidak semua tempat pemakaman bernuansa seram dan memprihatinkan. San Diego Hills buktinya.
Berlokasi di Karawang, San Diego Hills menyajikan konsep pemakaman mewah dan eksklusif. Fasilitasnya lengkap di sini. Mulai dari taman, kolam renang, gedung serba guna, Restoran La Collina, danau buatan, kapel, dan tempat ibadah. Bukan hanya keluarga yang boleh berkunjung ke San Diego Hills. Masyarakat umum dibolehkan datang. Mereka bisa berjalan-jalan di taman, danau, makan di restorannya, atau berenang di kolam renang.
“Aku kagum sama penggagas San Diego Hills. Kok bisa ya, mendesain tempat pemakaman sebagus ini? Idenya dari mana coba?” komentar Alina. Wanita cantik keturunan Sunda-Belanda itu tak pernah bosan menemani Anton berziarah ke sini. Setiap bulan mereka selalu menyempatkan waktu mengunjungi makam Tuan Adolf dan Nyonya Anggun.
“Idenya itu dari Mochtar Riadi, CEO Lipo Grup. Awalnya, Pak Mochtar sedih waktu ziarah ke makam orang tuanya di Jawa Timur. Lihat kondisi tempat pemakaman umum yang seram, banyak pengemis, dan jalannya rusak. Lalu Pak Mochtar berpikir untuk membuat konsep taman pemakaman yang mewah, menyenangkan, dan dapat menghapus kesedihan keluarga yang ditinggalkan. So, jadilah San Diego Hills di tahun 2007.” Anton bercerita, senang bisa membagi pengetahuan dengan istrinya.
“Oh gitu ceritanya. Kamu tahu banyak hal ya? Jangan-jangan perusahaan kamu pernah kerjasama sama Lipo Grup.”
“Belum pernah. Baru sebatas wacana. Seorang pebisnis harus punya wawasan luas.”
Mereka melangkah menyusuri areal pemakaman. Areal San Diego Hills terbagi tiga: areal Universal, Muslim, dan Chinese. Khusus areal Muslim menghadap ke arah kiblat.
“Nanti kalau sudah besar, Chelsea mau jadi pengusaha kayak Ayah.” Chelsea menimpali.
“Bagus, Sayang. Chelsea pasti bisa jadi pengusaha sukses.” puji Anton seraya mengusap lembut rambut Chelsea. Ia sudah tahu, untuk siapa harus mewariskan perusahaannya.
Di Wisdom Mansion, mereka berhenti. Makam Tuan Adolf dan Nyonya Anggun terletak di sini. Ketiganya berlutut di depan pusara, lalu mulai berdoa. Anton, Alina, dan Chelsea membacakan Surah Yasin. Meletakkan bunga yang mereka bawa.
Di depan makam kedua orang tuanya, Anton ingin menyampaikan sesuatu. Mengadukan kepedihan hatinya. Sejenak menyandarkan hatinya yang rapuh. Vonis kanker untuk ketiga kali sungguh tak mudah. Accute Lymphocytic Leukemia stadium 3B. Mungkin waktunya sudah tak lama lagi.
“Kira-kira, makam di sebelah itu pre need atau bukan ya?” tanya Alina penasaran. Kebanyakan makam yang masih kosong di San Diego Hills telah dipesan.
Anton tak menjawab. Andai saja Alina tahu. Makam yang ditanyakannya sudah dipesan oleh suaminya sendiri.
Pria berdarah Jawa-Jerman-Skotlandia itu sengaja memesan unit makam di San Diego Hills. Bukan bermaksud sombong, tapi karena ia ingin dimakamkan di dekat kedua orang tuanya.
“Bunda, di sini kita nggak boleh foto ya?” tanya Chelsea tiba-tiba. Membuat perhatian Alina teralih seketika.
Saat Alina sibuk menjawab pertanyaan Chelsea, Anton menggeser posisi tubuhnya. Kini ia lebih dekat ke pusara. Mengelus lembut nisan bertuliskan nama Ayah-Bundanya, Anton berbisik.
“Ayah...Bunda, aku kena Cancer lagi.”
**
Seperti asumsi Anton, perjalanan ke Jakarta cukup lancar. Kemacetan parah justru terjadi di arah sebaliknya. Ia memperlihatkan hal itu pada Alina di tengah perjalanan mereka.
“Iya...kali ini kamu benar.” Alina membenarkan.
Alhasil, mereka menikmati sisa perjalanan yang terasa lancar itu. Tetap saja Anton tak mau digantikan. Jakarta adalah tujuan mereka selanjutnya. Tidak membuang-buang waktu di jalan, mereka ingin segera sampai di tempat tujuan demi mengejar waktu berbuka puasa.
“Pierre sudah menunggu?” tanya Alina.