Anton dan Alina

princess bermata biru
Chapter #43

Juni, Berawalnya Cinta Kita

Selain Anton dan Alina, ada satu lagi figur orang dewasa yang dekat dengan Chelsea. Andini, pendamping homeschoolingnya. Lima hari dalam seminggu Andini datang ke rumah Chelsea dan mengajarinya. Bila Chelsea ada kegiatan non akademis, ada kelonggaran. Jadwal bisa diganti ke hari atau jam lain. Itulah salah satu kelebihan homeschooling: waktu yang fleksibel.

Bukan hanya Andini yang berpartisipasi dalam kelangsungan pendidikan Chelsea. Alina pun turun tangan untuk mengajari putrinya. Terlebih setelah ia mengundurkan diri sebagai Psikolog dan hypnotherapyst. Waktunya ia curahkan untuk mengajar dan memberikan materi-materi pelajaran untuk Chelsea. Tugas Andini menjadi lebih ringan sejak Alina resign dari Biro Psikologi.

Selama Ramadhan, Chelsea libur dari aktivitas homeschooling. Bukan berarti Andini tak bertemu Chelsea. Beberapa kali ia datang dan mengajak Chelsea bermain atau berjalan-jalan. Bila kunjungan bersifat non formal, Andini sering membawa Rossie.

Tak heran Chelsea akrab dengan Rossie. Dua gadis kecil nan cantik yang terpaut jarak tiga tahun itu sudah seperti kakak-beradik. Sama-sama berstatus anak tunggal membuat Chelsea dan Rossie kian akrab.

“Bonekanya lucu. Ini Hello Kitty...Chelsea juga suka. Bonekanya Rossie baru ya?” komentar Chelsea. Menyentuh boneka berukuran besar berwarna biru muda yang dipegang Rossie.

“Iya. Ayah yang beliin. Rossie suka banget boneka ini,” sahut Rossie, tersenyum lebar. Pastilah ia teringat ayahnya.

“Rossie sama kayak Chelsea. Dekat sama ayahnya. Kalo udah sama ayahnya, susah dipisahkan.” Andini menjelaskan.

Terdengar deru mobil memasuki halaman. Otomatis Chelsea melirik ke luar jendela. Tak salah lagi, itu mobil ayahnya.

“Ayah sama Bunda pulang!” serunya senang, lalu ia berlari ke ruang depan.

Andini mengangkat tubuh Rossie dalam gendongannya. Merapikan boneka-boneka baru milik Rossie. Melangkah menyusul Chelsea.

Benar saja. Anton dan Alina sudah kembali. Chelsea memeluk Ayah-Bundanya. Senang saat pelukannya dibalas. Ia sengaja berlama-lama di pelukan Anton.

“Sudah dong, Sayang. Nanti Bundanya Chelsea cemburu lho. Abis mesra gitu peluk Ayahnya...” canda Andini. Tak puas-puasnya menatapi Anton dan Chelsea yang sulit dipisahkan.

“Chelsea suka peluk Ayah. Soalnya Ayah ganteng, wangi lagi.” kata Chelsea polos.

“Oh, jadi Chelsea nggak suka dipeluk Bunda? Bunda kurang cantik? Kurang wangi? Kurang tinggi dibanding Ayah?” Alina berpura-pura kecewa. Membuat mereka semua tertawa melihat ekspresinya.

“Bukan gitu. Chelsea senang kok peluk Bunda. Bunda sama Ayah wangi parfumnya enak.”

Penilaian anak-anak jauh lebih jujur. Mereka bisa menilai apa adanya. Netral, tanpa memihak siapa pun.

“Sayang, tadi Ayah sama Bunda beli baju buat kamu. Dicoba dulu ya?” pinta Anton seraya melepas pelukannya.

“Chelsea dapat baju lagi? Horeee!”

Beberapa paperbag dari brand pakaian ternama dibuka. Chelsea mendesah kagum. Mengamati tumpukan baju di dalam paperbag berukuran besar itu. “Ini semua buat Chelsea?”

“Iya.”

“Banyak banget. Bagus-bagus lagi. Chelsea cobain bajunya ya?”

Anton, Andini, dan Alina membantu Chelsea mencoba pakaian barunya satu per satu. Banyak sekali baju yang dicoba. Semua baju pilihan Anton dan Alina sangat bagus. Selera fashion mereka tinggi. Anton dan Alina bisa membelikan pakaian bagus untuk Chelsea karena mereka sendiri tampil elegan.

“Wow...Chelsea, my Little Angel. You’re beautiful!” puji Anton dan Alina bersamaan.

“Kalian tidak salah pilih. Baju-baju ini pas untuk Chelsea. Sesuai umurnya, elegan, modis, dan pastinya...mahal.” Andini berkomentar.

Alina tertawa kecil. “Kamu kan begitu juga, Andini. Kamu dan Albert Fast Cavanaugh sering membelikan baju bagus untuk Rossie. Iya kan, Rossie?”

Rossie mengangguk. Melingkarkan lengan kecilnya di leher sang Bunda.

Selesai mencoba baju terakhir, Chelsea berlari ke kamarnya. Anton, Alina, dan Andini bertukar pandang. Penasaran apa yang akan dilakukan Chelsea. Tiga menit kemudian Chelsea kembali ke ruang tamu. Ia membawa dua tas kain menggelembung berisi penuh pakaian.

“Itu kan baju-bajunya Chelsea. Mau diapain, Sayang?” tanya Alina heran.

“Bunda, Ayah, makasih ya udah beliin baju buat Chelsea. Chelsea boleh kasih ini semua ke panti asuhan, kan? Baju Chelsea udah banyak. Malah ada yang belum sempat dipakai.”

Chelsea menunjuk dua tas kain bawaannya. Ia meminta izin sehalus mungkin.

Setiap orang tua pasti senang bila anaknya memiliki jiwa sosial tinggi. Pola pendidikan Anton dan Alina berhasil. Chelsea tumbuh sesuai ekspektasi mereka.

**    

“Kamu kuat, Anton? Tetap mau shooting hari ini?” bisik Muti perlahan.

Anton menarik nafas. Mengedarkan pandang ke sekeliling gedung yang baru dimasukinya.

“Aku yakin.”

Muti tersenyum menyemangati. Sadar betul kondisi sepupunya tidak sehat, wanita berdarah India itu menghubungi Anton setiap pagi. Mengecek keadaannya. Terus membujuknya untuk berobat. Sejak vonis Leukemia stadium tiga jatuh, Anton belum menjalani langkah medis secara serius. Ia hanya melakukan check up.

Sejak pagi, kondisi Anton menurun. Ia mulai merasakan sakit di bagian lambungnya. Relevan dengan hasil pemeriksaan, sel kanker mulai menjalar ke sistem pencernaan. Muti tak bisa membiarkan sepupunya merasakan sakit sendirian. Alhasil ia menemani Anton beraktivitas sepanjang hari ini. Mulai dari rapat direksi, pertemuan dengan klien, sampai shooting acara talk show Islami di Surya Mediatama Televisi. Anton sama sekali tidak meminta Muti menemaninya. Ini semua murni inisiatif Muti.

“Acara ini penting bagiku. Jika aku tidak datang, itu namanya wan prestasi. Reputasi TV ini bisa jatuh. Rating programnya turun, dan aku akan mengecewakan pemirsa.” Anton menerangkan rasionalisasinya.

“Oh Anton, kamu selalu memikirkan orang lain. Cobalah...sehari saja kamu pikirkan dirimu sendiri.” Muti mendesah sabar.

“Tidak bisa begitu, Muti. Kamu pun seharusnya tetap di rumah. Menjaga Gilbert, prepare buat Lebaran yang tinggal seminggu lagi. Bukankah tahun ini keluarga besar kita akan berkumpul di rumahmu?” Anton mengingatkan. Menyebut nama anak laki-laki yang diadopsi Muti dan Pierre.

“Pierre mengajak Gilbert ke kantornya. Soal persiapan Lebaran, itu bisa nanti. Sudahlah, jangan pikirkan orang lain dulu. Kamu orang paling tidak egois yang kukenal.”

Sebuah pujian implisit. Anton sering mendengarnya. Ia merasa selalu ingin memikirkan dan mementingkan orang lain. Kepentingan diri sendiri bisa dikesampingkan. Pria berdarah Jawa-Jerman-Skotlandia itu baik sekali.

“Maafkan aku, Muti. Aku menyusahkanmu. Aku menyesal belum bisa membantumu menyiapkan segalanya. Padahal sebentar lagi keluarga kita datang. Mereka jauh-jauh dari Malang, New Delhi, Munchen, dan Skotlandia. Pasti mereka ingin hari raya tahun ini lebih spesial di kota tempat tinggal kita.”

Lihat selengkapnya