Anton berteman dengan rasa sakit. Mungkin terdengar tak biasa bagi kebanyakan orang. Kenyataannya, rasa sakit telah menjadi bagian hidup Anton sejak lama.
Sakit fisik menderanya dalam bentuk penyakit yang pernah dideritanya. Celiac berkomplikasi dengan gagal ginjal dan Leukemia. Rasa sakit luar biasa berulang kali menyeretnya dalam bahaya maut. Berulang kali pula Anton berhasil lolos. Ia bertahan hidup karena doa, cinta, dan kehadiran orang-orang yang tulus padanya.
Tak hanya fisik. Jiwanya pun ikut sakit. Banyaknya luka batin, derita psikologis yang panjang, dan pengalaman traumatik menjerumuskannya dalam kesakitan. Anton pernah ditinggalkan wanita yang dicintainya, divonis mandul sampai harapannya hancur, dan dibenci mayoritas anggota keluarga istrinya. Semua kepedihan itu menggoreskan luka batin yang sangat dalam.
Namun, apa yang terjadi? Anton dapat bertahan menghadapi rasa sakitnya. Sebab ia berteman dengan rasa sakit. Menganggap rasa sakit sebagai bagian positif dalam hidupnya. Rasa sakit bukanlah beban, melainkan sesuatu yang layak disyukuri.
Kebersamaan dan cinta adalah obat dari segala penyakit. Anton beruntung dikelilingi orang-orang yang mencintainya sepenuh hati. Ia punya istri secantik dan setegar Alina. Anton pun memiliki putri berparas jelita yang menerima kondisinya apa adanya. Belum lagi teman, sahabat, dokter pribadi, pendengar Radio Carissa, pemirsa setia talk show Islami Dialog Islam Mediatama, fans, mantan kliennya, para orang tua yang berkonsultasi soal parenting padanya, dan ribuan karyawan yang bekerja di perusahaan yang dipimpinnya. Mereka semua mencintai, menyayangi, mensupport, dan mengaguminya. Soal kasih sayang, Arif Anton tak pernah kekurangan. Itulah alasan terbesar Anton untuk bertahan hidup sampai detik ini.
“Kalau kamu tidak kuat...jangan dipaksakan, Sayang.” Alina berkata, menatap cemas wajah suaminya.
“Sayang kalau batal, Alina. Ini hari-hari terakhir. Harus dimanfaatkan dengan maksimal.” Anton membantah, lembut tapi tegas.
Alina menarik napas panjang. Membereskan tablet-tablet obat yang bertebaran di meja marmer.
“Untung kamu sudah libur ya. Tidak perlu ke kantor lagi. Jadi bisa istirahat,” gumamnya.
Dari lantai bawah, terdengar bunyi klakson mobil. Anton dan Alina bertukar senyum. Itu pasti keisengan Chelsea, putri kecil mereka. Chelsea tak sabar menunggu lama-lama di mobil.
“Chelsea sudah menunggu. Benar aku tidak boleh ikut ke panti asuhan?” Anton masih mencoba bernegosiasi di menit-menit terakhir.
“Tidak boleh. Kamu istirahat saja di sini. Chelsea urusanku.” Alina menolak tegas.
Refleks Anton mengulurkan tangan. Lembut memegang dagu Alina, lalu mengangkatnya. Hati Alina berdesir. Jemari tangan Anton yang menyentuhnya penuh kelembutan, jarak mereka yang begitu dekat, dan wangi Calvin Klein dari tubuh Anton. Akumulasi sempurna yang membuat Alina jatuh dan mencinta untuk kesekian kalinya.
“Look at me,” bisik pria berdarah Jawa-Jerman-Skotlandia itu.
Menatap wajah tampan Anton adalah kebahagiaan tersendiri untuk Alina. Batinnya terbius pesona. Mengapa Anton tampan sekali? Seraut wajah lembut, rupawan, menenangkan, dan lovable itu meluluhkan hati Alina.
“Aku sehat, Alina. Jika aku terlalu banyak di rumah, aku akan bertambah sakit. Come on Dear, let me go.”
“Big no...kamu harus banyak istirahat. Jaga kesehatanmu. Kamu memang tidak bisa diam ya?”
Meski luluh, tetap saja Alina menolak. Anton menyerah. Memutuskan tak ingin lagi memperpanjang urusan.
**
Anton menatap nanar laju sedan putih itu dari jendela. Menghela napas berat, menghempaskan tubuh di sofa. Alina menyetir sendirian. Baru kali ini ia membiarkannya.
Mengapa tadi ia tak menyuruh Anwar, supir pribadinya, untuk mengantar Alina? Sejak Anton divonis Leukemia, Anwar kembali bekerja di rumah. Tak lagi menjadi supir kantor.
Sepi menyelimuti rumah besar itu. Posisi seakan terbalik. Beberapa hari lalu, Alina yang merasakan kesepian di rumah besar ini. Sekarang Anton yang merasakannya.
Apakah kesepian membunuh lebih cepat dibanding penyakit kanker? Entahlah, Anton tak tahu. Yang pasti, Anton ingin terbebas dari belenggu kesepian ini.
Mulanya, Anton menduga ia akan punya lebih banyak waktu bersama Alina dan Chelsea menjelang Lebaran. Terlebih ia mengambil hari libur lebih awal. Realita tak semanis angan. Pagi-pagi sekali Alina dan Chelsea sudah pergi ke panti asuhan. Memberikan santunan berupa uang, pakaian, dan buku bacaan. Anton malah dilarang ikut oleh Alina dengan alasan menjaga kesehatan.
Kesehatan Anton tak pernah baik sepenuhnya. Namun, bukan berarti ia suka beristirahat dan berdiam diri terlalu lama. Anton justru merasa penyakitnya bertambah parah saat ia diam terlalu lama.
Ponselnya berdering. Ternyata Whatsapp dari Alina. Cepat-cepat Anton membukanya.
“Masih duduk di sofa, Sayang? Sebaiknya kamu ke kamar saja. Istirahat di sana jauh lebih baik. Aku tak ingin kamu demam dan batuk darah lagi seperti semalam.”
Ups, ternyata Alina menyuruhnya istirahat. Dari mana Alina tahu jika dirinya masih berada di tempat yang sama? Mungkinkah Alina punya mata batin dan indera keenam seperti dirinya? Ataukah Alina punya mata-mata? Bisa jadi ia berkonspirasi dengan asisten rumah tangga, supir pribadi, dan tukang kebun di rumah ini.
Dibacanya pesan itu sekali lagi. Mungkin sebaiknya ia menurut saja dan mencoba saran Alina. Anton bangkit, lalu melangkah ke kamarnya. Merebahkan tubuh di ranjang, mengedarkan pandang ke sekeliling kamarnya. Kamar yang kini dimodifikasi Alina sedemikian rupa. Sekilas mirip kamar rumah sakit meski tanpa brankar. Elektrokardiograf, tabung oksigen, sejumlah selang, dan berbagai peralatan medis lainnya ada di situ. Alina sengaja melakukannya untuk berjaga-jaga. Siapa tahu tetiba saja Anton drop dan ia menolak dibawa ke rumah sakit. Kondisi fisik pengidap kanker sulit diprediksi.
Punggungnya terasa sakit. Anton mengalihkan pandang dari tumpukan alat-alat kedokteran itu. Melihatnya saja sudah membuatnya muak. Ingin rasanya ia buang benda-benda itu sejauh mungkin.
Pria tampan itu tak tahan lagi. Ya Allah, memandangi peralatan medis menyiksa perasaannya. Suami Alina dan ayah Chelsea itu terburu-buru ke kamar mandi. Anton terbatuk, lalu muntah. Tangannya bergetar hebat saat ia menyeka dahak bercampur darah yang tersisa di sudut bibirnya. Rasanya seperti efek samping kemoterapi. Padahal mulai kemo pertama saja belum.
Kondisi fisik dan psikis Anton tidak stabil. Ia rapuh dan kesepian. Tak sengaja tertatap olehnya jarum penunjuk waktu di jam tangannya. Waktunya salat Dhuha. Mengalihkan kesepian dan kesedihan dengan kemesraan bersama Illahi. Mengapa tidak?
**
Ku menatap dalam kelam
Tiada yang bisa kulihat
Selain hanya namaMu ya Allah
Esok ataukah nanti
Ampuni semua salahku
Lindungi aku dari segala fitnah
Kau tempatku meminta
Kau beri ku bahagia
Jadikan aku selamanya
HambaMu yang selalu bertakwa
Ampuni ku ya Allah
Yang sering melupakanmu
Saat Kaulimpahkan karuniaMu
Dalam sunyi aku bersujud
Esok ataukah nanti
Ampuni semua salahku