Pulau Dewata, pulau cantik yang diimpikan banyak orang sebagai lokasi pernikahan. Banyak spot strategis, indah, dan menawan di sana. Siapa yang tak mau menikah di tempat seindah itu?
Anton dan Alina dapat merealisasikannya. Resepsi pernikahan sempurna di Karma Kandara. Birunya Samudera Hindia menjadi latar belakang yang memesona. Ditambah lagi jajaran vila yang dibangun di tengah taman. Perfect, satu kesan yang melekat kuat pada pernikahan mereka.
Seratus tamu undangan hadir dan berbagi rasa, bergantian memberi selamat pada pasangan pengantin yang baru saja mengikat janji setia. Bahagia berpadu dalam cinta, menebarkan aura positif dalam pernikahan mereka.
Pernikahan ini berlangsung dengan cinta. Anton mantap memilih Alina sebagai wanita pendamping hidupnya. Dari luar, pernikahan ini terlihat normal dan membahagiakan. Mereka tak perlu tahu, ada yang istimewa dalam pernikahan ini.
“Alina, kuharap kamu tidak menyesal menikah denganku.” Anton berujar pelan, memegang halus tangan Alina.
Senyum tipis menghiasi bibir mungil Alina. “Aku tidak akan menyesal. Aku mencintaimu, dengan segala kelebihan dan kekuranganmu.”
“Terima kasih, Sayang.”
Sejurus kemudian, Anton mendaratkan kecupan hangat di kening Alina. Ia berbisik pada wanita yang tampil anggun dalam balutan gaun pengantin putih bersih itu.
“Wanita pilihan adalah wanita yang kuat. Kenapa kamu sekuat itu menerima diriku?”
“Cinta yang menguatkanku,” Alina balas berbisik.
Cinta yang menguatkan. Hadirnya wanita pilihan tak luput dari peran kekuatan cinta.
**
“Sayang, kita jangan tinggal di sini ya? Kita beli rumah yang jauh dari rumah Monna, Karin, dan teman-temanku.”
“Well... kalau itu yang kamu mau, akan kulakukan.”
Setelah menikah, Alina dan Anton tinggal sejauh mungkin dari teman-teman dan keluarga. Hidup damai bersama belahan jiwa, itulah tujuan Alina. Pernikahannya dengan Anton pun sangat tertutup. Hanya sedikit orang yang tahu. Pihak media hanya tahu bila Alina sudah menikah. Selebihnya, siapa suami Alina, masih menjadi misteri bagi awak media.
Secara tidak langsung, Alina memproteksi Anton dari orang-orang yang tidak menyukainya. Beberapa teman Alina sudah mengetahui kondisi Anton yang sebenarnya, namun keluarganya sama sekali belum tahu. Alina sengaja menjauhkan Anton dari mereka semua. Apa pun akan ia lakukan demi kebahagiaan dan kesehatan Anton.
Bukan Alina namanya jika tidak berpikir luas. Ia mempertimbangkan segala kemungkinan. Bila ia menikah dengan Anton, ia akan mengajak Anton tinggal sejauh mungkin dari keluarga dan teman-temannya. Hal itu telah direncanakan Alina jauh-jauh hari.
“Oh lihat, Sayang.” kata Alina, menunjukkan sebuah tabloid.
Anton meletakkan cangkir kristal berisi Earl Grey-nya, membaca judul berita yang diperlihatkan Alina. Di sana tertulis: Model Cantik Alina Maya Menikah dengan Pengusaha Muda.
“Wow... jadi, akhirnya media berhasil tahu tentang pernikahan kita?” komentar Anton.
“Tidak, tidak. Mereka tahu aku menikah. Tapi jangan harap mereka bisa mendapat informasi soal nama suamiku tercinta.” sahut Alina menenangkan.
“Aku tidak begitu yakin, Alina. Masalahnya, kemarin mereka menulis pemberitaan tentangku.”
Dari bawah meja, Anton mengeluarkan sebuah koran. Membuka lipatannya, lalu menyerahkannya pada Alina.
“Pengusaha dan penyiar radio ternama, Arif Anton, melangsungkan pernikahan. Proses akad nikah berlangsung di Masjid Al Irsyad, Kota Baru Parahyangan. Dilanjutkan dengan resepsi pernikahan di Karma Kandara, Bali. Anehnya, tanggal pernikahan Arif Anton sama dengan tanggal pernikahan model cantik asal Kota Kembang, Alina Maya. Adakah korelasi di antara kedua pernikahan ini? Alina membaca isi berita itu.
Ya, Anton dan Alina mengadakan resepsi pernikahan di Bali. Resepsinya hanya dihadiri keluarga. Prosesi akad nikah dan resepsi sengaja dilakukan di tempat berbeda.
“Jangan khawatir, mereka hanya berspekulasi,” kata Alina ringan. Meletakkan koran kembali ke meja.
Bunyi bel pintu sukses mengalihkan perhatian mereka. Siapa yang bertamu sepagi ini? Alina dan Anton beranjak bangkit, membukakan pintu.
“Monna?” sapa Alina, heran bercampur tak percaya melihat kakak sulungnya.
“Aku ingin bicara dengan kalian berdua,” kata Monna datar.
Anton dan Alina menyambutnya dengan ramah. Mempersilakannya masuk, lalu menyajikan teh hangat dan muffin.
“Ada apa, Monna? Mungkin ada yang bisa kami bantu?” Anton memulai, tetap ramah dan simpatik meski Monna menunjukkan sikap sebaliknya.