Waktu bergulir begitu cepat. Tanpa terasa, tiga tahun terlewati sejak pernikahan Anton dan Alina. Tiga tahun berlalu, ada saja kepedihan yang mengintai mereka.
“Kamu yakin tetap ke kantor hari ini?” tanya Alina cemas. Melirik sekilas wajah Anton yang lebih pucat dari biasanya. Firasatnya mengatakan belahan jiwanya tidak baik-baik saja.
“Iya, Alina.”
“Anton, are you ok?”
Ini pertanyaan rutin. Alina selalu memastikan Anton baik-baik saja.
“I’m ok, Dear.”
Seharusnya Alina tenang dengan jawaban itu. Sebaliknya, ia justru makin tak tenang. Pastilah Anton menyembunyikan sesuatu. Berpura-pura sehat meski kenyataannya ia sakit.
“Jangan memaksakan diri ya? Kamu harus tahu kapan waktunya bekerja dan kapan waktunya beristirahat.” pinta Alina.
“Aku tidak memaksakan diri. Dan aku tahu itu.” ujar Anton lembut. Mencium kening Alina, lalu membuka pintu mobilnya.
Hati Alina berdesir. Sesaat tadi Anton memeluknya erat. Meninggalkan wangi Calvin Klein yang sangat khas.
“Kuharap ini bukan Juni terakhir...” desah Alina penuh harap. Menggenggam kalung bertatahkan blue sapphire pemberian Anton yang melingkar di lehernya.
Juni adalah bulan istimewa bagi Anton dan Alina. Bulan keenam dalam kalender Masehi itu merupakan awal perkenalan mereka. Anton dan Alina berkenalan, berelasi, lalu memutuskan untuk menikah.
Cukup lama Alina menyembunyikan perasaannya pada Anton. Orang pertama yang tahu adalah Mummy. Wanita bijak itu sempat shock dan tak percaya mengetahui siapa Anton dan bagaimana keadaannya. Rasa sayang Mummy pada Alina teramat besar. Demi kebahagiaan putrinya, Mummy menerima dan mendukung pilihan Alina. Bahkan Mummy menjaga kerahasiaan kondisi Anton dari keluarga besar.
**
Chika tertawa menatapi koleksi lagu di komputer Anton. Ia tak tahan untuk berkomentar.
“Al, ternyata kamu masih suka lagu anak-anak. Cieee... mantan penyiar cilik, host program Aksis Kecil di Bercahaya FM masih menyimpan lagu anak-anak di komputer ruang kerja direkturnya yang megah dan berwibawa.”
“Memangnya kenapa? Aku suka semua lagu, Chika. Waktu kelas 5 aku pernah jadi penyiar, sekarang aku siaran lagi. Seorang penyiar harus mempunyai wawasan musik yang luas.” kilah Anton diplomatis.
“Iya Al, iya. Aku paham. Kamu memang berbakat. Tiap kali dengar suaramu saat bersiaran atau bernyanyi, aku senang.”
“Kenapa?”
“Suaramu bagus. Tipikal suara bariton yang lembut dan empuk. Coba Aga punya suara sebagus itu.” Chika menyebut kekasihnya, Abdul Ghani Aziz yang lebih akrab dipanggil Aga.
“Jangan begitu, Chika. Tiap orang punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing.” kata Anton bijak. “Tapi... terima kasih untuk pujian manismu.”
Seperempat jam kemudian, keduanya bergegas ke ruang rapat. Semula, segalanya baik-baik saja sampai akhirnya Chika tersadar. Pria tampan yang berjalan di sampingnya itu jauh lebih pucat. Beberapa kali Anton terlihat menahan sakit di bagian pinggang dan perutnya.
“Al, kamu tidak apa-apa?” Chika tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
“Kamu seperti Alina. Selalu mencemaskanku.” Anton menghindari pertanyaan Chika.
“Jawab aku, Al. Apa ada yang sakit? Bagaimana kalau rapatnya kita batalkan saja?” desak Chika. Wajahnya dihiasi gurat kekhawatiran.
“Tidak. Rapat akan tetap dijalankan.” Berkata tegas, Anton melangkah mendahului Chika. Pria berdarah campuran Jawa-Jerman-Skotlandia itu memang keras kepala. Chika mendesah pasrah, menyerah pada sikap keras kepala sahabatnya.
Anton memimpin rapat. Sebagai pemilik perusahaan, ia terbiasa melakukan hal ini. Awalnya tak mudah, mengingat Anton harus mengubah jalan hidupnya dari psikolog menjadi pengusaha. Mengurus bisnis tidaklah gampang, akan tetapi Anton bertekad mengelola dan memajukan bisnis keluarga yang telah dipercayakan padanya. Ia tak ingin mengecewakan Nyonya Anggun, Tuan Adolf, Mummy, Alina, dan para karyawan yang menggantungkan hidup dari perusahaannya.
Beberapa karyawan yang ikut rapat melempar pandang sangsi ke arah pimpinan mereka. Pasalnya, mereka mulai sadar kalau kondisi Anton tidak sehat. Satu-dua orang menanyai Chika mengingat Chikalah yang paling dekat dengan Anton di kantor.
“Bapak kenapa, Chika?” bisik salah satu karyawan ingin tahu.
“Aku juga tidak tahu. Mungkin kondisinya drop, tapi dia memaksakan diri. Kalian tahu sendirilah, bos kita seperti apa.” sahut Chika sekenanya.
“Takutnya Bapak kenapa-napa.”
Apa yang ditakutkan karyawan itu terjadi. Anton jatuh pingsan saat tengah memimpin rapat. Langsung saja ruangan oval ber-AC itu gaduh. Sejumlah kolega bisnis dan karyawan yang mengikuti rapat menjadi panik.
**
Sesi konselingnya dengan klien ketiga hari ini baru saja selesai. Alina membereskan kertas-kertasnya. Masih ada dua klien lagi sebelum tugasnya selesai.
Smartphone-nya berdering. Mendapati nama si penelepon, Alina segera mengangkatnya.
“Alina, gawat.” kata sebuah suara sopran bernada panik di seberang sana.
“Kenapa, Chika?” Berbanding terbalik dengan Chika, nada suara Alina tetap lembut dan tenang.
“Al pingsan. Kejadiannya tiba-tiba sekali, waktu ia memimpin rapat. Kamu ke RSHS sekarang ya?”
Klik. Tanpa menjawab, Alina mematikan ponselnya. Berlari meninggalkan ruangan. Di lobi, ia berpapasan dengan klien keempatnya.
“Lho, Teh Alina mau ke mana?” tanya sang klien yang terbiasa memanggil Alina dengan sebutan Teteh.
“Punten pisan, Irene. Saya ada urusan mendadak. Kita reschedule sesi konselingnya ya?” ucap Alina sehalus mungkin. Segera ditinggalkannya klien keempat itu.
Alina tahu tindakannya tidak profesional. Ia siap menerima risikonya, termasuk bila kepala Biro Psikologi menegurnya. Anton jauh lebih penting.
“Alina, kamu mau pulang? Kok buru-buru banget?” Cegat salah satu koleganya di pelataran parkir.
“Suamiku sakit.”
Saat Alina mengucapkan dua kata itu, wajah Anton terbayang di pelupuk mata. Anton membutuhkannya. Seperti janjinya, ia takkan meninggalkan Anton. Apa pun yang terjadi.
Entah ini suatu kegilaan atau bukan, Alina mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas 100 km/jam. Ia ingin secepatnya sampai di rumah sakit. Sambil menjalankan mobil, ia terus berdoa.
**
Dua orang suster mendorong brankar. Alina dan Chika berjalan di samping kanan tempat tidur beroda itu. Di atas brankar, Anton terbaring lemah dengan mata terpejam. Alina menggenggam erat tangan Anton.
“Kamu harus bertahan, Anton. Bertahanlah.. .jangan pergi.” bisik Alina tanpa sadar.
Hati Alina diliputi kecemasan. Apa lagi yang terjadi pada belahan jiwanya? Tidak cukupkah Anton menderita selama ini? Haruskah ia merasakan sakit lagi untuk kesekian kali?
“Alina, sabar ya? Al pasti kuat, Al pasti bisa melewati semua ini.” Chika menguatkan hati Alina.
“Iya, Chika. Aku percaya Anton bisa melewatinya.”
Kedua wanita cantik itu menanti. Dalam penantian, mereka terus berdoa. Berharap pria istimewa dalam hidup mereka segera sembuh. Anton beruntung memiliki wanita-wanita jelita yang tulus menyayangi dan mencintainya.
Alina dan Chika tak peduli apa pun lagi selain kondisi Anton saat ini. Bahkan waktu makan malam terlewati begitu saja.
Penantian mereka terjawab dengan kabar buruk. Indikasi awal, Anton mengidap gagal ginjal. Harus dilakukan pemeriksaan untuk membuktikannya.
Ini tak bisa dibiarkan. Alina tahu Anton akan semakin sedih jika mengetahuinya. Kondisi psikologisnya bisa lebih hancur lagi.
“Apa yang akan kamu lakukan, Alina? Kamu akan beri tahu Al?” kejar Chika. Membuat langkah Alina terhenti.
“Ya, aku harus beri tahu dia.”
“Kurasa waktunya belum tepat. Pikirkan kondisi psikologisnya.”
Tanpa mendengarkan Chika, Alina meneruskan langkah. Ia tak suka dipengaruhi orang lain. Ia lebih percaya kata hatinya sendiri.
**
Vonis lagi menimpa dirinya. Sungguh, Anton tak mengerti dengan skenario Illahi atas hidupnya. Alina datang menyampaikannya dengan hati-hati, lalu memegang halus kedua tangannya.
“Ini baru dugaan, Anton. Mudah-mudahan tidak benar.” Alina mengakhiri, lembut dan menenteramkan.
“Tidak, Alina. Ini pasti tak sekadar dugaan. Bagaimana bila aku benar-benar sakit gagal ginjal?” Anton bergumam lirih. Menundukkan wajah, sedih dan tak berdaya.
“Aku akan mendampingimu sampai kamu sembuh dan selamanya. Kamu boleh berbagi rasa sakitnya padaku.” janji Alina tulus.