Anton dan Alina

princess bermata biru
Chapter #3

Jangan Salahkan Cinta

Sedan putih itu meluncur mulus memasuki garasi rumah. Alina turun dari mobil, manik matanya melirik arloji yang melingkar manis di pergelangan tangan kiri. Setengah jam sebelum waktu makan malam. Hatinya berangsur lega, ia tidak akan kehilangan momen kebersamaan dengan Anton.

Tahun keempat berganti tahun kelima. Seperti tahun-tahun sebelumnya, rumah besar yang mereka tempati selalu saja sepi. Hanya ditempati berdua, tanpa hadirnya seorang anak.

“I’m home...” kata Alina ceria saat melangkahkan kakinya ke ruang tengah.

Anton beranjak bangkit dari sofa. Meninggalkan laptopnya yang masih menampakkan slide presentasi. Dipeluknya wanita cantik itu erat. Dikecupnya dahi Alina.

I miss you, Dear. Kamu dari mana saja?” tanya Anton penuh perhatian. Melempar pandang ingin tahu pada dua kardus yang diletakkan Alina di sudut ruangan.

“Beli mainan,” jawab Alina singkat, tersenyum kecil.

Sejak awal tahun, Alina punya kebiasaan baru: membeli mainan anak-anak. Tiap kali ada mainan model terbaru, ia langsung membelinya. Praktis rumah mereka dipenuhi koleksi mainan dari berbagai jenis dan merek. Mulai dari robot, boneka, Barbie, mobil-mobilan, dan masih banyak lagi. Mulai dari mainan model lama sampai yang paling canggih. Anton tak bisa menghentikan kebiasaan istrinya. Alina punya hak untuk melakukan apa yang ia mau.

“Wow, banyak sekali. Ada mobil-mobilan jenis terbaru lagi ya?” Anton mencoba menekan perasaannya, membantu Alina mengeluarkan sejumlah mainan baru itu.

“Iya. Lucu ya bentuknya? Kalau anak kita laki-laki, dia pasti senang.”

Kata-kata bernada harapan disertai senyuman manis Alina membuat hati Anton tertusuk penyesalan. Sebesar apa pun cinta Alina padanya, tetap saja ia memendam kerinduan besar untuk memiliki anak. Sayangnya, Alina tak pernah bisa mendapatkan buah hati selama ia masih bersama Anton. Mungkinkah kerinduan Alina terlalu kuat? Begitu kuatnya rindu yang membuncah sampai-sampai ia rajin membeli mainan? Beginikah cara Alina melampiaskan kerinduannya?

**

 

Ruangan berdinding dan berlangit-langit putih itu senyap. Naufal melepas kacamatanya. Dokter muda yang dikenal karena kisah perjuangannya yang fenomenal itu menatap sahabat sekaligus pasiennya penuh simpati.

“Aku sudah melihat foto-foto yang kamu kirimkan,” Naufal membuka pembicaraan.

“Ya. Rumahku jadi penuh mainan karena hobi baru Alina. Sudah setahun terakhir ini ia melakukannya.” Anton menjelaskan.

“Wajar bila Alina menginginkan keturunan. Dia wanita, dia sering melihat teman-temannya melahirkan dan membesarkan anak kandung mereka sendiri. Sungguh Anton, itu kerinduan yang wajar. Kamu paham, kan?”

“Aku paham, Naufal. Masalahnya, bagaimana cara menebus kerinduan Alina? Aku ingin membuatnya bahagia, memberinya apa yang dia inginkan, tapi aku tak berdaya.” sesal Anton. Ekspresi wajahnya dihiasi kesedihan dan rasa bersalah.

“Bagaimana terapi hormonal dan obat-obatannya?” tanya Naufal mengalihkan pembicaraan.

Sebagai jawaban, Anton menunjukkan beberapa tablet obat yang dibawanya. “Semua langkah medis yang kutempuh tidak menunjukkan progres apa pun. Obat-obatan dan antibiotik pencegah infeksi ini membuatku mual. Kalau bukan demi Alina, aku ingin berhenti meminumnya.”

Diam-diam Naufal salut pada kesanggupan Anton konsisten menjalani terapi penyembuhan infertilitas selama lima tahun. Melawan dorongan hatinya untuk berhenti, ia terus melakukan berbagai langkah medis demi Alina. Anton melakukan semua ini atas nama cinta.

“Aku kagum padamu, Anton. Kamu hebat. Cintamu untuk Alina sangat besar.” ungkap Naufal.

“Semua orang berkata begitu. Apalagi setelah mereka tahu kalau akulah yang mandul, bukan Alina.” timpal Anton.

Sebuah ide terlintas di pikiran Naufal. Ia memainkan smartphone di tangannya, menimbang-nimbang sejenak. Haruskah ia menyampaikannya? Tidakkah Anton akan marah atau tersinggung? Satu bagian hatinya mendorongnya untuk mengungkapkan ide itu. Jika Naufal bersimpati pada Anton, ia harus membantu. Apa pun caranya.

“Anton, ada satu cara yang bisa kamu lakukan.”

Mendengar itu, Anton menegakkan posisi tubuhnya. Menatap Naufal antusias. Siap menerima ide brilian.

“Tapi... mungkin ini agak ekstrem. Kita harus melibatkan saudaraku.”

“Katakan saja, Naufal. Apa idenya?” kejar Anton.

Naufal memelankan suaranya seakan perabot-perabot di sana ikut mendengarkan. Menyampaikan ide yang tersimpan di otak. Anton mendengarkan, ekspresi wajahnya tak berubah namun tertangkap kuat sinyal penerimaan atas ide itu.

“Kamu yakin?” Suara Anton pun tak lebih dari bisikan.

“Seratus persen,”

Sebuah ide gila. Namun tak ada salahnya mencoba meski penuh risiko.

“Baiklah,” Anton memutuskan.

Good. Waktunya mempertemukan kamu dengan Pierre Judawisastra.”

**

Oh Tuhan terangkan hati dalam sanubariku

Untuk menempuhi segala hidup penuh cobaan ini

Oh Tuhan ku berserah segalanya kepadaMu

Agar jiwaku tenang dalam bimbinganMu selalu

Curahkanlah nikmatMu kepada hidupku...

Afgan-Kumohon

 

Para penyiar Radio Carissa terbius pesona mendengarkan dentingan piano dan alunan suara bass bernada lembut itu. Pria berkemeja hitam di balik piano itu menyanyi dan memainkan pianonya sepenuh hati.

“Suaranya bagus banget. Main pianonya juga keren. Itu beneran adik kamu, Naufal?” selidik seorang penyiar.

“Iya, dia adikku. Namanya Pierre Judawisastra. Alumni SBM ITB. Dia pemilik kafe ini.” jelas Naufal bangga.

“Oh... pantesan kita bisa gathering di sini. Ternyata ada orang dalam ya?” komentar penyiar lainnya, tersenyum nakal.

“Pierre baik banget. For your information, dia jadi fasilitator acara kita ini tanpa minta pamrih. Dia nggak minta kafenya dipromosiin di Radio Carissa, bahkan nggak minta fee apa pun dari aku.”

Beberapa penyiar wanita mendesah kagum. Memfokuskan tatapan pada pria berwajah oriental yang masih memainkan piano. Sementara Naufal terus bercerita tentang adik semata wayangnya itu, tahulah mereka kalau Pierre pemegang kepemimpinan di Judawisastra Group. Mulanya perusahaan itu akan diwariskan pada Naufal, tapi jalan hidup Naufal tak sejalan dengan harapan orang tuanya. Ia lebih memilih menjadi dokter. Alhasil Judawisastra Group jatuh ke tangan Pierre.

Menjadi direktur perusahaan besar tidak membuat Pierre jatuh dalam kesombongan. Sebaliknya, ia rendah hati. Ia sering mengaku pada banyak orang kalau dirinya hanyalah penyanyi kafe. Soal kafe ini pun istimewa. Tiap hari Jumat, Pierre memberikan makanan gratis pada semua pengunjungnya. Siapa pun boleh makan di kafe tanpa perlu membayar. Ia tak takut rugi atau bangkrut. Baginya, beramal adalah jalan terbaik untuk membersihkan harta dan jiwa.

Bukannya bangkrut, kafe itu justru mendapat omzet puluhan juta tiap bulan. Begitu pula jenis-jenis bisnis lain yang berada di bawah naungan Judawisastra Group. Lima belas persen profit Judawisastra Group disumbangkan Pierre ke yayasan sosial yang membantu anak-anak pengidap AIDS. Pierre menjadi donatur terbesar di yayasan itu.

“Dia mirip denganmu, Anton.” Naufal merendahkan suaranya. Tersenyum penuh arti.

Anton mengangguk setuju. Ia sudah tahu banyak tentang Pierre. Pria seperti itulah yang dicarinya. Pierre memenuhi semua kriteria yang ia tetapkan untuk menjadi ayah biologis dari anaknya. Tampan, pandai bermain piano, bukan perokok atau pecandu alkohol, punya IQ di atas rata-rata, multitalenta, sukses, berjiwa pemimpin, dan punya jiwa sosial tinggi. Persis seperti itulah yang dicari Anton.

Berpasang-pasang mata wanita menatapnya takjub. Satu-satunya yang tidak melempar tatapan ke arah panggung di seberang ruangan hanyalah Alina. Ia bahkan sama sekali tidak tertarik mendengarkan semua kelebihan Pierre. Fokusnya hanyalah menemani Anton di acara ini.

Akan tetapi, justru Alinalah yang menarik perhatian Pierre. Konsentrasinya terbagi. Hanya Alina yang tidak tertarik memandanginya sejak tadi. Berbeda dengan wanita-wanita lain di sekitarnya. Rasa penasaran Pierre bangkit. Ia tahu banyak tentang Alina, si wanita keturunan Sunda-Belanda kelahiran 23 Januari. Mantan peragawati yang kini menjadi psikolog dan hypnotherapist, istri dari pasien istimewa yang ditangani kakaknya.

“Hei... permainan pianomu bagus. Kita nyanyi bareng yuk?”

Sebuah ajakan ramah dan tepukan di punggungnya mengalihkan atensinya. Pierre berbalik. Mendapati Anton berada di depannya.

Lihat selengkapnya