“Kamu nggak apa-apa kan kalau aku tinggal sendirian di rumah? Cuma dua jam kok.” kata Anton pada Alina untuk kedua kalinya.
Alina, wanita berdarah Sunda-Belanda itu, tersenyum menenteramkan. Tak keberatan ditinggalkan suaminya selama dua jam ke depan.
“Nggak apa-apa. Nanti penggemar kamu kecewa lagi,” candanya. Sadar betul jika program yang dibawakan Anton sangat disukai pendengar. Rating-nya naik terus.
“Okey. Take care, Dear. Bye.”
Mencium kening Alina, pria tampan bermata teduh itu melangkah pergi. Sesaat Alina masih berdiri di teras, mengawasi laju Honda Mobilio milik Anton. Belum apa-apa, ia sudah rindu pria penyabar yang telah menjadi pendamping hidupnya selama enam tahun terakhir. Samar ia merasakan wangi Calvin Klein yang tertinggal di piyamanya. Sesaat tadi, Anton sempat memeluknya. Hal rutin yang selalu ia lakukan. Sesuatu yang membuat Alina selalu merasa dekat dengan Anton.
Alina menatap sedih langit malam bertabur bintang yang terlihat jelas dari tempatnya berdiri. Dalam hati memohon pada Illahi yang bersemayam di Arasy. Hanya satu permintaannya: agar ia tidak dipisahkan dengan belahan jiwanya, pendamping hidupnya, imam dan pemimpin baginya.
**
“102.5 FM Carissa Radio, Hits and Lovely Radio.” Anton memulai siarannya dengan menyebutkan identitas radio dan tagline-nya.
“Selamat malam, Carisa Listeners. Apa hari ini menyenangkan untuk Anda? Apa pun yang Anda alami, bagikan pengalaman itu pada saya. Selama dua jam ke depan, saya, Rupert Anton, akan menemani Anda. Tetap di Shall. Sharing About Love and Life.” Opening singkat dan bersahabat. Segmen pertama ditutup dengan lagu Christian Bautista, The Way You Look At Me.
Seperti biasa, langsung saja banyak e-mail masuk dari para pendengar. Mereka tak sabar ingin mencurahkan isi hati pada penyiar idola mereka yang rupawan itu. Sesaat, Anton dan produser Shall memilih-milih e-mail yang akan dibacakan pada segmen kedua. Tepat ketika lagu dan jeda iklan usai, pilihan telah dijatuhkan. Anton tak hanya membacakan e-mail itu, melainkan menanggapi dan memberi solusi positif atas problem yang dihadapi.
Tugas yang mudah sekaligus sulit untuk Anton. Mudah karena ia berlatar pendidikan Psikologi. Kebetulan, Alina juga seorang Psikolog. Alhasil mereka sering berdiskusi dan mengaplikasikan ilmu mereka terkait masalah-masalah yang dihadapi orang lain. Sulit karena banyak di antara problem-problem dari para pendengar terlalu berbahaya. Berbahaya karena tak sedikit di antara mereka yang menyatakan niat ingin mengakhiri hidup lantaran beratnya permasalahan. Anton harus ekstra hati-hati menanggapi dan memberi solusi di saat seperti ini.
**
Di studio radio yang begitu dingin dan sunyi, Anton mulai membacakan e-mail pertama malam ini. Suara baritonnya yang lembut dan empuk cocok sekali membawakan program semacam ini. Shall diletakkan sebagai program terakhir dari pukul sepuluh sampai dua belas malam, waktu yang tepat ketika orang ingin mencurahkan isi hatinya, waktu di mana orang-orang mengalami puncak kesedihan, kegalauan, dan kesepian mereka.
“E-mail yang pertama ini dari Albertfastcavanaugh98@gmail.com.” Sesaat Anton berhenti, tersenyum kecil. Nama pengirim e-mail ini unik.
“Sudah empat tahun saya menikah dengan Andini. Kami bahagia. Andini sangat mencintai saya. Saya pun mencintainya. Tapi kebahagiaan kami kurang lengkap. Lewat pemeriksaan dokter setahun lalu, saya mendapatkan kenyataan pahit. Saya tidak bisa punya keturunan. Andini sehat, saya yang sakit. Sejak saat itu, sikap keluarga Andini berubah. Mereka menjadi dingin dan sinis pada saya. Adik-adiknya meminta saya dan Andini bercerai.”
Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Anton merasakan perih di hatinya. Seakan ada yang menyiramkan alkohol ke luka batinnya. Membuat luka itu kembali terbuka dan menghasilkan rasa pedih luar biasa. Bukan hanya nama yang sama, kisahnya pun sama, batinnya sedih. Hatinya merasakan empati mendalam pada pria pengirim e-mail itu.
Susah payah Anton kembali membaca.
“Saya tertekan. Rasanya diri saya tak berguna. Saya tidak bisa memberikan anak, tidak bisa meneruskan keturunan keluarga saya, padahal saya anak satu-satunya. Andini terus membesarkan hati saya. Dia mencintai dan menerima saya apa adanya. Andini menyarankan untuk mengadopsi anak. Keikhlasan Andini membuat saya makin sedih dan terpuruk. Dia wanita sempurna berhati besar. Sedangkan saya? Memberikan keturunan saja tidak bisa.”
Ya Allah, rasa itu pun pernah ia alami. Merasa diri tak berguna. Merasa menjadi pria yang tidak berharga. Dalam hati, Anton beristighfar, memohon kekuatan, memohon ketegaran dan ketabahan.
“Andini akhirnya mengadopsi anak. Namanya Rosie. Cantik sekali, umurnya baru delapan belas bulan. Saya menyayanginya. Keluarga Andini tetap tidak puas. Mereka berkeras Andini harus punya keturunan, bukan anak adopsi seperti Rosie. Dari hari ke hari, saya terus dikejar-kejar rasa bersalah. Saya tak pantas mendampingi Andini. Dia berhak mendapatkan yang lebih baik. Maka saya melayangkan gugatan cerai dan meninggalkan rumah. Sampai hari ini saya pisah rumah dengan Andini. Dia mencari-cari saya. Dia ingin saya kembali. Katanya, dia dan Rosie membutuhkan saya. Apa yang harus saya lakukan? Di satu sisi saya tidak bisa melupakan Andini. Saya tak bisa berhenti mencintainya. Hati saya terus memanggil namanya. Sekalipun kami berpisah, Andini tetap pemilik hati saya. Dialah belahan jiwa saya, cinta pertama dan terakhir saya.”