Bagi seorang cappucino addict seperti Pierre, rasanya tak lengkap jika datang ke cafe tanpa memesan minuman satu itu. Cappucino pun menemani penantiannya di sini. Siapa lagi yang dinantinya kalau bukan Alina Maya, cinta pertamanya?
Gelas pertama nyaris tandas. Sebentar lagi Pierre akan memesan gelas kedua. Entah pada gelas keberapa Alina akan datang. Pierre bertekad tetap menunggunya. Ia telah menunggu selama bertahun-tahun. Tak masalah baginya harus menunggu dua-tiga jam lagi.
Penantian bukan hal baru bagi Pierre. Penolakannya untuk menikah dengan wanita-wanita pilihan Nyonya Lola juga menjadi bukti sebuah penantian. Penantian pada cintanya yang sejati. Cinta Pierre untuk Alina teramat kuat. Sampai ia menepis tawaran menikah dari semua orang. Seberapa magiskah kekuatan cinta?
“Saya pesan cappucino lagi,” ujar Pierre pada waiters.
Waiters berseragam merah hati itu mengangguk. Bergegas meninggalkan meja nomor 68. Pierre kembali sendiri. Mau tak mau ia tenggelam dalam kenangan. Di cafe ini, para pengurus OSIS sering mengadakan rapat. Terutama bila suasana sekolah kurang kondusif dan mereka sudah bosan rapat di sana. Cafe adalah alternatif. Sambil minum cappucino, vanilla latte, lemon squash, atau green tea, mereka membahas program kerja OSIS berikut event-event yang ingin mereka selenggarakan.
Rasanya kenangan itu sudah lama berlalu. Sama seperti Alina yang telah lama meninggalkannya. Alina meninggalkannya demi pria itu. Arus kuat kesedihan menjajah hatinya. Perih dan menyakitkan. Pierre membenci kenyataan itu. Andai saja waktu dapat diputar kembali, ia takkan melepaskan Alina.
**
Gadis cantik itu tersenyum. Meletakkan surat dispen ke tangan guru Kimia. Sebagai pengurus OSIS, salah satu keuntungan terbesarnya adalah dispen. Tidak ikut pelajaran, tapi nilai tetap bagus. Bahkan jadi kesayangan guru dan kepala sekolah. Anak-anak lain boleh iri.
“Baiklah. Pierre, kamu boleh pergi.”
Pierre tersenyum cerah. Senang terbebas dari pelajaran eksakta yang rumit itu. Menggandeng tangan Alina, ia bergegas keluar kelas.
“Kamu memang bidadari penyelamat. Thanks ya.” bisik Pierre.
“Sama-sama. Pasti kamu belum bikin PR Kimia ya?” tebak Alina asal saja. Tersenyum nakal.
“Enak aja. Aku anak rajin, nggak kayak kamu. Aku...”
“Hei, kalau aku malas, mana mungkin aku bisa dapat peringkat enam besar terus?” potong Alina.
Detik itu, Pierre menatap Alina. Seraut wajah cantik yang selalu membuatnya terpesona. Tak hanya cantik, ia juga pintar. Pierre jatuh cinta, sungguh-sungguh jatuh cinta pada gadis berdarah campuran itu.
“Hello...anybody here?”
Lambaian tangan Alina di depan wajahnya sukses menyadarkan Pierre. Tanpa terasa mereka tiba di depan ruang OSIS. Persiapan bakti sosial ke rumah perawatan anak-anak pengidap kanker sudah 90 persen. Pierre sangat menyukai acara semacam ini. Sama seperti Alina, ia penyayang anak kecil. Wajar mengingat Pierre tidak punya adik.
**
Beberapa hari setelah kegiatan baksos itu, Pierre mendapati Alina menangis. Gadis itu melangkah tergesa meninggalkan koridor sekolah. Padahal waktu belajar masih panjang. Pierre bergegas mengejarnya.
“Alina, ada apa?” tanyanya penuh perhatian.
Alina tak menjawab. Ia terus mempercepat langkah.
“Alina, cerita sama aku. Pasti ada sesuatu, kan?” desak Pierre.
Tepat di depan gerbang, Alina menghentikan langkah. Ia mengusap sisa air mata dengan lengan kemejanya.
“Daddy masuk rumah sakit, Pierre. Serangan Stroke,” sahut Alina setengah terisak.
“Astaghfirulah...”
Tanpa pikir panjang, Pierre menggamit lengan Alina ke tempat parkir khusus siswa. Cepat-cepat membuka pintu Volvo-nya. Alina terdiam mengawasi tingkah Pierre.
“Kamu nggak bawa mobil hari ini, kan? Aku antar ke rumah sakit ya?” tawar Pierre.
“Jangan, aku bisa naik taksi. Nanti kamu ketinggalan pelajaran.” tolak Alina.
Akan tetapi, Pierre berkeras mengantar Alina ke rumah sakit. Gadis Januari itu tak kuasa menolak lagi.
Rupanya Pierre tak hanya mengantar Alina. Ia pun ikut menjaga Daddy di rumah sakit. Ia selalu mendampingi Alina. Tak pernah jauh dari sang pujaan hati. Waktu belajar dan waktu istirahatnya ia berikan hanya untuk Alina. Pierre menyediakan diri dan waktunya demi cinta.
**
“Aku harus pergi, Alina.”
Senja di halaman villa mewah bercat putih itu. Pierre sengaja menciptakan momen yang sempurna sebelum mengucap kata perpisahan.
“Kenapa, Pierre?” Alina tertegun. Tak bisa menerima pernyataan Pierre.
“Kamu tahu kan? Sesama pengurus OSIS tidak boleh berpacaran dan menikah. Itu komitmen seumur hidup. Janji kita sewaktu pelantikan dulu.”
Cinta mereka terlarang. Komitmen organisasi yang jadi penghalang.
“Pierre, you know I love you.”
“Iya aku tahu, Alina. Tapi janji itu mengikat kita seumur hidup. Kita tidak bisa bersatu.”
Mata Alina berkaca-kaca. Inilah yang disesali Pierre. Karena dirinya, Alina menangis. Seharusnya ia membuat Alina bahagia. Ia justru menorehkan luka di hati gadis berambut panjang itu.
“Maafkan aku, Alina. Aku juga mencintaimu. Tapi...kita sudah melanggar komitmen. Aku tak mau pelanggaran ini terus terjadi.” Pierre memohon.
Alina pun tak berdaya. Cinta pertamanya harus pergi. Perpisahan sungguh menyakitkan. Namun dia tersadar. Setiap awal pasti ada akhir. Entah itu akhirnya sedih atau bahagia.
**
Tenggelam dalam pusaran kenangan pahit membuat Pierre nyaris tak memperhatikan saat gelas kedua cappucino diantarkan. Sekilas pria berwajah oriental dan bermata sipit itu tersenyum berterima kasih pada waiters yang mengantarkannya.
Gelas kedua cappucino diminumnya. Ia berharap Alina segera datang.
**
Dengan gallant, Anton membukakan pintu mobilnya untuk Alina. Alina memberikan senyum menawannya untuk sang belahan jiwa. Sekilas ia menggenggam tangan Anton. Tangan pria tampan itu terasa dingin.
“Aku khawatir, Alina.” Tanpa sadar, Anton mengungkapkan isi hatinya.